Judul Buku : Tentang Tirani: Dua Puluh Pelajaran dari Abad kedua Puluh Penulis : Timothi Snyder Alih Bahasa : Zia Anshor Penerbit : Gramedia Pustaka Cetakan : April 2019 Tebal Buku : vi1 + 164 halaman ISBN : 978-602-481-173-2
Abad ke-21 ini, kita dihadapkan kepada persoalan-persoalan demokrasi di Indonesia, masalah demokrasi—merujuk kepada kebebasan berpendapat dan pemenuhan hak-hak masyarakat—menjadi indikator penting suasana kehidupan bangsa dan negara dewasa ini, apakah sedang baik-baik saja maupun sebaliknya.
Kita ingat pernyataan: “Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rayat”. Namun, apakah yang dikatakan Abraham Lincoln itu benar? Mengingat, sengkarut permasalahan demokrasi di Indonesia semakin kesini semakin tidak karuan, dan seolah-olah negeri kita sudah berasaskan tirani.
Menyoal permasalahan di atas, Timothy Snyder dalam bukunya bertajuk Tentang Tirani (On Tyranny): Dua Puluh Pelajaran dari Abad Kedua Puluh. Penulis yang merupakan Profesor Housum Sejarah di Yale University itu,mengajak khalayak pembaca untuk mengingat-ingat masalah yang bersinggungan dengan politik dan kemanusiaan yang terjadi di Eropa dan Amerika pada abad ke-19 dan ke-20. Yang kemudian, bisa menjadi perenung buat meratapi nasib demokrasi di Indonesia yang dibelenggu otoritarianisme.
… hari ini, kita membayangkan pengawasan oleh diri kita sendiri yang bersifat baik dan mengarah ke luar, terhadap pihak lain yang salah jalan dan bermusuhan. Kita memandang diri sendiri seperti kota di atas bukit, banteng demokrasi, mengawasi ancaman yang datang dari luar. Hakikat manusia itu sedemikian rupa, sehingga demokrasi Amerika yang bakal mengeksploitasi kemerdekaan untuk mengakhiri demokrasi.
Abolosionis Amerika, Wendell Phillips memang berkata bahawa: “pengawasan terus menerus adalah harga kemerdekaan”. Dia menambahkan bahwa: “kemerdekaan rakyat harus dipupuk setiap hari, kalau tidak dia akan membusuk.”
Riwayat demokrasi Eropa modern membenarkan kebijaksanaan kata-kata tersebut. Abad ke-20 menyaksikan upaya-upaya serius untuk memperluas hak suara dan mendirikan demokrasi yang kuat. Namun demokrasi-demokrasi yang berdiri sesudah Perang Dunia I dan II, sering kali ambruk ketika suatu partai meraih kekuasaan dengan gabungan pemilu dan kudeta. Partai yang di dukung hasil pemilu yang menguntungkannya atau termotivasi ideologi, atau kedua-duanya, bisa mengubah sistem dari dalam.
Waktu kaum fasis atau Nazi, juga komunis menang dalam pemilu pada 1930-an atau 1940-an, yang terjadi selanjutnya adalah kombinasi pamer kekuatan, penindasan, dan taktik melucuti oposisi selapis demi selapis. Sebagian besar orang tak memperhatikan, sebagian dipenjara, dan lainnya dikalahkan. (hlm. 10-11)
Taktik di atas kiranya dapat menjadi sebuah cermin bagaimana demokrasi—lewat pemilu—yang memenangkan satu partai akan menodai citra demokrasi dengan cara-cara yang bertentangan dengan demokrasi itu sendiri. Maka, oposisi dilemahkan dengan unsur-unsur keamanan, yaitu para militer maupun orang-orang bersenjata. Hal itu dilakukan negara atau pemerintah dengan dalih menjaga stabilitas dan keamanan negara, yang itu umumnya memakai kekerasan.
Kiamat Sudah Datang
Kekerasan dalam proses berdemokrasi sebut saja demo atau unjuk rasa adalah hal yang lumrah dilakukan oleh aparat. Namun, bagi Snyder hal itu menjadi tanda bahwa kiamat sudah datang. “Ketika orang-orang bersenjata yang selalu mengaku melawan sistem mulai mengenakan seragam dan berbaris membawa obor dan gambar seorang pemimpin, kiamat sudah dekat. Ketika para militer pro-pemerintah bercampur dengan polisi dan militer resmi, kiamat sudah datang.”
Sebagian besar pemerintah biasanya berusaha memonopoli kekerasan. Bila hanya pemerintah yang boleh menggunakan kekerasan, dan penggunaan itu dibatasi hukum, maka bentuk-bentuk politik yang kita anggap sudah sewajarnya pun menjadi dimungkinkan. Mustahil dalam melaksanakan pemilihan umum demokratis, menyidangkan kasus di pengadilan, merancang dan menegakkan hukum, atau mengelola segala urusan pemerintah lain ketika pihak-pihak selain negara juga punya akses ke kekerasan.
Karena alasan itulah orang-orang dan partai-partai yang ingin merusak demokrasi dan supremasi hukum menciptakan dan mendanai organisasi-oraganisasi pelaku kekerasan yang melibatkan diri dalam politik. Kelompok-kelompok seperti itu bisa berupa sayap para militer partai politik, pengawal pribadi seorang politikus—atau gerakan yang kelihatannya adalah inisiatif spontan warga, yang biasanya terbukti di organisasi oleh suatu partai atau pemimpinnya. (hlm. 22-23)
Media dan Kekuasaan
Kekerasan yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang konon menciderai demokrasi, dapat ditutupi oleh media yang boleh jadi media tersebut adalah “pesanan” penguasa. Dengan media—utamanya melalui internet, rasa sakit dan huru-hara yang dilempar kepada rakyat yang disebabkan oleh aparat bersenjata dapat di perban dengan rapi. Sehingga apa yang nampak di layar kaca kita, tidak sepenuhnya terjadi di tempat di mana kekerasan itu terjadi. Lalu, apakah memang media yang memberitakan kejadian kekerasaan itu telah di setting oleh pemerintah yang memegang kendali penuh atas negeri ini?
Perntanyaan di atas, seringkali mencuat di publik. Bisa benar atau tidak. Namun, satu hal yang paling penting dalam menilai suatu kejadian yang melibatkan pemerintah dan masyarakat, yaitu memeriksan kebenaran dan kesahihan sebuah berita. Karena pada zaman internet kita semua menjadi penerbit, maka kita memiliki tanggung jawab pribadi atas pemahaman kebenaran masyarakat.
Jika kita serius mencari fakta, maka masing-masing kita membuat revolusi kecil dalam cara kerja internet. Bila Anda mengecek kebenaran informasi untuk diri Anda sendiri, maka Anda tak akan mengirim berita palsu ke orang lain. Bila Anda memilih mengikuti para reporter yang Anda bisa percayai, maka Anda juga bisa menyampaikan apa yang telah mereka temukan kepada orang lain. Bila Anda hanya me-retweet hasil kerja orang yang telah mengikuti protokol jurnalistik, maka Anda lebih kecil kemungkinannya merendahkan kemampuan otak Anda disbanding berinteraksi dengan robot dan troll. (hlm. 55)
Singkirkan Layar, Mulai Membaca Buku
Maka, ihwal zaman internet ini, yang mana kebenaran akan sebuah informasi adalah relatif. Yang berarti, kebenaran tersebut kembali kepada masing-masing individu, Snyder menuntut kita untuk menyingkirkan layar dua dimensi dan kemudian segeralah membaca buku.
Memandang layar barangkali tak bisa dihindari, tapi dunia dua dimensi itu tak banyak bermakna kecuali kalau kita bisa menggunakan perlengkapan mental yang kita kembangkan di tempat lain. Ketika kita mengulang kata-kata dan kalimat-kalimat yang muncul di media harian, kita menerima ketiadaan kerangka yang lebih besar. Anda memiliki kerangka kata itu, kita butuh lebih banyak konsep, dan agar punya lebih banyak konsep kita butuh membaca. Jadi singkirkan layar dari kamar Anda dan penuhi kamar Anda dengan buku. (hlm. 39-40)
Dari buku ini, kita jadi ingat Noam Chomsky dengan gubahannya bertajuk Politik Kuasa Media (Pinus Book Publisher, 2009). Bahwa, terdapat dua fungsi dalam demokrasi. Masing-masing adalah kelas para ahli dan kawasan pandir. Kelas para ahli ialah mereka yang memegang peran eksekutif yang melakukan pekerjaan berpikir, merencanakan dan memahami kepentingan bersama dilaksanakan oleh mereka.
Kemudian, kelas pandir. Menurut Walter Lippman, kelas pandir juga mempunyai fungsi dalam demokrasi, yaitu berfungsi sebagai “pemirsa”, bukan menjadi “pemain”. Namun, tidak hanya itu saja fungsi mereka. Karena berada di alam demokrasi, maka sesekali mereka diijinkan untuk meminjamkan kekuatannya kepada salah satu anggota kelas para ahli. Tetapi, setelah mereka meminjamkan kekuatannya kepada salah satu para ahli, kelompok pandir akan kembali menjadi penonton. Itulah keadaan di mana demokrasi berjalan dengan baik.
Seperti itu. Perihal nestapa demokrasi yang berangkat dari kekuasaan media dan kekerasan aparat berseragam terhadap masyarakat sipil, menjadi sebuah sungai yang tiada ujung. Semoga, di abad ke-21 ini, kita dapat “berdemokrasi” sebagaimana mestinya dan posisinya. Demikian.