Hening dalam Dingin



Semangkuk Bubur di Meja Makan


erang di ujung usia
menjerang belanga sesal
didih ia,
terlambat diangkat jadi
gosong, lembek, tanpa bentuk,
     -membubur.

waktu muda seperti api
merah nyala, menari-nari
penuh hura-hura, dan gempita
lalu
di suatu pagi,
di dalam tungku,
bara membakar tawa
hangus jadi abu.

Cirebon, 31 Juli 2022




Membaca ikan-ikan

Mengeja riak di dini hari
Lelap hening dalam dingin.
Batu, air, ikan-ikan.
Melafalkan arus menuju hilir.
Dari hulu,
gemericiknya memekakkan telinga.
Menyelam,
Tenggelam tanpa dasar.
Batu, air, ikan-ikan.
Melahap aksara-menyaring makna.
Alga-alga,
Berenang-renang di antara.
            Batu, air, ikan-ikan.
Sirip-ekor: menari-nari!

Cirebon, Juli 2022




Bila Kesedihan Adalah Air

Bila kesedihan adalah air,
jangan biarkan ia menggenang,
nanti jadi sarang buat banyak sakit.
Biar ia mengalir dari hulu ke hilir
membasah tubuh dan isi kepala yang
riuh.

Bila kesedihan adalah air,
biar ia luruh, mengisi tiap-tiap sudut sesal,
makin tenggelam ke dasar sepi yang dingin
atau biar ia melewati pematang rindu
dari kenang di waktu lalu.

Bila kesedihan adalah air,
buat ia jadi tenang di antara dunia yang
senang kali main-main dengan api.
Biar ia menghidupi rerumput hijau
juga hewan buas dalam diri.

Lalu,
bila kesedihan adalah air,
biar ia jadi teman makan malam
dan tetek bengeknya di meja makan
sebab tak ada yang salah dari duka
walau kau tahu benar
tak pernah ada pula yang sembuh
dari luka.

Perpustakaan 400, Agustus 2022




Perjalanan dan Angka-angkanya

Buat: Mas Hitto

[1]
Membaca September di dini hari dengan baterai
yang soak dan insomnia
Memandangi lilin yang leleh di atas kue:
Ulang tahun adalah tanggal berulang yang usang
Sedang doa tak kenal waktu juga ruang.

[2]
Membaca September di dini hari dengan helaan napas
Berita-berita berseliweran di gang-gang perkotaan
Berjalan menyusuri lorong-lorong ingatan
Juga berbagai pertemuan di perempatan jalan
Ada:
Aku dan banyak hal lainnya mengetuk sadar:
Diri ini jalinan kasih dan langkah menari-nari.

[3]
September menghujani pikiran dengan pencapaian
dan harap dikemudian
Kurcaci-kurcaci dalam kepala berteriak,
Rusuh ia menodong tawa dari sudut kenang
Yang tak lagi pernah terbuka
Yang rapat, hilang kuncinya.

[4]
Membaca September di dini hari dengan satu seloki
     kesunyian yang memabukkan
Merapikan serapah yang tergelak di meja kerja,
Meramu patah, mengemas sesal,
Menata ego dalam diri:
Jadi lapang dan lahir kembali.

[5]
September, tanggal sembilan yang berulang
Roti dan jus sebelum datang siang
Selamat bersenang-senang!

Surakarta, September 2022




Menanak Sunyi


Pukul dua tiga dua dua
semangkuk keluh tumpah di meja makan
segelas tak apa diteguk dalam-dalam
       -dehidrasi.
Beranjak,
ada kompor dan nyala api
memasak tanya dalam kepala
       -mendidih.
Waktu jadi jamur yang diberi tepung
lalu
kuali dan minyak panas berjejal kenang
      -gosong.
Sesendok garam
juga
setengah sendok gula
larut dalam juang
dari mimpi yang tak pernah tersaji
saat makan malam.

Cirebon, Oktober 2021





Bagikan:

Penulis →

Arifatul Hikmah

Lahir di Cirebon, 23 Oktober 1999. Menyelesaikan gelar sarjana di Universitas Siliwangi. Penulis di antologi bersama Wadah Kegembiraan (2017), Alomanuk (2019), Embara (2019), dan Aku Terlipat dalam Buku (2021). Menjadi penulis terpilih dalam antologi Menenun Rinai Hujan (2019), Memotret Wajahmu (2022), dan Pada Suatu Siang Menghitung Kesedihan (2022).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *