Tidurlah Sebentar di Doa-Doaku


Yang Tertinggal Dari Waktu

Yang tertinggal hanyalah embun. Cemerlang di pucuk daun. Betapa kesepian rindu itu diurai hujan. Sedangkan doa-doa berkelebat di atas wuwungan. Mendesirkan gemuruh dada. Di luar jendela malam belumlah purnama.

Sepertinya masa kanak-kanaklah yang mengekalkan rindu. Ingin rasanya kembali ke rahim ibu. Bersemadi dalam hening sepi. Mengeja tentang dunia apa di luar sana. Dan wajah-wajah siapa yang tengah khusyuk berdoa.

Yang tertinggal hanyalah embun. Dengan jemarinya membelai dadaku yang koyak. Kesepian perlahan menelan jiwaku untuk berontak. Di belikat mana pernah kusimpan nyanyian luka. Dan waktu hanyalah sepasang sayap kupu-kupu yang meretak. Rindu itu tetap ada, tumbuh menjadi pepohonan rimbun. Tak bisa aku menolak atau sekadar berpaling mencabut akarnya yang membelukar sampai ke ubun-ubun.

Kaliwungu, 2022




Aku Menciummu

Ciuman ini bukanlah terakhir. Menerbangkan rindu sampai padamu. Berjingkat-jingkat di antara sayap-sayap kelelawar. Walau kabut bisa aku maknai sebagai senyummu yang abadi. Bolehkah kupinjam seraut wajah itu untuk kugambar. Kesepian ini mudah-mudahan masih bisa menciptakan sajak-sajak perjumpaan kita kembali.

Kelak aku ingin sepasang kaki-kaki ini bisa berlari ke cahaya matahari. Meranumkan bunga-bunga di depan rumah kita. Aku tahu nyaliku tak cukup untuk tenggelam dalam pelukanmu. Menancap tajam seperti duri. Melumatmu seperti dalam kehangatan pagi. Kekasih, tidurlah sebentar di doa-doaku yang gelap. Seperti malam yang selalu malu-malu sembunyi dalam senyap.

Kaliwungu, 2022




Apakah Rindu Ini Akan Sampai Padamu

Perjalanan kita mencatat riuh di atas bebatu. Sesekali ingin kusingkap gerai rambutmu. Menelungsupkan takut pada pertemuan yang asing. Asing karena tak bisa kupahami. Tentang jiwa-jiwa melayang di atas awan. Merangkul bulan. Membenamkan rindu yang tak sampai. Sejauh mana kaki ini melangkah. Hingga lunglai! Hingga lunglai! Dermaga berpasir putih tak kunjung terlihat di depan mata. Hanya kabar angin. Camar mati tertusuk ombak saat melaut. Dan angin mendesing di telingaku membisikkan perjalanan masih jauh dan berkabut.

Adakah wangi tengkukmu membawaku ke pekat surga. Bukan karena malaikat maut meniupkan sangkakala. Aku berlari mengejar cahaya. Kekasih, siapa yang menanam buah neraka di sepanjang perjalanan kita. Mencengkeram kaki menghunus belati. Mengkilat sampai ke jantungku. Aku tak tahu bila jejak telah meninggi sampai ke bukit tempat tubuhku disalib. Menjadi pintu-pintu yang terkunci dengan tangismu. Ingin aku membacanya sekali lagi, tentang perjalanan yang akhirnya berbuah temu.

Kaliwungu, 2022




Ngigau

Aku raih bulan di genggaman tanganku. Dan melemparkannya ke arus sungai. Agar terbawa ke muara! Agar terbawa ke muara! Namun di gerumbul ranting, cahayanya tersangkut melambai. Seolah tak koyak oleh riak. Kuambil dengan kedua telapak tanganku, tiba-tiba raib. Menjelma menjadi wajahku yang kuyu.

Aku tersentak, di langit bulan menghilang. Tinggal bintang kesepian. Ketakutan bergelantungan di awan. Kelelawarpun menjerit tertikam. Bayang-bayang meninggalkan rintih. Menyusup di dadaku. Rintih siapakah aku tak tahu.

Sedangkan di balik bayang cermin,  kosong tak ada wajahku. Mimpi-mimpi telah menjadi batu. Dan aku berjalan pelan menyusuri tiap ceruknya. Menjadi semut hitam mencari percikan sinar rembulan. Yang terbias samar di tepian jalan.

Kaliwungu, 2022




Bayanganmu Adalah Candu

Keperihan itu mengular sampai ujung kepalaku. Mentasbihkan kata-kata rindu. Dan pelan-pelan kucoba lukis kisah ini seperti gambar Affandi. Wajahmu yang terbayang tak bisa mengubah warna hitam menjadi warna-warni. Tetap saja kabut menorehkan musim yang lain.

Mungkin, aku tengah mabuk. Aku tak tahan melihat bulan berpelukan. Dan bintang tampak pucat menahan kecamuk. Sepertiku juga, rindu ini tak ada bisiknya. Bahkan bila suatu hari nanti aku mati. Aku ingin mabuk sekali lagi. Tentang wajahmu dan wangimu yang tak bisa aku pungkiri. Walau jarak kita seperti surga dan neraka. Namun seribu isyarat seakan berkata kita pernah bersama.

Kaliwungu, 2022




Tak Hanya Lewat Segelas Kopi Dan Selinting Rokok

Kesumpekan mengambang berkelindan dengan asap ketidakpastian. Aroma kekosongan terhirup membumbung seperti lindu. Rindu seakan tergenapi dari selinting rokok dan secangkir kopi kepahitan. Mendentumkan detak yang tak pasti dari sebuah tanya. Angin tetap menghantarkan gigil. Walau wajahnya tersalib sempurna di belantara ingatan renta.

O … wangi bunga kehampaan menyergap mengendap-endap mencuri dengar gemuruh di kepala. Tetap tak bisa tergambar walau seribu teguk kopi dan selinting rokok mengepul menjadi kata-kata. Lewat goresan tinta yang mana bisa kuurai tentang Dia. Tergolek kepala ini di atas meja. Mencari lewat celah mana sebuah titik harus dimulai atau diakhiri. Menjadi zikir sunyi.

Kaliwungu, 2022




Perputaran Waktu

Waktu menggigil. Menanamkan peluh pada daun-daun. Mengusapnya dengan gerimis. Dan aku menjelma riuh, menghantam pinggir genting jatuh terkapar di beranda rumahmu. Lihatlah matahari koyak sinarnya ditikam runcing daun bambu.

Kuketuk pintu kau tertidur. Memeluk waktu sedepa jaraknya. Menanam mimpi-mimpi kaum urban. Berharap daun-daun mulai semi seiring waktu berjalan. Kau lupa awan selalu menyiulkan mendung. Dan matahari pura-pura tuli. Beringsut pergi.

Kaliwungu, 2022






Bagikan:

Penulis →

Ngadi Nugroho

Lahir di Semarang, 28 Juni ’78. Menulis sajak menjadi suatu aktifitas menggugah ruang kesadaran yang menyenangkan. Sajaknya masuk dalam beberapa antologi ( Pujangga Facebook Indonesia, Progo7, Dunia: Penyair Mencatat Ingatan, Lampion Merah Dadu dll ) beberapa pula masuk di media online (Umakalada News, Litera.co.id, Suara Krajan.com, Mbludus.com, Kepul, Riausastra, Pronusantara, Majalah Elipsis, Majalah Santarang, Balipolitika dll)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *