Aku bisa menjadi ratu lebah, tepatnya sejak liburan musim panas, dan mungkin kau akan menyebutku penipu ketika aku menceritakan kisah ini padamu.
Sebelum meninggal, Mama menebar benih-benih bunga matahari di kebun. Bunga-bunga itu mulai mencuat dari tanah pada hari ketika Mama dimasukkan ke tanah; bunga-bunga itu berderet dalam sepuluh barisan di kebun, dan kesemuanya telah berdiri tegak dan mekar sempurna pada liburan musim panas. Aku jadi malas pergi berlibur ke mana pun: aku lebih suka merawat kebun, atau sekadar duduk di lantai beranda sambil memandangi kebun, atau duduk sambil membacakan dongeng Putri Bunga Matahari pada bunga-bunga tersebut, meski di beranda tubuhku jadi cepat berkeringat dan terasa lengket.
Aku juga suka melihat lebah-lebah beterbangan di kebun.
Aku suka melihat apa pun yang ada di kebun, kecuali saat tiba-tiba Doddy muncul di depan gerbang rumahku.
Doddy adalah seorang lelaki remaja, dan setiap lelaki yang tumbuh remaja biasanya menjadi nakal, dan sialnya ia tinggal dekat rumahku. Doddy bertubuh segemuk sekarung penuh pasir, dan dahinya selebar satu jengkal tanganku, dan ada segaris bekas luka di sana karena ia adalah remaja yang nakal. Ia sering bersenang-senang dengan memanggilku wajah-bersarang-lebah, sebab di pipiku ada bintik-bintik cokelat yang kupikir-pikir memang mirip sarang lebah, sesekali juga ia menungging ke arahku dan menepuk-nepuk bokong gemuknya.
Aku pernah mengadukan tingkah Doddy pada Papa. Tetapi Papa tak memarahi remaja itu; ia hanya bilang padaku, “Ia hanya ingin bermain denganmu.” Sial, tidak ada yang ingin bermain dengan remaja lelaki nakal. Gara-gara Papa tak memarahinya, aku sempat berpikir untuk tak usah duduk lagi di beranda, tetapi aku begitu ingin memandangi bunga-bunga matahari itu, jadi aku tetap saja sering duduk di sana dan menahan diri menghadapi nakalnya Doddy.
Dan di hari terakhir liburan musim panas, tiba-tiba saja kesemua bunga matahari di kebun menunduk, persis orang-orang yang bersedih di hari pemakaman Mama. Selain itu, kelopak mereka dipenuhi bercak-bercak cokelat—persis pipiku—dan lebah-lebah bergeletakan di tanah. Aku coba mencium bunga-bunga itu satu per satu, dan aromanya membuat muntahanku tertahan di kerongkongan. Lalu sesuatu memanggil-manggilku, “Vanny! Vanny!” dan kupikir itu adalah salah satu bunga matahariku, dan aku mendekat ke sumber suara. Rupanya, yang memanggil-manggilku adalah salah seekor lebah. Di antara lebah-lebah lainnya, hanya ia yang masih berdiri, suaranya terdengar parau, dan lebah itulah yang tampak paling cantik: ia mengenakan mahkota super kecil di kepalanya: pasti ia ratu lebah.
“Para iblis menyerang bunga-bungamu. Mereka juga menyerang kami!”
Aku melihat ke sekeliling; aku tak melihat iblis.
“Kau harus menjadi kami untuk dapat melihat mereka. Jika kau bersedia menolong kami, jika kau ingin bunga-bungamu tegak kembali, ambil mahkotaku dan letakkan di kepalamu.”
Aku pun mengambil mahkota itu dengan ujung jempol dan telunjuk, aku menyentuhnya hati-hati sekali, aku takut mahkota itu hancur di tanganku, dan aku meletakkannya di kepalaku. Tiba-tiba, tubuhku menyusut sampai sekecil lebah! Dan di punggungku ada sepasang sayap lebah, dan aku bisa menggunakannya untuk terbang, dan di bokongku tumbuh sebatang sengatan, panjangnya setara kakiku dan cokelat warnanya dan berkilau terkena sinar mentari. Karena tubuhku menyusut, maka mahkota ratu lebah pas sekali di kepalaku.
Semua di sekelilingku tentu tampak membesar, dan semua tampak lebih mengaggumkan karena tampak membesar, terutama bunga-bunga matahari itu: aku bisa duduk di mahkotanya sambil membacakan dongeng Putri Bunga Matahari.
Satu-satunya yang tampak tak mengaggumkan dengan tubuh sekecil ini adalah aku jadi bisa melihat iblis-iblis itu: mereka bundar dan hijau dan berukuran sebesar perutku, mereka bersayap mirip kelelawar, dan di antara kedua mata merah mereka yang lebar mencuat sebatang jarum. Mereka ada di mana-mana: hinggap di kelopak bunga-bunga matahari, hinggap di tanah di samping lebah-lebah yang mati, juga beterbangan di atas bunga-bungaku—kepak sayap mereka berisik sekali, seperti mulut Doddy.
Di tanah, ratu lebah mulai memejamkan mata dan tergeletak dan tak lagi bergerak. Iblis-iblis mulai mendekatinya dan menyentuh-nyentuh tubuhnya dengan jarum mereka, dan aku tak suka ratu lebah itu kenapa-kenapa. “Jangan ganggu dia!” pekikku, dan semua iblis sontak menoleh ke arahku, dan aku menukik tajam ke bawah dengan sengatan terhunus, dan sengatanku menembus punggung salah seekor iblis yang mendekati sang ratu lebah. Tubuh iblis itu langsung pecah menjadi asap hijau yang baunya persis muntahan di tong sampah!
Sesaat iblis-iblis di sekeliling refleks mundur menjauhiku. Tetapi sesaat berikutnya banyak sekali iblis mulai mengepungku. Mereka masih diam di tempat, namun kepak sayap mereka menjadi ribut sekali dan jarum mereka terarah padaku seorang. Mereka memang kecil dan mudah kutusuk, tapi karena mereka banyak sekali mungkin ini akan serepot menghadapi Doddy.
Dan satu per satu mereka langsung meluncur ke arahku!
Aku segera terbang dan mengelak ke sana kemari di udara, aku mampu bergerak lincah dan aku tak tahu diriku bisa selincah itu, meski beberapa kali aku hampir tertusuk jarum mereka. Desing tubuh mereka menyakiti kupingku, dan tiap meluncur mereka meninggalkan aroma muntahan di udara. Baju bagian perutku sempat sekali tersayat jarum mereka dan sobek lumayan lebar, untung kulit perutku tidak kenapa-kenapa. Iblis yang meluncur menyayat bajuku tampaknya terlambat mengerem di udara: ia malah menusuk tubuh temannya sendiri yang pecah jadi asap hijau dan aku tertawa-tawa.
Tapi mestinya aku tidak tertawa-tawa dan tetap waspada. Karena tertawa, aku kurang waspada terhadap serangan iblis lainnya, aku agak terlambat menghindar dan tubuhku tersenggol keras olehnya dan aku terpental. Saat mendarat di tanah, mahkotaku terlepas dan seketika aku kembali ke ukuran biasa.
“Hei! Wajah-bersarang-lebah!” Doddy mengejekku dari balik gerbang, entah sejak kapan ia berdiri di sana; ia menungging mengarahkan bokong jeleknya padaku dan menepuk-nepuknya dengan bangganya.
Aku sedang tak ingin mengurusi remaja nakal mana pun. Aku berjongkok dan merendahkan wajah ke tanah untuk mencari mahkota itu, yang ternyata ada di dekat ujung jempol kakiku dan untung saja tak terinjak. Aku segera mengambilnya dan mengenakannya kembali. Aku kembali menjadi ratu lebah; padaku iblis-iblis menatap marah.
“Vanny! Ke mana kau?!” pekik Doddy
Aku tahu apa yang harus kulakukan—untung ada Doddy yang nakal di sana. Aku menungging di udara dan sengatanku pasti tampak mengacung dengan cantiknya. Saat iblis-iblis menyerbuku, aku berputar-putar di udara seperti balerina kelas dunia! Atau seperti gasing? Entahlah. Yang jelas, iblis-iblis yang menyerbu segera tersayat sengatanku, dan asap hijau dengan cepat memenuhi sekelilingku. Kemudian iblis-iblis mulai menjauhiku dan aku berhenti berputar sejenak.
Pusing juga … dan bau!
Dan aku tak akan memberikan mereka ampun: aku berputar lagi seperti balerina kelas dunia atau gasing dan aku meluncur mengejar iblis-iblis itu. Semua mati dengan cepat! Dan kupikir tak lama lagi mereka akan pergi dari bunga-bunga matahariku. Tetapi tahu-tahu saja sesuatu yang lebih cepat dariku meluncur menyenggolku; aku terlempar dan buru-buru mengendalikan diri dan kembali terbang stabil sebelum menumbuk tanah. Lalu aku melihat ke sekelilingku, mengikuti arah terbangnya sesuatu yang sangat cepat itu.
Ia berhenti di hadapanku, sesuatu yang cepat itu. Keadaan mulai terasa tak lucu. Ia seekor iblis juga, tetapi sebesar tubuhku, jarumnya dua kali lebih panjang ketimbang iblis-iblis lainnya. Dan, ia mengenakan mahkota—ini akan menjadi pertarungan ratu lebah melawan raja iblis! Dan jelas ini akan menjadi pertarungan yang luar biasa; iblis-iblis lainnya bahkan sampai mengumpet ke balik kelopak-kelopak bunga, sesekali mereka mengintip kami dengan ketakutan.
Aku tidak takut: aku meluncur ke arah raja iblis dengan sengatan terhunus, dan ia cepat sekali menghindar, dan sengatanku menancap di satu mahkota bunga. Kupikir iblis-iblis yang bersembunyi di balik kelopak bunga itu akan langsung mengeroyokku, berhubung aku sedang tersangkut. Tetapi mereka malah langsung kabur, dan aku menoleh ke belakang, ke sesuatu yang membuat mereka kabur: raja iblis sedang meluncur kencang ke arahku. Aku cepat-cepat melepaskan sengatanku dari mahkota bunga untuk menghindar, dan sang raja pun menabrak mahkota bunga yang sama. Namun, bukannya jarum sang raja menancap di sana, tubuhnya menembus bunga itu, bunga yang segera pecah berkeping-keping di udara!
Sang raja iblis berbalik, dan ia sekali lagi meluncur ke arahku, dan aku berhasil mengelak. Kemudian hal serupa terulang lagi berkali-kali hingga napasku tersengal-sengal dan aku mulai lelah. Sial, aku tak ingin pecah seperti bunga. Dan ia sekali lagi meluncur ke arahku, dan bahuku berhasil dirobeknya! Bahuku jadi terasa panas sekali, dan pandanganku seketika berkunang-kunang, dan punggungku mulai terasa kaku—terbangku mulai merendah. Iblis-iblis yang menonton dari balik kelopak-kelopak bunga pun bersiul-siul senang untuk raja mereka.
“Vanny! Di mana kau?!” teriak Doddy sekali lagi, setelah itu ia berjalan menjauh dari gerbang rumahku.
Doddy! Aku terbang mendekatinya dan raja iblis mengejarku. Aku memutari kepala lelaki itu dan ia mulai panik pasti sebab takut kusengat. Ia pun berlari kencang menuju rumahnya seraya mengibas-ngibaskan tangan di udara dan memekik. Aku tetap mengejarnya dan memutar-mutarinya dan bersusah payah menghindari kibasan tangannya, begitupun yang dilakukan oleh sang raja iblis yang tetap mengejarku.
Doddy sampai di halaman rumahnya, dan ia memungut ranting pohon berdaun lebat di tanah, dan ia mengibas-ngibaskannya ke udara. Aku semakin kesulitan mendekatinya, tetapi setidaknya sang raja iblis jadi kesulitan mendekati aku yang mendekati Doddy. Begitu lengan Doddy mulai lelah, begitu kibasannya melambat, aku langsung meluncur ke arahnya dan menancapkan sengatanku ke ujung hidungnya. Ia menjerit, tentu saja. Dan selagi sengatanku tertancap, raja iblis meluncur ke arahku. Tepat saat ujung jarum raja iblis hampir menyentuh tubuhku, aku berhasil melepas sengatan dan mengelak ke samping, sehingga giliran jarum sang iblis yang menancap pada hidung Doddy. Saat itulah, sesuai dugaanku, telapak tangan Doddy terayun menuju wajahnya, dan pufff!!!
Aku melihat asap hijau menyeruak dari hidung lelaki itu—asap yang dengan cepat tersapu angin!
Doddy terjatuh-terduduk dan menjerit sambil menutup wajah dengan kedua tangan. Aku segera terbang ke ruang dalam rumahnya. Aku tidak melihat siapa-siapa di dalam sana, aku hanya mendengar Waltz of the Flowers karya Tchaikovsky diputar kencang dari lantai atas, dan aku melihat kotak obat di meja dekat televisi. Aku melepas mahkota dan kembali ke ukuran normal, lantas aku mengantungi mahkota itu dan aku membawa kotak obat ke halaman untuk menolong Doddy—lelaki itu bingung bagaimana bisa aku berada di rumahnya.
***
Liburan usai keesokan harinya. Aku keluar ke beranda dengan seragam sekolah, dan aku kaget melihat bunga-bunga matahari kembali berdiri tegak, aku bisa mencium wanginya dari sini, dan lebah-lebah kembali beterbangan di atasnya. Yang lebih mengejutkan lagi adalah Doddy telah berdiri di balik gerbang, plester luka menempel pada hidungnya, dan ia tersenyum seraya menyodorkan kotak makanan padaku.
“Makan siang untukmu,” katanya.
Kami pun berjalan kaki menuju sekolah, dan kami berpisah di pertigaan—karena kami berbeda sekolah—dan kupikir aku akan menceritakan kisah hebat ini kepada siapa pun, kecuali kepada Doddy!