Matahari Terbit dari Matamu



Tuhan Melepas Senja

Tuhan melepas senja, lalu mengganti dengan malam
Di langit ada bintang-bintang kecil yang terbuat dari
Tubuh kunang-kunang. Aku melihat langit, juga melihat
Bintang-bintang. Aku terkenang orang-orang yang
Hilang. Hilang dalam kabut politik Indonesia 1998

Ketika itu, malam mencekam di balik jendela. Tetapi
Malam ini bukan saat yang tepat untuk bicara tentang
Kesedihan. Lalu Tuhan menciptakan bulan dari mata
Ikan — barangkali Tuhan ingin memanjakanku, juga
Makhluk-makhluk lainnya. Masa kanak-kanakku
Menembang lagu dolanan membayang di halaman

Di bawah bulan berjajar nisan-nisan. Nama-nama
Tak kukenal. Kelelawar bersliweran. Seekor tupai
Berjalan di dahan rambutan. Langit terang. Bulan
Tenang. Lalu aku menerawang seluruh kenanganku
Di antara bintang-bintang, bulan, manusia dan Tuhan

Cinere, 2022




Jakarta Masih Pagi

Aku membuka pintu dan jendela, Jakarta
Masih pagi. Puisi ini aku tulis dengan tangan
Yang sakit. Dan bau pesing belum pergi dari
Kamar mandi. Bau pesing yang mengganggu
Penciumanku. Lalu aku melihat tukang sapu
Di trotoar, ada bau proletar di punggungnya

Seekor kucing berbulu hitam tidur di depan
Toko obat China, Jakarta masih pagi. Pagi
Yang terbuat dari pintu dan jendela yang
Terbuka. Tanganku masih sakit. Sakit tanpa
Pidato-pidato kebudayaan. Aku mendengar
Suara pergesekan sapu dengan aspal. Sapu
Yang juga bekerja setiap hari. Orang-orang
Keluar-masuk dari dan ke dalam gang-gang
Sempit, banyak tikungan berbau kenangan

Beri aku kekuatan untuk melawan. Melupakan
Kebusukan 100 tahun yang lalu. Sebuah mobil
Melaju kencang, mengibaskan debu ke wajahku
Telah aku tinggalkan ranjang dan kelambu. Ranjang
Tua yang berdebu. Orang-orang yang berjalan saling
Cuek. Ini hari Minggu, tapi tukang sapu tidak libur
Dan gerobak ketoprak lewat, Jakarta masih pagi

Jalanan, 2022




Evolusi Waktu

Waktu berevolusi menjadi rumah-rumah
Bersubsidi. Rumah-rumah tanpa pagar
Dan halaman. Seorang tuan tersenyum
Jam 8 pagi. Senyum yang membuka pintu
Dan jendela. Pintu yang tak pernah memanggil
Siapa-siapa. Jendela yang tak mengatakan
Apa-apa. Meja dan kursi tanpa percakapan

Sebuah cermin merekam benda-benda di depannya
Tanah terguncang. Aku melihat tiang listrik yang
Miring. Aku menyusun lagi biografiku. Langit makin
Rendah. Langit yang penuh tulang-tulang ikan

Waktu berevolusi menjadi mesin-mesin uang
Tarik tunai. Uang yang berkuasa atas harga
Setiap benda. Berkubik-kubik pasir berjatuhan
Dari langit. Rumah-rumah telah menjadi tempat
Berkembangbiak. Orang-orang telah memiliki
Alamat pulang. Pulang untuk sebuah pelukan

Aku melihat kanak-kanak meninggalkan taman
Bermain. Dunia melahirkan permainan baru. Aku
Menggali kubur setiap hari untuk masa lalu. Kau
Mengabarkan, siang ini, angin mengirim suara
Gergaji mesin ke dalam rumahmu. Aku membeli
Celana dan baju baru. Nanti malam aku akan
Pulang untuk sebuah kecupan yang terbuat dari
Kartu kredit, daftar deposito dan klaim asuransi

Cinere, 2022




Narasi Jam 7 Pagi

Aku mendengar suara-suara berjatuhan
Di batu-batu. Suara-suara itu kemudian
Memasuki lorong-lorong di bawah tanah
Ingin membuat pagi dari lagu kebangsaan

Tetapi batu-batu tetap diam, tidak punya
Pikiran. Di Jakarta, langit penuh iklan-iklan
Belanja. Suara-suara terus bergelombang
Di bawah tanah. Suara-suara yang menolak
Diredam. Aku mencari sumber suara. Aku
Mendapati brosur pariwisata, restoran, mall
Dan pusat-pusat perbelanjaan telah menjadi
Surga kaum hedon. Lalu aku melihat generasi
Negeri ini menjelma bunga-bunga plastik yang
Menghiasi trotoar sepanjang siang dan malam

Ada aroma kopi jam 7 pagi. Segelas kopi telah
Mematangkan pagi. Lapisan-lapisan cahaya
Di sudut halaman. Di lorong-lorong bawah tanah
Suara-suara membuat pagi yang lain lagi. Pagi
Yang terbuat dari api, asapnya keluar dari pori-pori
Tanah. Tetapi jalan tol bertambah panjang setiap
Hari. Truk-truk lewat mengangkut kegelisahan

Masih kudengar suara-suara yang berjatuhan
Di batu-batu jam 7 pagi. Batu-batu tetap diam
Yang purba. Batu-batu tanpa mata dan telinga

Jalanan, 2022




Mengembara di Tubuhmu

Tubuhmu adalah padang pengembaraanku. Padang
Pengembaraan yang dibuat waktu setelah bom atom
Menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki. Perih dan
Letih kutanggalkan lewat kecupan-kecupan di lembah
Ketiakmu yang beraroma deodorant. Musim-musim
Membuat tanda di situ, pada setiap perubahan arah
Pada setiap jalan angin. Langit dan bumi adalah
Tema-tema yang memenuhi tubuhmu. Tubuhmu bagaikan
Teluk yang memukau telah kujangkau tanpa risau

Pengembaraanku belum sudah, meski perih makin
Bernanah. Orang-orang berteriak lantang, seperti ada
Bom waktu di mulutnya. Mulut yang berbahan bakar
Kebencian. Mulut yang menebar teror mencabik-cabik
Kedamaianku. Tetapi terus saja kuhasrati harum

Tubuhmu, terciptalah muara-muara kenang yang
Kelak akan menjadi pelabuhan anak-anak hujan
Tubuhmu adalah lapisan-lapisan tisu di luar kamus
Bahasa. Aku melihat kecemasan di telapak tanganmu
–Serupa takdir. Takdir yang telah ditetapkan untuk
Semua makhluk yang hidup. Kau katakan bahwa aku
Pengembara jalang, tetapi aku tetap cinta dan setia
Di tubuhmu. Kelak kau akan tahu makna ketulusan
Dan kepura-puraan. Setiap orang akan berlalu. Tetapi
Aku tidak akan pergi. Aku segera menghapus jejak
Setiap orang yang berlalu. Angin berkesiur ke gelung
Rambutmu. Aku jelajahi pori-porimu. Matahari terbit
Dari matamu setiap pagi. Ada bayangan melintas
Seperti patahan mimpiku yang memfosil di tubuhmu

Depok, 2022





Bagikan:

Penulis →

Iman Sembada

Lahir di Grobogan, Jawa Tengah, pada 4 Mei 1976. Selain menulis puisi, ia juga menulis cerita pendek. Karya-karyanya dipublikasikan di media massa lokal dan nasional. Puisinya terkumpul dalam berbagai antologi puisi bersama, antara lain Resonansi Indonesia (2000), Senandung Wareng di Ujung Benteng (2005), Komunitas Sastra Indonesia: Catatan Perjalanan (2008), Kado Sang Terdakwa (2011), Jejak Tak Berpasar (2015), Tifa Nusantara 2 (2015), Matahari Cinta Samudera Kata (2016), Gelombang Puisi Maritim (2016), Pasie Karam (2016), Jejak Kata (2017), Puisi untuk Perdamaian Dunia (2017), Cimanuk, Ketika Burung-Burung Kini Telah Pergi (2017), Buitenzorg (2017), Senyuman Lembah Ijen (2018), Monolog di Penjara (2018), Jejak Sajak di Batu Runciang (2018), Perjumpaan (2019), Cincin Api (2019), Sesapa Mesra Selinting Cinta (2019), Bisik Langit Pasak Bumi (2020), Negeri Segala Umpama (2021), Angkatan Milenial Seri 2 (2022) dan lain-lain. Antologi puisi tunggalnya Airmata Suku Bangsa (2004), Perempuan Bulan Ranjang (2016), dan Orang Jawa di Suriname (2019). Biografinya juga termaktub dalam buku Apa & Siapa Penyair Indonesia (2017). Kini ia bermukim di Depok, Jawa Barat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *