Ketuk Palu





SEGALA sesuatu transparan bagiku. Aku tidak pernah menyembunyikan apa pun dari Julian sejak kami kenalan sampai akhirnya berjodoh dan menikah. Tujuanku adalah agar tidak ada yang mengganjal di belakang hari setelah orang lain mengenalku. Aku berharap Julian demikian? Sayangnya aku kecewa dan di kepalaku hanya ada ketuk palu!  

Kami dua anak yang terberkati. Kedua orang tuaku sangat menyukai Julian. Terutama Ibu. Menurut Ibu, Julian itu pribadi yang sopan dan tidak banyak omong. Pada waktu itu aku belum tahu pasti sifat Julian karena kami baru juga kenalan. Sedikit heran, Ibu dengan cepat dapat menyimpulkan seperti itu. Aku senyum-senyum saja Ibu memberi komentar seperti itu. Bagiku, membawa seorang pria ke rumah dan diterima dengan baik sudah lebih cukup. Tidak terpikir lagi, pendapat Ibu seperti apa. Bapak? Aku belum berani membicarakan tentang Julian di depan Bapak. Padahal tidak ada hal yang perlu aku takutkan, dari segi usia kami berdua sudah cukup umur untuk melangkah ke jenjang mahligai pernikahan.

Seminggu kemudian, Bapak menanyakan tentang Julian padaku. Jelas membuat jantungku hampir copot. Sejenak aku lupa berpikir. Bapakku, seorang yang sangat kaku tiba-tiba menanyakan teman pria-ku? Oh, Laksamana Raja di Laut, tidak salah lagi pasti semua ini perbuatan Ibu? Aku mencari-cari wajah Ibu, di wajahnya aku menemukan bulan purnama penuh yang indah sekali. Julian! Kali ini kau benar-benar akan diuji.

Julian melampaui ujian itu dengan gemilang. Bapak seperti Ibu menyukainya. Berarti, ada tiga orang yang kini menyukainya. Aku berharap tidak perlu lagi yang keempat! Aku pasti membunuhnya. Bapak bergerak cepat untuk menikahkan kami dalam pernikahan yang khidmat. Aku tidak mungkin melupakan hari yang khusus dalam hidupku itu.

Aku datang lebih dulu. Mimpi siang sekali pun, aku tidak pernah membayangkan sampai di tempat ini. Kenyataannya, siang ini, mau tidak mau aku ada di lorong pengadilan ini. Tidak berapa lama, Julian muncul dengan pengacaranya. Aku sengaja mengalihkan pandang. Aku tidak ingin melihatnya. Aku tidak ingin berubah pikiran. Tangan Mitha menyentuh punggung tangan kananku. Aku tidak merasakan apa-apa dari sentuhan itu. Mitha selalu setia mendampingi diriku di masa sulit seperti ini. Aku sebenarnya mampu mengatasi sendiri keadaan ini. Tidak ada yang perlu didramatisir. Aku dan Julian memilih mengakhiri pernikahan kami. Kesepakatan kami adalah bercerai. Lamunanku terhenti. Petugas ruang memberi isyarat agar kami berdua memasuki ruang putusan akhir melalui sebuah palu.

Bapak menghadiahkan satu rumah mungil sebagai hadiah pernikahan kami. Sebagai anak tunggal tentu Bapak dapat melakukan apa saja. Tidak ingin kalah, kedua orangtua Julian melakukan hal yang sama. Memberi kami rumah baru selesai dibangun dan lebih besar dari pemberian Bapak. Bapak meminta aku memutuskan pilihan. Bukan tidak sayang Bapak, aku memilih pemberian rumah dari kedua orangtua Julian. Kami menempati rumah baru itu. Aku tidak asal memutuskan walau terdesak oleh waktu. Untungnya keputusanku memang tepat. Aku dan Julian bisa lebih mandiri karena sedikit jauh dari tempat tinggal orangtua kami masing-masing.

Sebagai istri yang baru saja resmi, aku banyak belajar dari Ibu. Sampai aku menikah, Ibu memang tidak pernah secara langsung melibatkanku di dapur. Aku tahu alasannya, dapur adalah tempat kekuasaan Ibu. Sebagai tempat kekuasaan tentu Ibu tidak ingin ada orang lain di sana. Aku sungguh tidak mengerti dengan jalan pikiran Ibu. Aku malas bertanya.

