Zikir Sepanjang Jalan


Seperti Kata, Fana

aku piatu
di kota tanpa ibu
kurindu payung
lindungi airmata
tak basahi diriku

selebihnya kau beri makna
aku — seperti kata, fana

kau yang menuntunku
dari ranjang yang belum
dibersihkan dari darah
kelahiranku;
“mataku kupinjam dari
matamu.” —

aku dibangunkan
riuh iringan di luar
: kiranya aku yang
ditandu. kau berjalan
di bawah katilku

selamat siang,
aku lupa terjaga
pagi tadi

2019/2020





Kalau pun Aku Mati

setelah tiba di kepala gunung itu
aku pun tak lagi mendongak, tapi
kuluruhkan pandang ke lereng jauh
segala hanya lembaran tikar
          tiada lagi lawan di sini
sebab aku adalah kawan juga musuh

dengan bayang aku bertengkar
pada tanganku saling cakar
di mataku setiap kulihat samar
masuk ke hati, tubuhku gemetar

di gunung itu kuterima suratsurat itu

sesampai di laut luas, baru kurindu
pulau mana pernah mengawinkan
sepasang kekasih, dan jadi aku
yang juga melata di luas tanah

       seekor ikan di depanku. sungguh,
kuingin lelap di perutnya. sampai
suatu kelak aku dilepeh ke daratan
“mahasuci Kau, aku termasuk orang
zalim!”

aku sendiri, hilang musuh pergi kawan

kalau pun aku mati
kau ziarah ke laut ini

tapi, sekiranya hutan menyesatkan aku
ke gunung aku tak punya kabar
di laut aku kehilangan mercusuar

kepada-Mu aku meminta?





Tentang Si Kisah

si kisah itu begitu cepat
menamatkan ceritanya
dari impian akan dikisahkan
bagi yang datang
kemudian. “biarkan yang
telah pergi membawa
kisahnya sendiri,” katanya
dalam dialog entah di halaman
berapa

kini, ini malam, ia rampungkan
kisahnya. si kisah mengatakan,
setelah ini hanya ingatan
tentangku: orang yang berada
di balik ceritacerita. dalam
halaman demi halaman kertas

         – di panggung ke panggung
            hanya si kisah. “itu namaku.” –

si kisah itu menamatkan lebih
cepat ceritanya. seperti terburuburu,
seakan ada yang menunggu cemas
di luar sana. “aku tak akan menunda
dan memanjangmanjangkan kisah ini,
ia sudah menagih. aku berutang,” kata
si kisah kemudian keluar. cepat sekali

2021





Tuhan, Betapa Dekat Kematian

alangkah akrab aku dengan kepergian
aroma bunga dan setanggi, dengung
tangis dan ketukan duka, kepala tertunduk
bersama zikir sepanjang jalan ke makam;
alangkah akrab begitu kematian

dari namanama yang tak bisa kusebut,
hingga orangorang yang amat dekat;
sebagai tubuhku juga, yang kadang
sakit perih lalu tertawa dan kembali sepi

sepilah aku, sepi tanpamu lagi

o Tuhan
betapa dekat kematian itu
kini





Buka Dirimu

bawakan pagi ke mari
malam amat letih
dan minta dilipat
sejak tadi, sebelum
tiang listrik dipukul
peronda yang jahil
(ia kira suara itu
membuat lari pencuri)
lalu aku lupa langkah
waktu, dingin di dinding
semayam di tidurku

     kau tahu, aku mimpi dirimu
     kuseret ke semak taman itu
     batang rumput kuyup; peluhku
     pengembara. telah kusunting
     tubuhmu ke dalam buku ini
     tertulis lekuk-molek di baitbait
     puisi. “bukankah kita petualang
     dan tak seorang petarung?”

kau buka dirimu, seluas taman
setinggi gunung. sedalam laut
yang tak terukur lebarnya: maut?

Pada liku tubuhmu
kueja setiap jejakku
yang turut putaran waktu
: langkah tak lelah

“kecuali aku,” kata usia





Panjang Dan Berkelok

Perjalanan Ini

panjang dan berkelok
perjalanan ini sebelum sampai
di ruangan; hanya aroma obat
selang yang terhubung di hidung
di situ mengalir antara mati
dan hidup; angka yang menurun
dan naik. serupa burung terbang
nuju langit atau pulang ke ranting

dunia goyang mata kerlip bagai
bintang, usia dimainkan gelombang:
dihanyutkan jauh atau diam dia pantai
menanti senja, menunggu subuh

di tangan cahaya suluh





Kepada Yang Berulang Tahun

                                    * Faisol Mursaid

kepada kau yang berulang tahun
kuberi sepohon usia padamu
nikmati sejuk anginnya, pilihlah
buahbuah manis-asam-kecut
darinya. cukup, sisakan untukku
seranting keriangan; ingin
kuhapus cemas dan ketakutan ini

     ketika badai ini kian amuk
         aku bisa mati terkutuk
           tak mampu ke pucuk
              ditolak oleh tanah

pandemi ini
      pandemi ini
seperti gurita abadi

cukup rayakan di satu meja
kecil, tiada lilinlilin itu
lupakan setampuk tart

pejam mata: adakah perjalanan
masih panjang yang terbentang
di depan? laut masih tak terbaca
padangpadang terhampar
                     sesak belukar

jalanlah!

aku ingin pula melangkah
tetap ingin menyanyikan
hidup yang jauh dari badai




Bagikan:

Penulis →

Isbedy Stiawan ZS

lahir dan sampai kini menetap di Tanjungkarang, Lampung. Ia menulis puisi, cerpen, esai, dan karya jurnalistik. Saat ini sdh merampungkan trilogi buku puisi bertema kematian, kritik, dan pandemi covid yakni Burungburung dan Kisah Lain, Buku Tipis untuk Kematian (siap diterbitkan basabasi Yogyakarta), dan Musim Kabung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *