BEBERAPA tahun belakang ini, saya sering melemparkan pertanyaan kepada siswa saat pembelajaran materi karya sastra. Pertanyaan yang saya ajukan adalah seputar nama penulis dan karya sastra. Misalnya, saya bertanya tentang siapakah Pramudya Ananta Toer, Putu Wijaya, Budi Darma, Leo Tolstoy, Paulo Coelho. Kemudian, saya bertanya juga tentang apakah sudah pernah membaca beberapa karya sastra semisal karya tetralogi Pramoedya, Robohnya Surau Kami, Sang Alkemis, dan beberapa karya sastra lainnya. Jawaban yang muncul dari para siswa cukup mengernyitkan dahi. Mereka mayoritas belum pernah mendengar, mengenal, dan membaca karya sastra dari para penulis besar. Hal ini cukup miris mengingat mereka sudah berada di bangku sekolah menengah atas. Bahkan, mereka sudah hampir lulus dari bangku sekolah menengah atas.
Peristiwa yang saya ceritakan membuat saya semakin penasaran dengan bacaan-bacaan sastra yang dikonsumi generasi milenial. Saya secara iseng-iseng lalu bertanya sekaligus survei kecil-kecilan terhadap para siswa dan juga beberapa kalangan mahasiswa. Tak lupa, saya juga bertanya pada adik saya yang juga masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Jawaban yang saya temukan, mayoritas para kaum milenial lebih condong kepada bacaan-bacaan sastra yang sifatnya trending di aplikasi, selaras dengan kondisi masa remaja dan awal dewasa mereka, serta karya sastra yang menggunakan bahasa gaul kekinian. Fenomena yang saya temui cukup membuat saya tergelitik untuk menuangkannya dalam topik esai kali ini.
Dalam teori sastra, kita mengenal dua jenis sastra yaitu karya sastra interpretatif atau sastra serius dan sastra yang bersifat pop atau sering disebut sebagai karya sastra hiburan. Budi Darma (2013) menyatakan sastra interpretatif adalah sastra yang melahirkan karya sastra dengan sifat serius atau karya sastra yang memberikan ruang dan kesempatan bagi pembaca untuk berpikir, menganalisis, dan memberikan tafsiran. Adapun, sastra bergenre pop atau hiburan adalah sastra yang menghasikan karya sastra dengan ciri memberikan kesempatan bagi pembaca untuk murni menikmati isi karya sastra tanpa tendensi untuk melakukan analisis dan tafsir interpretasi. Kedua genre sastra ini–baik interpretatif dan populer– memiliki peranan masing-masing yang saling melengkapi untuk disuguhkan pada pembaca.
Kembali pada topik yang diangkat, saya merasa ada kondisi yang mungkin menjangkiti asupan sastra generasi milenial yaitu ketidakseimbangan bacaan karya sastra antara genre serius dan genre pop. Hal ini, menurut pengamatan saya, amat perlu disikapi semua pihak. Artinya, kita harus menata ulang asupan bacaan karya sastra yang seimbang untuk generasi milenial. Bacaan karya sastra yang berisfat serius harus diberikan tidak cuma membiarkan mereka membaca karya sastra pop dan tenggelam di sana. Saya tidak mengatakan bahwa karya sastra pop itu tidak baik tetapi alangkah baiknya apabila karya sastra bersifat serius yang membuat mereka berpikir, menganalisis, membuat tafsir dan argumen juga disajikan.
Kita semua sepakat bahwa kaum milenial hidup dalam kondisi teknologi dan kemajuan bidang kehidupan sangat cepat dan perubahan selalu terjadi setiap saat. Sisi lain dari kondisi tersebut adalah adanya tantangan yang kompleks karena perubahan yang terjadi juga sangat cepat. Hal ini perlu disadari bersama. Kita perlu menyiapkan para generasi milenial dengan beragam bekal, salah satunya dengan kemampuan berpikir, analisis, kemampuan berargumen dan kemampuan mengenali persolan dan pemecahannya secara mendalam.
Sastra interpretatif yang nantinya melahirkan beragam karya sastra serius merupakan salah satu jembatan kecil yang dapat turut membantu tumbuhnya pemikiran-pemikiran kritis, kemampuan berargumentasi, dan juga kemampuan menganalisis serta kemampuan menafsirkan segala sesuatu yang disajikan dalam karya sastra. Saya bisa mengutip sebuah sajak milik W.S Rendra sebagai contoh karya sastra interpretatif sebagai berikut:
Sajak Seonggok Jagung
… .
Tetapi ini:
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
Ia memandang jagung itu
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik
etalase ia melihat saingannya naik sepeda motor.(Sajak Seonggok Jagung, W.S Rendra)
Kutipan di atas adalah salah satu contoh karya sastra yang dapat membuat para pelajar untuk memahami, mengkritisi, dan juga menganalisis ulang tentang tujuan-tujuan selama ia menempuh pendidikan. Masih banyak lagi karya sastra semacam ini misalnya dalam Robohnya Surau Kami, Mata yang Enak Dipandang, dan karya dari penulis semacam Leo Tolstoy dalam karyanya Tuhan Tahu tapi Dia Menunggu, dst. Karya-karya semacam ini perlu untuk disajikan sebagai asupan bagi kaum milenial khususnya para siswa yang menempuh ranah pendidikan.
Upaya untuk menciptakan asupan sastra seimbang bagi para milenial khususnya para siswa memang memiliki beberapa hambatan. Pertama, sikap para pendidik dalam hal ini guru terkadang kurang berani atau mungkin literasi yang terbatas membuat menyajikan pembelajaran sastra dengan bahan sastra interpretatif menjadi tidak dapat efektif maksimal. Saya menjumpai beberapa rekan pengajar sangat minim mengenai pemahaman tentang konsep sosiologi sastra, psikologi sastra yang akhirnya membuat pembelajaran materi sastra gagal memilih bahan secara objektif dan gagal menyajikannya secara optimal.
Problem berikutnya adalah menggiring para siswa untuk masuk ke dalam budaya literasi kritis, dan argumentasi yang hidup. Kita menyadari bahwa bacaan karya sastra serius terkadang dirasa cukup berat bagi para siswa. Namun, apabila kita dapat masuk secara baik melalui pendekatan terbimbing, dan mampu memersuasi mereka maka mereka akan hanyut dalam menikmati dan megkritisi serta menafsirkan karya sastra dengan genre sastra serius.
Pengalaman yang pernah saya lakukan adalah mengajak para siswa milenial memecahkan teka-teki Sinterklas dalam cerpen Tuan Sinterklas Mengambil Kaus Kakiku karya Iggoy El Fitra. Para siswa milenial layaknya detektif Conan mencoba menafsirkan dan saling bertukar argumentasi mengenai sang tokoh dan problem kemiskinan yang diangkat. Saya mengamati mereka sangat menikmati proses membaca dan juga proses memecahkan teka-teki tokoh beserta problem yang hadir di dalamnya.
Asupan sastra secara seimbang antara sastra interpretatif dan sastra pop bagi milenial ibarat kita menyajikan nasi dan lauk secara tepat bagi mereka. Saya mengibaratkan sastra interpretatif ibarat nasi dan sastra popular adalah lauk. Apabila salah satu saja yang dikonsumsi maka tubuh menjadi tidak ideal. Keduanya harus tersaji seimbang agar pikiran terasah dan mampu mengkritisi problem yang hadir di sekitar para pelajar milenial. Selain itu, melalui sastra para pelajar dapat melepas penat yang mereka rasakan. Oleh karena itu, siapapun kita hal ini perlu diupayakan untuk para generasi milenial yang ideal dan siap menghadapi tantangan zaman lewat asupan karya sastra secara seimbang.