Aku tidak berperan seratus persen seperti Ibu di rumah baru kami. Julian sangat terampil urusan domestik. Aku tidak pusing peralatan makan kotor di bak cucian. Julian dengan senang hati mencuci semua itu hingga bersih. Aku tidak pernah pusing dengan pakaian kotor. Kami telah sepakat membeli mesin cuci terbaik mengatasi permasalahan itu. Tinggal cemplung-cemplung, taburkan detergen secukupnya, dan tambahkan air lalu pencet, selesai. Kami meninggalkan mesin cuci bekerja sendiri sambil membaca. Aku dan Julian keranjingan membaca. Setiap sudut rumah kami adalah tempat terbaik kami membaca buku. Aku tidak pernah dipusingkan urusan remeh-temeh rumah tangga. Julian sama sepertiku tidak ingin terlalu pusing.

Kami menciptakan rumah tangga penuh kesenangan. Kami menjadikan rumah tangga itu seringkas mungkin. Julian setuju, tidak ingin dipusingkan hal-hal yang tidak perlu. Kami melakukan segala tugas berdua. Perut tidak kami jadikan raja. Julian mengajariku membeli makanan kemasan. Dari Julian aku tahu, Ommason Kimchi, sawi yang telah difermentasi enak sekali. Kesukaan Julian, Nong Shim Shin Ramyun, mie kuah dengan tektur lembut terasa enak sekali. Sedikit berbeda dengan mie instan dalam negeri. Julian mengajakku mengubek-ubek dapur begitu perut kami keroncongan. Dapur terasa hangat karena keceriaan kami berdua. Memilih makanan yang kami suka. Sesekali, Julian mengecup tepian bibirku.

Kamar tidur kami! Segala cerita ada di sana. Julian tidak pernah menyentuh barang milikku terutama di atas meja rias. Kami sengaja memilih meja rias yang sedikit lapang. Pekerjaanku sebagai sekretaris tidak lepas dari berdandan. Tidak itu saja, Julian bahkan sering membantuku bagaimana riasan terbaru saat ini. Julian sering memberi masukan agar seni riasku tidak melulu itu itu saja. Julian mencatat dengan rajin, tiap-tiap hari apa saja yang telah aku kenakan di kulit wajahku. Warna lipstikku tidak boleh sama. Tidak lupa Julian menyesuaikan dengan kegiatan setiap harinya aku di kantor. Hasilnya? Rata-rata teman kantor takjub. Bahkan Pak Priyanto, atasanku, terang-terangan memuji. Kata mereka, aku justru semakin cantik setelah menikah.

Di kamar tidur dengan cahaya redup romantis dimanja sejuk udara pendingin yang semilir Julian total berubah. Aku diperlakukan layaknya ratu. Julian menyentuhku penuh rasa. Menciumiku tak kenal buru-buru. Aku benar-benar terbang tanpa sayap ke angkasa. Kulitnya menyentuh kulitku begitu rupa. Lengannya yang liat memberiku rasa aman. Julian tidak menuntut justru menuntun dengan penuh kesabaran. Julian mendorongku ke angkasa dengan perlahan. Aku melambung jauh hampir menyentuh awan-awan. Julian membiarkanku menikmati keindahan angkasa. Aku semakin melambung tinggi. Angkasa benar-benar berada di depan mataku. Senyum Julian menemaniku dan sekali pun tidak membiarkan aku terjatuh. Tangannya tak pernah lepas dari genggamanku. Julian terus membawaku terbang. Berdua kami melintasi angkasa menuju pintu masuk kayangan.

Sepanjang malam kami terus bercerita. Aku merebahkan diri di bawah dagunya. Mataku tak berkedip melihat ia membaca buku cerita untukku. Aku mengakui kemampuan Julian membaca buku cerita menjelang tidur. Malam-malam kami tidak pernah lalu tanpa sepotong cerita yang ia bacakan sebelum kami tidur. Aku justru menuntut Julian membaca satu cerita untukku agar aku dapat tidur dengan nyenyak. Intonasi suara Julian, kemampuan menjeda kalimat. Kemahiran mengisi ruh dari cerita yang ia baca benar-benar membuatku bertambah kagum pada Julian. Suara tegas Julian benar-benar mengisi tiap pori-pori dinding kamar tidur kami. Cerita-cerita Julian menjadi pengisi tetap malam-malam kami.

Aku lebih dulu tertidur tanpa sadar. Julian membiarkan lengannya menjadi sandaran kepalaku. Sehalus mungkin Julian menutup buku tebalnya meletakkan di meja samping lalu meredupkan lampu meja setelahnya memelukku dengan erat. Malam perlahan-lahan berubah tenang dan damai. Kami tidur berpelukan sampai pagi. Selalu seperti itu, selalu!

Aku dan Julian duduk di kursi di tengah ruangan. Di depan kami mengawasi pandangan tajam hakim ketua bersama anggotanya. Ini kali ketiga aku duduk di kursi panas itu. Julian di sebalah kananku. Kami berjarak kurang lebih satu meter. Aku benar-benar tidak ingin menolehnya. Aku mengambil kesibukan membenarkan posisi dudukku. Aku sama sekali tidak peduli dengan dirinya. Hakim ketua seakan memberi kami jeda untuk mempersiapkan diri sebelum ketuk palu itu diketukkan!

