Ruang Bercahaya Merah


KAU benar-benar seorang pemalas,” gerutu istri Majid sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Majid berusia tiga puluh tahun, ia tak akan pergi bekerja walaupun orang akan mengancamnya dengan senjata tajam bahkan pistol. Istri Majid yang begitu cantik dipandang akan menggerutu sepanjang hari jika suaminya berada di rumah. Apa yang dikerjakan Majid hanya mematut-matut hal apa saja yang dapat ia kerjakan, berkali-kali Majid memikirkannya namun tak satu jua ia kerjakan. Suatu sore istri Majid pulang ke kampung halamannya, istri Majid tidak pergi begitu saja meski suaminya itu selalu membuatnya kesal.

“Dengarkan aku baik-baik,” kata Istri Majid.

“Ada apa? Kau ingin menyuruhku melakukan sesuatu yang kau sendiri bisa melakukannya, ” ujar Majid, sebab belakangan ini istrinya begitu cerewet.

“Aku akan pergi. Kira-kira tiga atau tujuh hari lamanya,” kata istri Majid dengan ketenangan yang dibuat-buat, padahal ia sangat kesal.

“Baiklah, terserah padamu, aku tak terlalu ingin mencampuri urusanmu saat ini,” jawab Majid.

Istri Majid berangkat dengan menumpang kereta, begitu jawabnya ketika Majid bertanya, “Pergi dengan apa?” Perjalanan ke kampung halamannya menghabiskan waktu sehari, tapi kampung halaman bukanlah tujuan utama istri Majid, melainkan sebuah alasan untuk mengelabui suaminya yang pemalas. Ke mana istri Majid pergi? Pertemuan tak terduga Majid dan istrinya akan memperjelas keadaan yang sesungguhnya. Bagaimana Majid bisa bertahan tanpa istrinya yang menanggung hidupnya sejak awal pernikahan. Tiba-tiba Majid merasa lapar dan ia pergi memeriksa makanan di dapur.

“Sungguh apakah dia ingin membiarkan aku kelaparan tanpa meninggalkan sedikit pun makanan,” gumam Majid.

Kemudian Majid kembali ke tempat ia biasa mematut-matut hal yang akan dilakukannya. Majid memang sudah terbiasa tidak makan pada malam hari, sebagai ganti makan malam ia akan menghabiskan bergelas-gelas kopi.

Pada saat lewat tengah malam, seorang pencuri menyelinap masuk ke rumah Majid. Dalam bayang-bayang gelap Majid berdiri dengan tenangnya seolah pencuri yang datang itu bukanlah sesuatu yang membahayakan. Terdengar gerak-gerik pencuri itu bagai tikus di atas piring bekas makan yang belum dicuci. Begitu pencuri itu menyadari pemilik rumah masih terjaga, sebilah pisau dicabut dari sarungnya dan ia berjalan pelan-pelan ke arah Majid.

“Kau mendatangi rumah seorang pemalas, tak ada gunanya kau mencuri di sini.” Ujar Majid saat pencuri itu berjarak beberapa langkah darinya.

“Sialan! Lalu bagaimana kau bertahan hidup?” tanya si pencuri.

“Sekarang istriku tidak ada di rumah, sebentar lagi mungkin aku akan mati jika ia tak kembali. Kau menginginkan sesuatu yang berharga di sini? Tidak, tidak akan kau temukan yang seperti itu di rumah ini,” kata Majid.

“Dan apa yang bisa kucuri di sini?” Pencuri itu menanyakan pertanyaan konyol kepada Majid.

“Sudah kukatakan, tidak ada apa-apa di sini,” ujar Majid.

Lalu pencuri itu pergi meninggalkan rumah Majid sambil mengumpat-umpat bahwa ia telah menyesal mendatangi rumah seorang pemalas. Malam itu adalah malam yang tanpa hasil bagi si pencuri karena rekornya sebagai pencuri tercoreng. Tak lama setelah kepergian pencuri yang gagal itu, Majid langsung tertidur.

Pada hari-hari berikutnya, Majid melakukan rutinitasnya seperti biasa, yaitu mengira-ngira hal yang cocok ia kerjakan. Kau tak akan percaya, ia benar-benar melakukan hal yang terbersit di pikirannya hari itu. Yang Majid lakukan ialah pergi ke rumah bordil di kotanya. Di sana Majid akan mendongeng pada saat percintaan tengah berlangsung di hadapannya. Benar-benar suatu pekerjaan yang sulit dibayangkan. Namun orang seperti Majid tak akan mudah tergoda dengan hal semacam itu.

