Puisi Chairil Bekerja Serupa Kaca, Cermin dan Prisma

HAKIKAT kejalangan Chairil Anwar adalah segaris cahaya yang bisa menembus apa saja. Jejak dan daya jelajah karyanya melebihi seribu tahun cahaya. Maka, perlu kiranya membongkar-ulas garis singgung puisi Chairil Anwar dengan cara kaca, cermin, dan prisma menangkap cahaya.

Cermin, kaca, dan prisma bukan sekadar cara puisi Chairil bekerja, tapi juga cara Chairil Anwar menghayati hidupnya sendiri. Chairil Anwar hidup seperti cermin. Ia menjadi cermin bagi setiap hasrat yang menghasrati pergolakan. Hidupnya bergolak ketika bangsanya bergolak. Penanya tak berdiam ketika wajah bangsanya sedang lebam. Terkadang ia hidup bak kaca yang menembuskan berbagai peristiwa. Ia membiarkan semua terjadi sementara ia sendiri meringkuk di kamar temannya sembari memilih baju yang hendak dipinjamnya esok pagi. Chairil pun kerap hidup layaknya prisma yang membiaskan segala peristiwa ke berbagai ruang.

Menariknya, yang dibiaskan oleh prisma-hidup Chairil Anwar bukan peristiwa semata, melainkan juga  dirinya sendiri. Chairil Anwar lugas beralih bentuk menjadi cahaya, membias ke ruang—ruang baru. Ia menjelma cahaya dengan frekuensi baru, tapi dengan panjang gelombang tetap. Ia tetap membawa partikel ‘chairil-anwar’ ketika melebur dalam beragam ruang seni—ruang yang ia yakini sebagai satu-satunya titik kemana hidupnya tertuju.

Dalam kartu pos bertanggal 8 Maret 1944, Chairil Anwar menulis surat kepada Jassin:

Aku memasuki kesenian dengan sepenuh hati. Bathin dan seluruh hasrat minatku sedari umur 15 tahun tertuju ke titik satu saja, kesenian.


Puisi Chairil Bekerja Serupa Kaca

Kaca membatasi dua ruangan, tapi tak menghalangi percakapan. Kaca menembuskan cahaya tanpa banyak bertanya. Kaca membiarkan cahaya terus bergerak meniti garisnya. Kaca tak bisa memilih cahaya seperti apa yang menembus permukaannya. Meski begitu, kaca bisa memilih menjadi kaca laminasi yang berhamburan jika pecah, atau kaca es yang buram tapi lebih menjaga privasi, atau kaca patri yang menyatukan potongan warna-warni menjadi mosaik indah.

Beberapa puisi Chairil yang bekerja serupa kaca. Di satu sisi Chairil menatap, merenung, dan bertanya. Di sisi seberang ada pelbagai peristiwa  dan beragam fenomena menjelma keraguan, keyakinan, kemasygulan, dan rupa-upa harapan. Puisi membatasi kedua sisi, tapi percakapan Chairil masih terus terjadi. Meski membiarkan segala cahaya peristiwa dan fenomena menembus puisi kacanya, Chairil tetap berdialektika.

Puisi kaca Chairil menempatkan ‘aku’ di sini dan ‘kau’ di seberang.  ‘Aku’ terus bergerak. Pun dengan ‘kau’. Keduanya bergerak dan sesekali bercakap-cakap lalu kembali ke geraknya masing-masing.

Jalinan ‘aku’ dan ‘kau’ yang terpisah kaca dapat kita amati dari puisi Sia-sia:

Sia-sia

Penghabisan kali itu kau datang
Membawa karangan kembang
mawar merah dan melati putih
darah dan suci
Kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan: Untukmu

Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya: apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti

Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi

(Chairil Anwar, 1943)

‘Kau’ datang dengan membawa karangan kembang mawar merah dan melati putih. Meski ‘kau’ sudah tegas memastikan bahwa kembang itu adalah untuk ‘aku’, tetap saja ‘kita’ termangu. Pergerakan ‘kau’ dan ‘aku’ menjadi ‘kita’ adalah pergerakan dua garis cahaya menembus satu lapis kaca. Bisa bolak-balik dengan mudah asalkan ada kesepakatan antara ‘kau’ dan ‘aku’ untuk saling menghampiri. Sayangnya, hanya sehari ‘kita’ hampir-menghampiri. Setelah itu ‘kita’ kembali menjadi ‘kau’ dan ‘aku’ lantaran hati ‘aku’ enggan memberi.

Chairil Anwar mendapati gerakan ‘kau’ dan ‘aku’ menembus kaca demi menjadi ‘kita’ ternyata sia-sia. ‘Kau’ pada larik terakhir ‘Mampus kau dikoyak-koyak sepi’ merujuk pada ‘kau’ sekaligus ‘aku’ pada larik-larik sebelumnya. Koyak sepi layak dihadiahkan kepada ‘kau’ dan ‘aku’  hingga mampus karena keduanya menyia-nyiakan sehari kebersamaan.

Sementara, puisi “Rumahku” menghadirkan ‘kaca’ secara eksplisit mapun implisit, tersurat sekaligus tersirat, benderang maupun samar. Kedua rupa ‘kaca’ tersebut bekerja bergantian, kadang bertukaran bak cahaya menjelma partikel sekaligus gelombang.  

Rumahku

Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak

Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana

Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak


(Chairil Anwar, 27 April 1943)

Eksplisitas dan implisitas ‘kaca’ berlipat ganda setelah dilekati ‘jernih’ di belakangnya. Maka, ‘kaca jernih’ menyatu sebagai diksi sekaligus puisi. Kaca-diksi dipilih untuk melukiskan betapa jernih rumah Chairil Anwar. Rumah ia bandingkan langsung dengan sajak. Ada unggun yang memberinya kehangatan. Di situlah ia menulis sajak.  Ada kalanya ia lari, keluar dari halaman rumah. Membiarkan diri tersesat adalah cara Chairil menemukan alasan membangun kemah. Di kemah sehangat rumah itulah Chairil dan dan sajaknya berbini-beranak.

Alur puisi ini ditandai perpindahan rumah-kemah-rumah dari bait pertama, ketiga, dan keempat. Di titik inilah puisi Chairil bekerja serupa kaca. Chairil berpindah dari rumah menuju kemah, lalu kembali ke rumah. Perpindahan itu terjadi semudah cahaya menembus kaca.

Masih bekerja serupa kaca, puisi Chairil menempatkan gagasan di atas kata-kata. Gagasan dan kata-kata terpisah kaca. Berbeda ruang, tapi masih rekat saling menyapa. Pemikiran melampaui bahasa. Ada selapis kaca di antara pemikiran dan bahasa, tapi ada cahaya yang menembus kaca melewati keduanya. Fragmen “Nocturno” bisa kita cuplik bersama:

Nocturno
(fragment)

…..
Aku menyeru-tapi tidak satu suara
membalas, hanya mati di beku udara.
Dalam diriku terbujur keinginan,
juga tidak bernyawa
Mimpi yang penghabisan minta tenaga,
Patah kapak, sia-sia berdaya,
Dalam cekikan hatiku

Terdampar,… Menginyam abu dan debu
Dari tinggalannya suatu lagu
Ingatan pada Ajal yang menghantu.
Dan demam yang nanti membikin kaku….
…..
Pena dan penyair keduanya mati,
Berpalingan!

(Chairil Anwar, 1946)

Nocturno menembuskan cahaya ke dalam kemuraman. Langit kekaryaan Chairil Anwar sebagai penyair diliputi atmosfir kelam karena pena berdiam di seberang kaca. Keterpisahan penyair dan pena tergambar ibarat kematian. Itu sebabnya, di sekujur tubuh puisi bertebaran diksi kematian seperti ‘mati’, ‘beku’, ‘tidak bernyawa’, ‘patah’, ‘sia-sia’, ‘terdampar’, ‘ajal’, ‘menghantu’, ‘kaku’, dan ‘mati’.

Hampir semua diksi Nocturno tak merias diri dengan bahasa berbunga-bunga. Gagasan tentang keterpisahan pena dan penyair dilukiskan nyaris telanjang. Hal ini bisa kita dapati dari pengandaian penyair yang menyeru tapi tak satu pun suara membalas. Seperti penebang pohon mengalami patah kapak. Bagai hati tercekik sia-sia.

Pergantian ‘demam’ menjadi ‘kaku’ lalu berakhir ‘mati’ menggambarkan detil hidup Chairil Anwar yang menembus lurus puisi kaca. Semua terjadi perlahan-lahan menuju kesudahan sebagaimana takdir segala yang hidup menuju kematian. Cahaya ajal yang datang perlahan itu sungguh menghantuinya. Namun, tak ada yang lebih ‘membikin kaku’ daripada seorang penyair dan pena yang saling berpaling.


Puisi Chairil Bekerja Serupa Cermin

Cermin adalah kaca yang berlapis perak. Meski tipis, lapisan perak ini sanggup mengubah cara kerja kaca dari meneruskan menjadi memantulkan. Cahaya tak lagi menembus ke dalam, melainkan dipantulkan.

Cermin yang memantulkan ibarat puisi Chairil yang mengambil jarak tegas antara apa yang melintas di hadapannya dengan apa yang termaktub dalam larik puisinya. Chairil Anwar tak menceburkan diri dalam peristiwa. Peristiwa itu sebagian datang sebagai cahaya, tapi Chairil Anwar memantulkannya kembali. Ia membiarkan diri bergulat dengan kesendirian dan berjibaku dengan pelarian. Chairil pun merasakan betapa berat jalan sunyi seorang penyair ketika diperhadapkan dengan peristiwa demi peristiwa.

Puisi “Sendiri” dan “Pelarian” memantulkan peristiwa umum menjadi peristiwa personal. Sementara Chairil Anwar hanya memiliki dua pilihan untuk mengambil jarak: sendiri atau lari!

Sendiri

Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya

Ia membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya
Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama

Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!

(Chairil Anwar, Februari 1943)

Ketika hidupnya makin sepi, Chairil Anwar tercekik sunyi. Ia dilanda benci-diri. ‘Ketakutan-menanti’ menjadi titik pantul dimana ia ragu-ragu apakah sosok perempuan yang disebutnya akan hadir segera. Betapa ia terkejut ketika mendapati perempuan itu hadir dalam sosok ibu.

Puisi ini memantulkan perempuan menjadi ibu. Ibu jelas lebih mulia dari perempuan. Chairil Anwar mempertegas pantulan itu dengan dengan diksi ‘memanggil’ yang mengartikan bentuk proaktif dan duplikasi tanda seru setelah ‘ibu’.

Pelarian

I
Tak tertahan lagi
Remang miang sengketa di sini

Dalam lari
Dihembaskannya pintu keras tak berhingga.

Hancur-luluh sepi seketika
Dan paduan dua jiwa.

II
Dari kelam ke malam
Tertawa-meringis malam menerimanya ini batu baru tercampung dalam gelita
“Mau apa? Rayu dan pelupa,
Aku ada! Pilih saja!
Bujuk dibeli?
Atau sungai sunyi?
Mari! Mari!
Turut saja!

Tak kuasa—terengkam
Ia dicengkam malam

(Chairil Anwar, Februari 1943)

Duplikasi tanda seru untuk menegaskan pemantulan gagasan juga ada dalam puisi “Pelarian”. Kali ini disematkan pada kata ‘mari’. Chairil Anwar memantulkan ‘remang’ dan ‘sepi’ pada bagian pertama menjadi ‘kelam’ dan ‘sunyi’ pada bagian kedua. Ia tak mau tergoda rayuan karena ia tahu bahwa semua akan dilupakan. Maka, alih-alih menolak sepi, Chairil memilih menghanyutkan diri dalam sungai sunyi. Ia tegas mengajak diri dengan duplikasi ‘mari!’.


Puisi Chairil Bekerja Serupa Prisma

Cahaya mengalami pembiasan prisma sebanyak dua kali. Fenomena optika ini tampak rumit. Bahkan membingungkan jika kita amati pada pensil yang tampak bengkok dalam segelas air. Atau dasar kolam yang tampak dangkal. Namun, di balik semua itu, pembiasan cahaya sangat mencengangkan ketika hadir dalam lengkung pelangi, kilau intan, ataupun kerlip bintang.

Puisi-puisi Chairil Anwar banyak pula yang bekerja serupa prisma. Membiaskan cahaya peristiwa menjadi peristiwa baru, lalu membias lagi dengan dua kemungkinan. Kembali serupa peristiwa semula atau menjadi peristiwa baru berikutnya. Puisi prismatik tersebut hadir dengan beragam sudut pembiasan. Ada yang membias dengan sudut kecil, ada yang membias dengan sudut besar. Sudut bias kecil memainkan geseran logika yang sederhana. Sudut bias besar memainkan lompatan logika lebih ganjil.   