Julian mengantarku ke tempat kerja sebelum ia meneruskan ke tempat kerjanya. Mbak Mun tinggal di rumah seorang diri untuk membantu kami membereskan rumah. Ibu Julian yang mengantar Mbak Mun untuk kami. Aku sendiri merasa belum membutuhkan kehadiran orang lain. Toh kami tidak terlalu pusing dengan urusan rumah tangga. Julian menyerahkan putusan di tanganku. Aku berpikir demi menyenangkan semua pihak akhirnya aku menerima Mbak Mun tinggal di rumah kami. Kamarnya cukup jauh dari ruang utama jadi aku merasa tidak terganggu. Julian setuju-setuju saja. Adanya Mbak Mun justru mengubah kami seperti sepasang burung merpati bebas terbang ke mana saja setelah pulang kerja.

Julian menyukai pasar malam. Julian tidak begitu suka tempat seperti mal. Julian hapal di mana ada pasar malam baru buka. Aku sendiri tidak pernah tahu tentang pasar malam. Kata Julian, potret kehidupan asli ada di pasar malam. Berkumpul orang-orang kebanyakan dengan beragam keadaan. Julian menggandeng tanganku untuk menyusuri lorong-lorong pasar malam yang selalu penuh sesak. Makanan murah meriah. Minuman aneka rasa dan rupa. Gula-gula beragam bentuk. Penjual pakaian-pakaian murah meriah. Beragam lesehan tumpah ruah di pasar malam. Julian menjelaskan dengan sabar padaku tentang segala filosofinya. Termasuk pengamen, peminta sumbangan, dan pengemis. Julian tanpa canggung membaur cepat. Aku tiba-tiba teringat Ibu. Teringat cara Ibu dulu menyukai Julian.

Mbak Mun segera tanggap apa yang dimaksud Julian. Cekatan kedua tangan Mbak Mun membungkus sembako sesuai tulisan tangan Julian. Aku menjadi bertanya-tanya di dalam hati. Mengamati cara kerja Mbak Mun tidak mungkin rasanya Mbak Mun baru pertama ini melakukan tugas seperti ini. Aku sendiri ingin membantu tapi Mbak Mun mencegahnya. Termasuk Julian, suamiku cukup memintaku menghitung hasil akhirnya saja. Setiap akhir pekan, Julian mengajakku mengunjungi anak-anak kurang beruntung. Tidak melulu di panti asuhan. Julian memiliki rekapan tempat di mana anak-anak kurang beruntung itu berada. Aku terperangah membacanya. Benar-benar tidak percaya, Julian memiliki jiwa sosial yang begitu tinggi. Akhirnya Mbak Mun terbuka mengenai kebiasaan Julian.

Puluhan anak tidak asing dengan Julian. Mereka segera mendekat begitu kami tiba di bawa jembatan layang tempat berkumpul. Di sana teman-teman Julian sudah hadir. Aku sudah bertemu mereka saat kami menikah. Mitha salah satunya. Mereka membentuk kelas sederhana untuk mengajari anak-anak putus sekolah itu. Bagi yang sekolah, komunitas Julian menyokong beasiswa. Ada juga beberapa Ibu muda hadir mengikuti pertemuan. Sebagian besar menunggu pembagian sembako. Aku mengamati wajah-wajah membutuhkan dari mereka. Julian berdiri di sisiku mengawasi kegiatan teman-temannya.

“Mereka anak-anak tidak berdosa. Lahir ke dunia dengan beragam cerita. Rata-rata tidak jelas orangtuanya. Kasihan! Tidak terbayang berapa banyak anak-anak seperti ini di negeri kita. Mereka harus dientaskan supaya memiliki masa depan,” bisik Julian padaku.

“Ibu-ibu muda itu?” tanyaku pelan.

“Ada yang menikah ada yang tidak. Tetapi mereka melahirkan anak. Ada yang merawat sendiri ada yang meninggalkan di bidan. Semua alasan ekonomi. Tidak jelas nasib anak-anak yang ditinggalkan itu,” ujar Julian pelan.

“Oh!” jawabku terenyuh.

“Seperti itulah!” pungkas Julian. “Beberapa dari anak-anak itu adalah anak adposiku. Anak kita sekarang. Kita tidak perlu lagi menambah anak sebab anak-anak ini saja sudah terlalu banyak. Membutuhkan biaya dan perhatian. Kita adalah orangtua mereka!”

Aku melirik cepat pada Julian. Sayangnya ia tidak melihatku. Tugasnya menunggu menggantikan teman-temannya di depan. Kata-kata Julian terekam terus di otakku. Aku merasa aneh dengan maksud Julian barusan. Paling Julian bercanda. Batinku.

“Apa maksud dari kata-kata, kita tidak perlu menambah anak lagi di tempat pertemuan tadi. Aku masih belum paham?” tanyaku setelah Julian membaca sepotong cerita.

“Oh itu! Yaa, kau tidak perlu susah-susah mengandung bayi kita. Tubuhmu tidak perlu berubah karena itu. Kita selamanya hanya berdua saja. Kau menemaniku mendampingi anak-anak terlantar itu. Begitu maksudnya,” sahut Julian enteng.

Keningku berkerut makin tidak paham. “Bagaimana mungkin?”

“Aku sudah KB permanen. Vasektomi!” jawab Julian tersenyum.

Malam itu alam seperti menyumbat tenggorokanku. Suaraku ikut menghilang permanen. Aku menarik diri dari Julian secara halus. Bahunya tidak menarik lagi bagiku sebagai bantalku sepanjang malam. Aku mulai enggan menikmati suaranya membaca potongan-potongan cerita setiap malam. Aku menepis rangkulan tangan kokohnya. Aku tidak ingin lagi penerangan redup di kamar kami. Lebih mengerikan lagi aku tidak ingin tidur bersisian lagi dengannya. Aku merasa seperti hidup serumah dengan orang asing!

Permasalahan kami sudah jelas sekarang. Julian tidak transaparan sebelumnya. Tidak jelas apa Julian lupa atau sengaja merahasiakan diri? Aku memutuskan bercerai!

“Saudari Dinda!” Suara ketua Hakim menggema.

“Ya, Pak Hakim.” Aku meluruskan pandangan.

“Saudara Julian!” Ketua Hakim mengalihkan pandang.

“Ya, Pak Hakim.” Suara Julian terbata. Ruang sidang berubah hening.

Tidak lama keheningan itu bubrah oleh dorongan pintu yang dibuka paksa. Serta merta seluruh mata menoleh ke arah pintu. Aku terkejut setelah menyadarinya. Komunitas Sosial Julian hadir bersama anak-anak terlantar yang mereka bimbing. Ketua Hakim membiarkan sejenak untuk memastikan apa yang terjadi. Mitha berjalan mendekati mereka.

“Sebelumnya maafkan kami, Pak Hakim Ketua? Kami tidak ada niatan membuat keributan. Kami hanya ingin menggagalkan perceraian sahabat kami. Julian sahabat kami yang paling baik. Tidak adil sahabat kami menerima perlakukan seperti ini. Kami mohon waktu sebentar Pak Hakim Ketua?” Jono sahabat Julian maju ke tengah ruangan. Jono berjalan mendekati kursi tempatku duduk. Aku merasa dadaku berdebar kencang.

“Tolong jangan bercerai Dinda? Apakah anak-anak tidak berdosa itu tidak cukup menjadi anak kalian? Tolong Dinda. Saya mohon?” Jono menangkupkan kedua tangan di dada. Aku bergeming. Teman komunitas Julian tahu apa akar masalah kami.

Ruang sidang kembali hening. Pak Hakim Ketua membiarkan menit berjalan. Tanpa sadar aku menoleh pada Julian yang terus menunduk. Seberapa penting anak dari rahimku? Walau aku masih belum memahami keputusan Julian memilih KB alami!

“Julian! Ayo kita pulang?” Aku mengulurkan tangan kananku. Perlahan dagu itu terangkat lalu melihatku. Aku menyakinkannya. Julian menyentuh tanganku lembut.

Palu diketuk tiga kali secara beruntun. Aku berubah seketika karena cinta Julian.






================
Ricardo Marbun, kelahiran Jakarta, 27 Nopember. Lulusan Unesa. Menyukai menulis sejak tahun 2010. Karyanya dimuat di berbagai media nasional. Pemenang Utama Travel & Love tahun 2014. Satu Karyanya masuk dalam Kumpulan Cerpen Fakultas Sastra Universitas Negeri Yogyakarta. Pemenang Lomba Cerpen Preman dan Corona, ANP Books, 2020. Pemenang 2 Lomba Cerpen Narrative Writing, 2020, Pemenang 2, Lomba Cerpen Penulis Muslim, 2020, Pemenang 3 Lomba Cerpen Pejuang Antologi, 2020. Juara 1 Lomba Cerpen Morfeus 2021. Pengagum Budi Darma, Pramudya dan Mira W. Tinggal di Surabaya. Ingin menulis sepanjang hayat.

Bagikan:

Penulis →

Kontributor Magrib

Tulisan ini adalah kiriman dari kontributor yang tertara namanya di halaman ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *