DIA kembali dan mengetuk pintu seperti biasa, dua ketukan rapat dan satu longgar berjarak. Aku segera menyuruhnya duduk, tapi ia menolak dan lebih memilih berdiri di ambang pintu dengan raut yang demikian sukar dijelaskan.
“Semoga kau membawa sesuatu yang ingin kudengar, Lan,” kataku, sambil membenahi bantal, lantas bersandar di punggung sofa.
Ia berkeringat, bahkan sebelum ia mengutarakan alasan kedatangannya. Sesuatu yang tak kusukai sepertinya akan menjadi teman baruku di pagi ini.
“Saya baru menemukan bonekanya, Tuan.” Muka Karlan tampak pucat. Tak perlu bersekolah ke Amerika untuk memahami maksud dari raut wajahnya yang terlihat tak bersahabat, aku tahu ia tengah ketakutan, tapi jelas itu bukan sesuatu yang ingin kudapat darinya.
“Apa sesulit itu mencarinya? Memang siapa lagi yang punya cincin biru di tempat terpencil ini selain putriku?”
Tidak tidur selama hampir dua hari membuatku semakin lemah dan tak nyaman. Aku ingin menampar Karlan, tapi untuk berdiri saja rasanya begitu malas.
“Maaf, Tuan, semua orang yang kutanya mengaku tak pernah melihat Nona Sasya. Saya menemukan bonekanya tergeletak tak jauh dari sekolah.”
Aku menghela napas dengan hela terpanjang sepanjang yang kuingat. Rasanya begitu melelahkan, bahkan sofa yang biasanya bisa membuatku tidur dengan mudah kini terasa seperti tumpukan batu yang mengekang kegusaranku. Detak jantungku selalu bekerja di atas kecepatan normal bila jam tidurku terganggu.
“Beri aku alasan kenapa aku harus menerima kedatanganmu yang tanpa hasil ini, Karlan.” Aku menatap lurus ke matanya. Ia berusaha keras menghindar.
“Ada yang mencari Anda, Tuan.” Ia menjawab sembari terus memandangi vas bunga berhias manik-manik di depanku, di atas meja.
Aku menggumam sambil mengangguk-angguk. Sejujurnya, aku benar-benar mengantuk, tapi Karlan bisa meyakinkanku untuk menemui orang yang ia maksud.
“Bawa dia kemari … dan buatkan kopi.”
Karlan bergegas keluar, seusai itu kembali masuk bersama seorang pria bersetelan hitam dan berambut klimis, lantas berlalu membuatkan kami kopi. Ketiadaan Bi Minah membuat laki-laki kepala empat itu seperti punya pekerjaan tambahan, tapi tentu tak semua pekerjaan pembantu ia kerjakan.
Pria bersetelan hitam yang Karlan bawa kusuruh duduk selepas ia mengucapkan salam dan memperkenalkan diri. Namanya Satria. Aku memintanya duduk di teras. Sebuah mobil hitam dengan merek yang tak bisa kukenali terparkir rapi di samping pohon mangga. Pohon mangga yang entah sudah berapa kali musim tak berbuah itu berdiri kokoh di samping puluhan bonsai yang sudah beberapa hari tak disiram.
“Saya ingin menunjukan sesuatu kepada Anda.” Ia merogoh saku celananya yang selegam bulu gagak.
Aku memandangnya lembut sembari mengangguk-angguk.
“Ini foto abang saya, Arjuna,” katanya, sambil mengulurkan selembar foto. Foto yang tampak tua.
“Ini.” Ia menunjuk seorang anak.
“Ya, aku bisa mengingatnya. Arjuna ….”
Potret anak itu membawaku terbang jauh ke belakang. Kenangan-kenangan buruk yang sejujurnya baru kulupakan beberapa tahun terakhir ini kembali lagi, memaksaku untuk menengoknya dalam sudut yang sama sekali berbeda.
Waktu itu sekitar dua puluh tahunan lebih saat aku terakhir kali bermain bersama Arjuna. Kami bermain seperti biasa beserta kawan-kawan lain, berenang di sungai.
Akan tetapi, saat itu hujan turun tiba-tiba, aku dan semua anak lain memilih segera pulang. Arus sungai bisa berubah deras berkali-kali lipat dari biasanya ketika diguyur hujan lebat.
Beberapa warga yang melintas di samping sungai pun berteriak dengan ucapan yang hampir sama persis semuanya, menyuruh kami segera pulang. Hujan bertambah lebat, pandanganku seperti terpangkas separuh, padahal saat berenang udara begitu panas, jauh dari panasnya hari-hari biasa.
Kami sekali pun tak pernah menduga akan turunnya hujan. Meskipun demikian, kami segera berlari pulang ke rumah masing-masing. Namun, mimpi buruk itu pun kemudian datang bersama sumpah serapah yang bahkan tak pernah kuketahui bahwa sumpah serapah itu ada.
Semua anak dikumpulkan di depan rumahku seusai beberapa jam pulang ke rumah masing-masing, kecuali Arjuna. Aku dituding, dimaki, bahkan diancam akan dibunuh oleh Bu Dyah, ibu Arjuna. Bu Dyah berusaha memukuliku, padahal ia sudah ditahan suaminya, Pak Seto, tapi gerakannya masih membuatku gemetaran saat itu.
“Apa bener kamu yang ngajakin Juna berenang di kali?” tanya Pak RT.
Aku benci nada suaranya sebab aku merasa dipojokan. Ayah dan ibu bergeming. Aku menangis ketika itu.
“I-ya,” jawabku, terbata.
“Kamu pembunuh!” Ibu Dyah menghardikku seraya menuding tepat ke wajahku. Gerimis yang masih turun tetap tak mampu meredam teriakannya. Gendang telingaku serasa terkoyak. Semua umpatan yang ia lontarkan langsung turun menggetarkan, memacu jantungku.
Aku semakin takut. Tubuhku gemetaran.
Pak Seto berusaha menenangkan Bu Dyah, tapi istrinya itu terus mengancamku dengan banyak kalimat paling mengerikan yang pernah kudengar.
“Juna hanyut di kali.” Salah satu temanku bersuara.
Aku terjerembap. Tulang-tulangku seperti dilolosi waktu itu. Aku ingin lari, tapi ibu keburu menahanku. “Jangan lari dari masalah, Saka.”
“Sabar, Bu Dyah, ini cobaan. Anak itu titipan Tuhan.”
“Dia memang titipan Tuhan, tapi tetap anakku! Nyawa tetaplah nyawa, gantinya hanya nyawa!” Bu Dyah semakin tak terkendali, dekapan Pak Seto berhasil dia lepas. Ibu buru-buru membopongku masuk. Ia segera menutup dan mengunci pintu, meninggalkan ketukan pintu yang terus bertambah kencang setiap ketukannya.
Ketukan-ketukan itu dengan cepat berubah menjadi gedoran. Rangkulan ibu semakin kencang. Tubuhnya juga ikut gemetaran. Ibu ketakutan, aku juga. Kami menangis, berusaha menyaingi suara gerimis.
Sebelum itu, sewaktu pulang, aku dan Juna mengambil jalan yang berbeda sebab rumah kami memang terpisah jauh. Aku sempat memaksanya untuk lewat jalan memutar, melewati rumahku, tapi ia menolak karena ingin segera pulang.
Aku berusaha menahannya, tapi ia tetap nekat melewati jalan setapak di samping sungai, padahal jalan itu masih tanah dan begitu licin saat ditimpa hujan. Aku tak tahu apa-apa setelahnya.
“Saya sudah lelah, Mas,” ucap Satria, menarikku kembali dari bayangan-bayangan buruk itu.
“Lelah? Kenapa?”
Satria bergeming. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Kebisuan pemuda itu baru berakhir selepas kedatangan Karlan yang membawa dua cangkir kopi.
Alih-alih meminum kopi, Satria justru beranjak ke mobilnya Setelah itu, ia kembali seraya membopong seseorang. Seorang perempuan tua, berambut putih.
Satria menyandarkannya di kursi yang tepat bersebelahan dengan dinding, di samping beberapa lavender. Perempuan tua itu seperti tak asing di mataku.
“Dia ibu Juna, juga ibu saya. Dia meninggal dalam perjalanan kami ke tempat ini.” Ucapannya seketika mengerjapkanku, begitu pun Karlan saat kupandangi. Aku bahkan bisa mendengar suara Karlan menelan ludah, jakunnya terlihat naik-turun.
“Dua puluh tahun, Mas, dua puluh tahun saya dijejali kata-kata buruk ibu. Ia selalu memaksa saya untuk mencari sampeyan. Saya seperti selalu dipaksa untuk ikut mendendam atas kematian Mas Juna.”
Aku, ibu, dan ayah memang memutuskan pindah selepas kejadian itu karena terus-terusan diteror Bu Dyah. Dilempari batu saat tak sengaja berpapasan dengan Bu Dyah pun sering kami terima. Bahkan, dia sempat mengancam akan membakar rumah kami.
Satria tampak tak jauh berbeda denganku. Wajahnya juga tampak begitu lelah. Ia tertunduk sambil mengurut dahi.
“Saya tahu Mas ngga bersalah. Bapak saya sudah menceritakan semuanya dan Mas Saka ngga ada hubungannya sama kematian Mas Juna. Bapak juga udah sering nasehatin ibu, tapi ibu ngga pernah mau denger. Sejujurnya, saya sama bapak udah muak sama kelakuan ibu.”
“Dendam memang selalu membebani pelakunya. Mungkin terlihat kecil, tapi jika setiap hari dipikul tetap saja merusak diri kita sendiri.”
“Ibu juga menderita banyak penyakit, Mas. Hipertensi, diabetes, jantung, dan banyak lagi. Saya sama bapak sampe bingung, kenapa ibu masih sempet-sempetnya mendem dendam … yang sejujurmya ga berdasar di mata saya.”
“Bapak sampe capek sendiri ngadepinnya, Mas. Bapak milih pergi karena ga tahan sama temperamen ibu. Dia udah capek kerja, sampe rumah malah diajak ribut ibu melulu. Hampir tiap hari ibu nyuruh bapak buat nyari sampeyan. Bapak jadi kayak orang linglung jadinya, Mas.”
“Sekarang saya gantinya … saya capek. Telinga saya panas tiap hari diomelin sama dimaki-maki.”
“Saya pernah dipukuli pake lanjaran kayu sampe berdarah, Mas, kulit saya robek cuman karena saya menolak nyari sampeyan. Bapak juga pernah dilempar vas bunga sama ibu. Kepalanya berdarah, kegores ujung vas yang kasar. Dan semua penyebabnya, ya, itu tadi. Ibu bahkan pernah kena serangan jantung beberapa tahun lalu.”
“Waktu itu bapak masih sama ibu. Bapak sempet cerita ke saya bahwa ia bersyukur saat itu. Bapak nganggep itu teguran dan berharap ibu bisa berubah, tapi nyatanya tidak, Mas. Saya bener-bener kalut ngadepin ibu.”
Dia menjelaskan. Penjelasan yang sarat akan rasa frustasi.
“Sekarang kau bisa tenang, Satria. Jangan pernah mendendam, itu buruk.”
“Iya, Mas.” Satria mengangguk. Ia bungkam selama beberapa detik dan tertunduk. Ia menangis. Bahunya berguncang.
Tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain menepuk-nepuk punggungnya yang membungkuk.
Seolah-olah mengerti dengan apa yang tengah terjadi, langit tiba-tiba gelap. Angin bertiup labil.
“Kau perlu istirahat,” bisikku, sambil berusaha menatap matanya yang begitu keras ia sembunyikan.
“Kata ibu, sebelum meninggal, ini buat Mas Saka. Mohon diterima.” Ia mengulurkan sesuatu untuk kedua kalinya.
Cincin biru. Aku dan Karlan tersentak bukan main. Mataku membelalak, lalu menyipit untuk memastikannya dengan lebih baik. Aku buru-buru meraihnya. Karlan ikut memelototi cincin yang kupegang.
“Dengan ini kita sudah tidak punya masalah lagi, nggih, Mas.”
“Kau tau ini milik siapa?” Karlan mendahuluiku bertanya.
Satria menggeleng. Ia tampak sama sekali tak tahu-menahu tentang cincin ini.
“Bahkan, jikapun kau tak tahu apa-apa, nyawa tetaplah nyawa, gantinya hanya nyawa.”