Puisi Aku membiaskan peluru yang adalah benda mati mematikan menjadi benda mati menghidupkan. Ada relasi intim intra-personal antara aku dengan kau yang adalah pembiasan dari aku-yang-lain.  ‘Aku’ mau hidup, sementara ‘kau’ masih berjibaku dengan sedu sedan. Ia yakin benar bahwa identitasnya sebagai binatang jalang memberi kekuatan untuk terus meradang dan menerjang.

Pun dengan ‘luka’ dan ‘bisa’ yang adalah mematikan justru memberi kekuatan. Bukan sekadar untuk hidup, melainkan ‘berlari’ dan ‘Berlari’. Satu kata ‘Berlari’ dituliskannya di bawah larik ‘Luka dan bisa kubawa berlari’. ‘Luka’ dan ‘bisa’ hilang, bisa ditaklukkan. Yang tinggal tetap dalam diri Chairil Anwar adalah ‘Berlari’. ‘Luka’ dan ‘bisa’ itu bisa saja datang lagi dalam bentuk lebih ‘pedih’ dan ‘peri(h)’ di kemudian hari. Namun, Chairil Anwar tak peduli. Ia justru makin berani memproklmasikan diri ‘Aku mau hidup seribu tahun lagi’.

Aku

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

(Chairil Anwar, Maret 1943)

‘Mau’ di larik penghujung menyiratkan kekuatan lebih daripada ‘ingin’. ‘Ingin’ mewakili ketertarikan terhadap sesuatu, tapi tidak disertai tindakan nyata. Hanya sekadar angan. ‘Mau’ mensyaratkan adanya dorongan besar dari untuk mencapai harapan. Ada mata batin yang selalu mengarah pada impian. Segala hasrat ditumpahkan dengan tindakan nyata.  Lagi-lagi, semua kekuatan itu berasal dari dalam diri Chairil Anwar sendiri.

Sudut bisa puisi Aku hampir sama dengan sudut bias puisi Merdeka. Keduanya membelokkan yang mati menjadi hidup. Yang seharusnya mematikan justru menghidupkan.

Merdeka

ku mau bebas dari segala
Merdeka
Juga dari Ida

Pernah
Aku percaya pada sumpah dan cinta
Menjadi sumsum dan darah
Seharian kukunyah-kumamah

Sedang meradang
Segala kurenggut
Ikut bayang

Tapi kini
Hidupku terlalu tenang
Selama tidak antara badai
Kalah menang

Ah! Jiwa yang menggapai-gapai
Mengapa kalau beranjak dari sini
Kucoba dalam mati.

(Chairil Anwar, 14 Juli 1943)

Aku dan Merdeka ibarat satu prisma yang membiaskan dua garis cahaya berkelanjutan, bersambungan, dan meneruskan. Chairil Anwar mengakhiri Aku dengan ‘Aku mau hidup seribu tahun lagi’ kemudian mengawali Merdeka dengan lantang: Aku mau bebas dari segala.

Chairil Anwar memusatkan segala cerita pada ‘aku’. Satu hal yang dianggap memamerkan kecongkakan ini sesungguhnya jauh dari ego sentris. Ia hendak menceritakan bagaimana mestinya seorang penyair hidup dan berkarya. Ia dengan baik memerdekakan diri dari sosok Ida, esais yang membuatnya terpesona. Chairil terpukau dengan kecantikan Ida, tapi tidak terhadap esainya.

Puisi Merdeka membiaskan cahaya sebagai garis waktu yang bisa dibelokkan. ‘Pernah’ yang merujuk pada kala lampau dibiaskan ke dalam ‘Tapi kini’ di masa sekarang. Pembiasan lain juga terjadi pada ‘sumsum’ dan ‘darah’ yang bekerja dalam siklus berlingkaran. Sumsum memproduksi darah. Darah menyediakan oksigen. Oksigen kembali menghidupi sumsum.

Pembiasan dalam siklus berlingkaran itu tak lain dan tak bukan adalah kisah Chairil Anwar yang jatuh cinta dengan Ida. Perempuan aktivis sekaligus intelektual misterius tersebut memaksa Chairil Anwar meradang. Bayang-bayang Ida nyaris merenggut kehidupannya. Namun, Chairil berhasil menenangkan kecamuk badai perasaan itu. Ia memilih kembali pada hakikatnya sebagai penyair—dan manusia. Hidup ini bukan tentang kalah atau menang. Di titik itulah Chairil Anwar menghayati siklus hidup yang sejatinya hanya putaran kelindan antara larik terakhir ‘kucoba dalam mati’ kembali menuju larik pertama ‘aku mau bebas dari segala’.

Pembiasan siklik semacam Merdeka terbaca kembali pada puisi Isa. Kali ini diperkuat dengan repetisi larik kedua dan ketiga bait pertama, juga bait terakhir dari bait pertama. Chairil Anwar membiaskan dirinya sebagai penyair yang menembus batas-batas identitas. Puisi Isa membiaskan cahaya gagasan Chairil Anwar menjadi larik-larik cahaya yang menyeruak dari tatapan mata. Bait pertama adalah penginderaan dekat seorang penyair kepada tubuh yang mengucurkan darah. Ada pernyataan teologis membias dalam huruf kapital ‘T’ pada ‘Tubuh’. Pembiasan ‘tubuh’ fisikal mengekal dalam ‘Tubuh’. 

Diksi ‘rubuh’ dan ‘patah’ pun membiaskan ‘Tubuh’ yang sesungguhnya tegak di atas salib. Peristiwa di Bukit Golgota itu menyusupkan pengalaman batin pada Chairil. 

Isa
kepada nasrani sejati

Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah

rubuh
patah

mendampar tanya: aku salah?

kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah

terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segera

mengatup luka

aku bersuka

Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah

(Chairil Anwar, 12 November 1943)

Sehari setelah Isa, Chairil menulis puisi Doa. Keduanya mengumbar jumlah-jumlah larik yang acak tapi secorak. Di sekujur tubuh kedua puisi tersebut, bertebaran bait satu larik, bait dua larik, dan bait tiga larik. Chairil Anwar membiaskan pergulatan batinnya dalam larik-larik Tuhan yang privat, memikat, sekaligus dekat. Kecuali bait pertama dan terakhir, ‘Tuhanku’ diberi ruang intim dalam bait satu larik satu kata. Jeda sebelum dan sesudah ‘Tuhanku’ menawarkan ruang prismatik bagi Chairil—dan pembaca—untuk membiaskan segala kerdip lilin hidupnya menuju ca(ha)ya Tuhan yang suci. Ada jeda untuk meletakkan segala susah agar selalu teringat lalu luruh kepada Sang Maha Seluruh.

Doa
Kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh

CayaMu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

Aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
Di pintu Mu aku bisa mengetuk
Aku tidak bisa berpaling

(Chairil Anwar, 13 November 1943)

Garis cahaya ‘Tuhanku’ menumbuk prisma tepat di titik kritisnya. Jadilah ‘Tuhanku’ mengalami pembiasan dengan sudut bias tegak lurus terhadap garis normal. Pembiasan istimewa ini sesungguhnya bukan lagi pembiasan, melainkan pemantulan karena garis cahaya memantul kembali menjauhi prisma.

Doa Chairil Anwar kali ini memantulkan suasana batin di ujung tahun paling produktifnya. Ia memantulkan cahaya ‘Tuhanku’ ke berbagai pergolakan-pergolakan batin. Seolah hendak meneriakkan garis takdirnya, Chairil Anwar memantulkan ‘Tuhanku’ menjadi ‘termangu’.  Kata kerja ‘termangu’ tak menunjukkan gerak aktif, seakan-akan terdiam, tapi sesungguhnya sarat perasaan. Kata ini menyiratkan perasaan bergejolak. Kendati gejolak perasaan itu belum terselesaikan, Chairil Anwar bersyukur masih bisa menyebut nama Tuhan. 

Gejolak belum terselesaikan itu memantulkan ‘Tuhanku’ ke dalam suasana batin ‘hilang bentuk remuk’. Benda yang remuk akan kehilangan bentuk. Yang hilang sesungguhnya bukan bentuknya semata, melainkan juga akar identitas dan gambar dirinya. Chairil Anwar merasakan betapa remuk batinnya ketika tak punya sebentuk relasi dengan Tuhan, tercerabut dari akar identitasnya sebagai penyair, dan tak lagi mengenali gambar dirinya sebagai manusia. Kemanusiaan Chairil dan kepenyairan Chairil adalah dua garis cahaya saling berhimpit. Saling menegaskan, bukan menegasikan. Ketika kemanusiaannya remuk, kepenyairannya pun kehilangan bentuk. Pun sebaliknya.   

Identitas Chairil sebagai penyair dan gambar dirinya sebagai manusia saling membersamai sepanjang perjalanan. Maka, ‘Tuhanku’ berikutnya memantulkan perjalanan Chairil sebagai musafir yang ‘mengembara di negeri asing’. Pada aras lain, ia menggambarkan dirinya bak musafir di padang pasir sastra. Badai hujatan dan terik kritikan mustahil dihindari. Satu-satunya cara untuk menaklukkannya adalah menjadikannya kawan perjalanan. Meski terasing, Chairil tak pernah mengingkari identitasnya sebagai penyair yang membaktikan larik-larik puisi kepada negeri.   

Sebagai musafir, Chairil Anwar tahu benar dari mana dan ke mana ia melangkah. Itulah sumber kekuatan terbesarnya dalam berkarya. Karya-karyanya yang mengekal membuktikan bahwa penyair mesti menyemati ruh pada kata-katanya dengan kekuatan kekal. Ini lebih kekal dari usia kepenyairannya. Ini adalah tentang legasi karyanya sebagai manusia. Ia tahu kepada siapa harus kembali ketika tugasnya sebagai manusia dan penyair sudah selesai. Ia juga tahu pintu siapa yang bisa diketuk ketika semua persoalan mengarah ke jalan buntu. Tak mengherankan jika Doa Chairil Anwar memantulkan ‘Tuhanku’ ke dalam larik keyakinan ‘di pintu Mu aku bisa mengetuk’.

Puisi prismatik Chairil Anwar lainnya menangkap kilatan cahaya dalam perjalanan raga menjadi perjalanan jiwa. Membaca Dalam Kereta seperti membaca pembiasan jiwa Chairil Anwar dari raga yang bergerak bersama gerbong kereta. Hujan menjadikan kabut menebal di jendela. Pandangan ke luar menjadi terbatas. Matanya tak bebas mengamati ada apa di luar sana. Maka, Chairil menatap ke dalam, ke kedalaman jiwa.

Dalam Kereta

Dalam kereta,
Hujan menebal jendela

Semarang, Solo …, makin dekat saja
Menangkap senja.
Menguak purnama.
Caya menyayat mulut dan mata,

Sayatan terus ke dada

(Chairil Anwar, 15 Maret 1944)

Senja menandai petang, purnama menandai malam. Petang menuju malam menggambarkan terang yang beringsut menuju gelap. Namun, Chairil Anwar tak memilih ‘petang’ dan ‘malam’. Ia sebagai masinis akhirnya memungut ‘senja’ dan ‘purnama’ untuk membelok dan membalik ‘gelap beringsut terang’ menjadi ‘gelap beringsut terang’.

Pembiasan senja menjadi purnama segaris dengan pertanyaan paradoks tentang siapakah yang sesungguhnya lokomotif: jiwa ataukah raga. Chairil Anwar terombang-ambing di antara gerbong dan lokomotif kereta kehidupannya sendiri. Beruntungnya, atau celakanya, Chairil berani menyusup ke kabin masinis. Ia merebut kemudi lalu menambah dan mengurangi laju kereta sesuka kehendaknya. Sesuka ia mengambil keputusan menjadi kurir bagi tokoh pergerakan politik kawan sang paman, Sutan Syahrir. Puisi ini ditulis setahun setelah ia melewati masa paling produktif 1943. Tepat ketika situasi sosial politik sedang berada di persimpangan.

Daya bias puisi prismatik ini sungguh menakjubkan. Larik-larik perjalanan raga diracik untuk membiaskan perjalanan jiwa. Kereta bisa mengajak kita menyusuri kota-kota, tapi hanya kata-kata yang memahamkan kita apa yang berdegup di dada. Perjalanan Chairil Anwar Dalam Kereta adalah perjalanan jiwa memahami kata-kata.

Begitulah puisi Chairil Anwar bekerja serupa kaca, cermin, dan prisma. Namun, seluruh paparan di atas hanyalah setitik cahaya dalam ruang semesta. Zaman kertas Gutenberg telah digantikan era media sosial Zuckerberg, tapi Chairil Anwar dan karya-karyanya akan terus ditulis, dipuisikan, dan dibaca oleh generasi berikutnya.

***








Bagikan:

Penulis →

Wahyu Kris

Kepala SMPK Pamerdi Malang yang sedang dan senang belajar menulis. Menulis buku Mendidik Generasi Z dan A (2018) dan Secangkir Kopi Inspirasi (2019). Penghargaan Kepala Sekolah Inovatif Literasi Kemendikbud Ristek (2020). Pemenang 2 Sayembara Kritik Sastra Nasional Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (2020). Pemenang 3 Sayembara Resensi Monolog Titimangsa Foundation (2021).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *