Kubah yang Kita Saksikan
sebentar lagi surup,
langit menyolek wajahnya yang biru
menjadi saga semburat ungu.
Sementara kita masih sempoyongan
memikul seonggok hidup yang entah
sampai kapan kita perjuangkan.
Kita selalu melewati jalan yang sama
setiap hari, setiap senja,
hingga gulita.
Tak ada perubahan dalam kisah,
dan kubah-kubah yang kita saksikan masih basah
tak pernah kita sapa,
bahkan sekadar mendengarkan seruan
toa-toa di dalamnya.
Apakah kita tak pernah peduli,
atau memang selamanya tuli?
Marilah sejenak bertakhalli,
menyaksikan kubah-kubah tajalli
dan mendapati ketenangan, yang dilantunkan saban kali,
ketika kita lewati.
Jombang, September 2021.
Lelaki yang Mengumandangkan Tarhim
Lelaki itu datang tepat waktu
sebelum fajar bertandang, malu-malu.
Wajahnya layu, dan matanya musim kemarau.
Mengumandangkan tarhim,
dengan suara parau.
Seperti talqin di pemakaman:
penuh kesedihan,
haru.
Rambutnya seputih kafan,
berkerudung sorban
serta angan-angan kematian.
Sendiri, di serambi.
Kelelawar-kelewawar semalam bertualang,
kini kembali menggantung tubuhnya,
di sela-sela tarhim
dan atap-atap masjid:
menunggu lelaki itu menyampaikan Subuh.
Sementa burung kedasih di pucuk menara,
menyampaikan salam pada kekasih
dan malaikat subuh.
Hingga lelaki itu lekas berjumpa,
dengan cita-citanya.
Mengendarai amalannya,
terlepas raganya
selepas sujud Subuh, berlabuh.
Jombang, September 2021
Kendi Liat di Pelataran Masjid
Kendi liat mengajarkan kebaikan
di ujung mulutnya mengalir kedamaian:
menyeka segala bara di wajah
mereda segala gelisah
membasuh debu-debu dosa
yang melekat di tangan-tangan kita
mengaliri gersang ubun-ubun
hingga subur rambut dengan doa-doa
dan meluruskan langkah kaki
yang seharian menerjang jalan kekhilafan
Kendi liat mengalirkan kebaikan
di pelataran masjid ia bersemayam
Jombang, 2021
Lelaki dan Burung Gereja di Masjid
: untuk kawan perantau
Burung-burung gereja bersarang di masjid
sementara lelaki merenung memandang langit
matanya berkaca-kaca, mengingat sesuatu yang entah.
Dan burung-burung itu mulai bercicit
mengelepar, menyuapi anak-anaknya
setelah sekian waktu kelayapan
mencari serangga dan biji-bijian.
Lelaki yang merenung itu mengalihkan pandang,
pada burung-burung riuh di sarang.
Kemudian air matanya tumpah
disekanya dengan selawatan,
sembari hatinya berkata
“Andai saja aku burung itu, alangkah bahagianya aku.”
Lekas lelaki itu tersenyum,
memandangi foto yang terselip di halaman buku, dan dicium.
Jombang, September 2021
Menunggu Fajar
bila semalaman aku menulis puisi
seketika kau datang
dan bersandar dalam angan-angan.
lewat selawat daun-daun
hingga mengalir embun-embun.
Namun aku menyadari,
bahwa angin tak selamanya dingin
sebab, kenangan adalah api unggun
yang teramat hangat
meski datang hanya sekelebat
mengingatkan diksi, yang tak sempat
tercatat.
Dan kau tak pernah buru-buru pergi
selama rakaat-rakaat belum selesai
dan fajar menghampiri, menuntaskan puisi.
Jombang, September 2021