Pukul delapan malam lewat Majid berangkat dan suasana di rumah bordil masih sangat sepi. Majid tidak minum-minuman keras dan orang yang melintas melewati meja tempat ia menunggu pasangan yang membutuhkan cerita darinya akan heran, bagaimana bisa orang pergi ke laut berharap mendapat ikan air tawar? Barangkali itulah metafora yang tepat untuk Majid.

“Mustahil. Tak ada orang yang datang ke sini untuk mendengarkan dongeng di saat yang begitu intim,” ujar lelaki gendut berpenampilan layaknya mafia itu.

“Persetan! Aku datang ke sini, hanya untuk malam ini saja, lagi pula aku tak ada urusan denganmu,” kata Majid.

“Sabar, kawan. Sabar. Aku tak ingin menghajarmu sekarang karena tujuanku di sini belum tercapai,” kata lelaki gendut berpenampilan layaknya mafia itu dan pindah ke meja lainnya.

Sudah satu jam berlalu. Seorang perempuan muncul dari arah ruangan bercahaya merah, ia adalah pemilik rumah bordil yang termasyhur di kota itu. Meski pemilik rumah bordil itu terkenal, Majid tak akan mengenalnya sampai saat perempuan pemilik rumah bordil menghampirinya.

“Selamat malam. Saya Savitri (nama samaran), apakah kamu membutuhkan sesuatu?” Savitri menggeser kursi di sebelah Majid dan duduk sambil menyilangkan kakinya.

“Tentu. Saya sedang membutuhkan uang, sudah empat hari saya tidak makan-makanan yang layak,” jawab Majid.

“Baiklah. Anda makan dengan layak atau tidak makan sama sekali, saya tidak peduli. Namun, yang membingungkan saya mengapa datang ke sini? Maksud saya, apa yang akan kamu lakukan di tempat seperti ini?” Savitri merasa heran. Jika seorang perempuan yang datang kepadanya dengan alasan membutuhkan uang maka Savitri akan memberikan solusinya.

“Saya akan mendongeng untuk mereka,” kata Majid, “Ya, kau sendiri kan tahu tujuan orang-orang datang ke sini, menghabiskan uang untuk hal yang sekejap,” sambung Majid.

“Benar yang kau katakan. Tapi menurutku, orang yang datang ke sini untuk melegakan perasaan. Mereka rela membayar mahal untuk itu,” ujar Savitri.

“Kalau begitu, kau tentu dapat membantu saya mencarikan orang yang ingin mendengarkan sebuah dongeng. Saya punya banyak kisah-kisah hebat,” kata Majid.

“Dengan senang hati saya akan membantu. Tunggulah di sini, saya akan beritahu nanti jika ada seseorang yang membutuhkanmu.” Savitri berkata sambil mengikat rambutnya.

“Saya akan menunggu sampai malam ini berlalu,” jawab Majid.

Tak lama berselang setelah Savitri beranjak pergi, Majid kembali dalam kesunyiannya meski musik bergema cukup keras di ruangan itu. Tak ada satu pun orang yang membutuhkan Majid, ya, karena manusia makhluk yang pemalu di saat-saat—aku tidak ingin menyebutkannya di sini, kalian tentu sudah mengerti. Savitri kembali menghampiri Majid.

“Tak ada yang membutuhkanmu malam ini sepertinya,” kata Savitri.

“Tetap akan saya tunggu. Saya tak akan melewatkan kesempatan,” ujar Majid.

“Ya ampun. Sebaiknya, carilah pekerjaan yang jelas, sekarang tak ada lagi orang yang menyewa pendongeng, kecuali kau menulisnya.” Savitri berkata dengan suara yang terdengar lembut.

Lelaki gendut berpenampilan layaknya mafia dengan kening berkeringat berjalan sempoyongan dan menabrak meja, segala yang di atas meja jatuh, beberapa gelas pecah karena jatuh ke lantai. Majid tak beranjak, Savitri berdiri dan beberapa karyawan berdatangan untuk membereskan ulah lelaki gendut itu serta menyingkirkannya ke jalanan.

“Kita berbicara di luar saja, kamu bilang beberapa hari ini belum makan dengan layak, ikutlah denganku,” kata Savitri.

“Kau benar-benar penyelamat,” ujar Majid dan segera beranjak dari duduk, mengikuti Savitri yang berjalan di depannya.

Beberapa langkah setelah keluar dari rumah bordil, Majid menceritakan kisah karpet berwarna merah delima kepada Savitri. Cerita Majid sangat panjang sampai-sampai saat memasuki sebuah restoran di seberang jalan, ceritanya belum berakhir.

“Simpan dulu ceritamu,” potong Savitri sebab Majid bercerita tanpa henti.

“Huh, hampir saja saya lupa tujuan kita datang ke sini,” ujar Majid.

“Aneh,” gumam Savitri. Kemudian seorang pelayan datang menyerahkan buku menu.

“Saya pesan apa yang kamu pesan,” ujar Majid.

“Baiklah,” jawab Savitri.

Pesanan itu tiba beberapa menit kemudian, satu piring makanan dan dua cangkir minuman hangat. Savitri tidak makan lewat dari jam empat sore, ia adalah seorang perempuan dengan pola makan teratur dan keseimbangan gizinya selalu tercukupi. Saat ini, kita biarkan dulu Majid bersantap ditemani Savitri yang telah membayar jamuan tersebut. Kedatangan istri Majid ke restoran itu adalah hal yang tak terduga, andai kata istri Majid tak datang bersama lelaki lain maka tak akan menimbulkan kecurigaan Majid kepadanya saat bertemu dan istri Majid juga tak akan berprasangka buruk jika Majid tidak bersama Savitri. Ternyata benar, istri Majid tidak pulang ke kampung halamannya melainkan pergi bersama lelaki lain. Pertemuan tak terduga itu terjadi saat Majid bersama Savitri dan istri Majid bersama seorang lelaki yang tampak seperti hartawan jika dinilai dari penampilannya.

“Jadi selama aku pergi, kau berpaling pada perempuan ini,” kata istri Majid, menoleh sekilas kepada Savitri.

“Akulah yang seharusnya menanyakan bagaimana bisa kau bersama dia? Jangan-jangan kau telah menyeleweng sejak aku sering kau sebut pemalas,” tanya Majid.

“Sungguh ironis sekali. Bertengkar di tempat umum,” kata lelaki yang bersama istri Majid.

“Tentu kau tak memahami persoalannya. Dia sudah menjadi istriku dan kau coba merampasnya dariku,” ujar Majid.

“Istrimu tidak membutuhkan seorang suami tanpa punya apa-apa sepertimu,” kata lelaki yang bersama istri Majid tersebut.

Setiap orang yang berlalu-lalang di sekitar situ akan berhenti sebentar untuk menyaksikan keributan itu. Savitri pergi, ia tak suka terlibat dengan hal seperti itu, kecurigaan istri Majid atas dirinya bukan hal yang patut diambil hati. Majid menoleh ke sana-sini dan ia tak melihat Savitri.

“Kini kau kehilangan keduanya, istrimu sendiri dan perempuan tak jelas itu,” ujar istri Majid dalam kemarahannya.

“Kau tak mengenal perempuan itu, dia menyelamatkanku setelah berhari-hari kau pergi tanpa meninggalkan sesuatu yang bisa kumakan, jangankan uang,” kata Majid, meski tanpa sadar perkataannya menjadi bumerang untuk dirinya.

“Sudah. Tak ada gunanya kita berdebat. Kita tinggalkan saja lelaki yang sekarang tak berguna ini, lelaki seperti dia tak pantas hidup.” Kata lelaki yang bersama istri Majid.

Setelah kejadian tersebut Majid tinggal seorang diri dan istrinya telah pergi bersama seorang hartawan, mereka akan hidup bahagia jika ikatan itu didasari cinta. Lalu, Majid kembali ke rumah bordil mencari Savitri, menyusuri ruangan bercahaya merah tempat pertama kali Savitri muncul. Namun, Majid tak menemukan Savitri di sana, bahkan kepada orang banyak ia bertanya tentang keberadaan Savitri. Majid selama sisa hidupnya mencari Savitri.






Bagikan:

Penulis →

David Utomo

Tinggal di Sumatra Barat. Selain menulis cerita pendek, kadang ia juga menulis cerita anak dan puisi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *