NAK, kelahiranmu bakal tertunda, lantaran Bapak memutuskan berhenti dari perusahaan. Setidaknya begitu, menurut hitungan Mamamu. Meski tak ada hubungannya antara status kerja dan kualitas sperma. Tetapi ia terlanjur meyakini, tanpa gaji pasti akan semakin lama modal membina keluarga sendiri dapat terpenuhi. Bapak sebenarnya tidak setuju dengan rumusan seperti itu. Bagiku, modal nikah adalah cinta dan tanggung jawab.
Oiya, Nak, saat menulis ini, Bapak dan Mamamu belum menikah. Jadi selain tertunda masih mungkin pula untuk kamu tak ada. Meski segalanya masih tak pasti, berkat tulisan dan khayalan, kamu yang belum ada menjadi tersedia untuk mendengar Bapak bercerita.
“Ah, Bapak gila! Aku lahir saja belum, sudah diajak cerita,” barangkali begitu tanggapanmu.
Wajar jika kamu berpikir kontra imajinatif begitu. Karena di dalam dirimu ada darah Mamamu, yang notabene juga selalu menganjur Bapak untuk memikirkan masa depan tetapi ketika kusampaikan visiku, ia menganggap itu kejauhan. Seperti misal waktu ia bertanya rencana hunian kelak, ambil kredit rumah atau cari kontrakan. Kubilang, “nanti kuburan kita bersisian.” Sontak ia teriak, “woi kejauhan!!!”
Begitulah kami, kamu akan lahir tak hanya dari perbedaan, tetapi juga paradoks. Kekontrasan kami akan mengalir dalam darahmu. Bapak dan Mamamu penuh perbedaan dan pertentangan. Tetapi jangan khawatir. Semakin kami berbeda, semakin kami sama perlu cinta. Semakin kami saling bertentangan, kasih sayang kian menggairahkan. Nah, jangan heran jika nanti aku memintamu memanggilku Bapak bukannya Papa, padahal kepadanya, ia akan meminta dipanggil Mama. Jadilah Bapak dan Mama. Biar begitu saja, soal serasi apa tidak, biar nanti kebiasaan yang akan mengisinya.
Juga perkara jenis kelaminmu, kami pun pernah mempertengkarkannya. Perkaranya begini, aku mengharap bayi perempuan, karena merasa hidup sebagai lelaki itu berat sekali. Tetapi Mamamu berpikir sebaliknya, ia inginkan kamu laki-laki. Baginya tatanan patriarki bakal memberi posisi yang lebih tinggi dan keluasan bagi laki-laki. Itu ia artikan menomerduakan dan memberi banyak batasan pada perempuan. Akhirnya bapak mengalah. Karuan tak apa kalau salah satu harapan dari kami kalah, jadi laki atau perempuan, bagiku tak masalah. Tapi kalau doa kami sama kuatnya dan hasilnya jadi seri? Terus jadi fifty:fifty? Berat, anakku, kalau sampai kamu jadi setengah tuan dan sisanya puan. Membayangkannya saja aku khawatir, maka harapanku kucabut. Biar kamu utuh laki-laki saja seperti harapan Mamamu.
~ Surakarta, 11 Mei 2001
***
Nak, tulisan ini kulanjutkan setelah dua bulan berselang. Bapak merasa perlu melanjutkannya, karena tulisan yang semula kuniatkan sebagai lelucon untuk hari depan ini ternyata menjadi satu-satunya tempat di mana kamu dapat kujumpa. Kamu tak akan lahir di dunia, Nak. Bapak masih mungkin beranak-pinak, pun Mamamu juga. Tetapi bukan kamu yang akan lahir. Sebab kami akhirnya berpisah, batal sudah niat kami menikah. Musnah sudah jalan kelahiranmu.
“Bapak sih tidak memperjuangkanku dengan sungguh-sungguh!” Aku tak akan kaget jika kamu menyalahkanku seperti itu. Sebab Mamamu pun juga melontarkan itu. Kami sempat berdebat cukup lama, mengenai kata perjuangan dan tak ada yang mau mengalah. Akhirnya hubungan kamilah yang kalah. Kandas sudah.
“Berjuang itu baru boleh disebut berjuang kalau pelakunya menjadi dirinya sendiri di dalam perjuangan itu.” kukatakan itu pada Mamamu. Tetapi Mamamu bersikukuh mendakwa keputusanku melepas pekerjaanku sebagai marketing kredit adalah bukti kongkrit bahwasanya aku berhenti berjuang.
“Apa buruknya pekerjaan sebagai marketing kredit?” tanyanya.
“Tidak buruk,” kataku, “tetapi manusia yang meletakkan diri pada bukan tempatnya akan berakibat penipuan diri. Itu bukan duniaku, aku menjadi bukan aku. Setiap hari musti kujalani penipuan diri! Menipu, apapun konteksnya, itu adalah buruk.”
“Dari mana kamu tahu kalau itu bukan duniamu?”
“Hatiku.”
Wajahnya nampak kesal sekali mendengar jawabanku. Aneh, Nak, padahal di awal-awal pacaran ia senang sekali diajak bicara soal hati dan perasaan, tetapi makin kemari, soal hati seringkali ia minta untuk ditepiskan terlebih dahulu. Tapi aku tidak bisa. Bahkan justru heran kepada orang yang mengaku bisa membunuh perasaan demi menggapai tujuan. Pada kenyataannya, mungkin memang bisa dilakukan, tetapi pada diriku, aku tak mampu.
“Bekerja itu soal gaji, bukan urusan hati.” kata Mamamu.
“Orang-orang di kantor juga sering berkata seperti itu, dan aku sudah mencoba, ternyata tidak bisa, jadi mengertilah.”
“Berusahalah lagi. Cobalah berpikir realistis!”
“Yang kamu maksud itu bukan realistis, tetapi pragmatis!”
“Aku tidak mau berdebat perkara istilah, pokoknya jelas sudah, kamu sudah menyerah, egois, terlalu idealis, yasudah, terserah!”
Ia kemudian pergi begitu saja, Nak. Dan yang kukira hanyalah sekedar pertengkaran biasa itu ternyata berujung perpisahan. Keputusan ia sampaikan lewat telepon.
“Baiknya kita sudahi hubungan ini, Mas. Agar kamu merdeka menjadi orang yang sesuai dengan hatimu dan aku menemukan orang yang sesuai dengan kriteriaku...”
Hatiku sakit sekali mendengarnya dan masih terasa nyerinya sampai ketika menulis tiap kata itu untukmu. Jadi, Nak, perihal kamu musti kusudahi. Kuanggap kamu sudah dapat mengerti dan tidak menyalahkanku. Jangan salahkan Mamamu juga dan maafkanlah kegagalan kami. Kuakhiri tulisan ini, kusudahi riwayatmu yang ternyata hanya sebatas ada di dalam tulisan. Maaf.
~ Surakarta, 23 Juli 2001
***
Nak, benar dugaanku! Persis seperti kecurigaanku selama ini! Mamamu berani melepaskan pilihannya kepadaku karena telah menggenggam pilihan yang lain. Ia berani meloncat karena ada yang sudah menawarkan diri untuk menangkap. Baru sebulan berpisah dariku ia sudah tebar mesra dengan lelaki barunya. Hampir semua yang kenal denganku merasa perlu mengabarkan perilaku Mamamu kepadaku. Pasti hubungan mereka sudah terjalin sejak Mamamu sering mencari-cari kesalahanku. Apa tujuannya kalau bukan mendapat alasan untuk berpisah?
Ya sudah, baiklah, oke! Tetapi aku pantas marah. Memang itu bukan lagi urusanku. Tetapi kurasa kamu perlu tahu ini, Nak. Jelas sudah perkaranya, kan? Mamamulah biang keladi kegalalanmu lahir di dunia ini. Ia lah yang tidak memperjuangkan kamu!
Tapi bersyukurlah kamu, Nak, tak jadi lahir dari Mama semacam dia! Bersyukurlah, aku juga akan bersyukur, tapi nanti setelah marah ini reda.
~ Surakarta, 31 Agustus 2001
***
Nak, setelah hampir setahun lamanya, Mamamu menghubungiku lagi. Ya sekedar bertanya kabar mulanya. Tetapi lama-lama ia bercerita bahwa hubungannya dengan lelaki barunya telah berakhir. Ia juga menyampaikan maaf karena merasa bersalah telah meninggalkanku. Satu lagi, Nak, ini yang paling penting. Besok ia mengajakku ketemu dan aku setuju.
Maka dari itu, Nak, aku merasa perlu mengabarimu lagi. Karena feelingku kok sepertinya kami bakal balikan. Karena begini, ia kini sendiri dan aku pun masih sendirian, bukankah itu kemungkinan? Terlebih lagi, yang menjadi masalah di masa lampau juga telah kuatasi. Aku kini sudah mendapat pekerjaan tetap yang cocok dengan hatiku, menjadi guru Bahasa Indonesia di SMA swasta. Jadi rasanya tak ada lagi aral melintangi kami untuk mencoba bersatu lagi.
Memang besok itu belum bisa disebut kencan. Sekedar silaturohmi, katanya. Tapi siapa tahu dari bertemu berujung sesuatu, iya kan? Pendeknya, harapan hidupmu, Nak, kembali ada. Pintu kembali terbuka! Jadi berdoalah dengan caramu, Bapak akan berusaha dengan sebaiknya. Semoga kali ini, Mamamu bisa kunikahi dan kutanam kamu di rahimnya!
~ Surakarta, 15 April 2002
***
Dalam hidup, Nak, keinginan itu sangat jarang sekali menjadi sama dengan kenyataan. Tetapi manusia tetap harus selalu berharap dan bermimpi. Tanpa keinginan hidup menjadi kering, tak bermakna dan sekedar menunggu mati saja. Wejangan Bapak ini mungkin takkan berguna. Karena, satu, setiap manusia akan menemu pemaknaannya sendiri-sendiri mengenai hidup. Cukup menjalani dan tidak bunuh diri, kamu pasti akan dapatkan pengertian yang paling pas untuk dirimu. Dua, kamu telah memiliki nasib paling beruntung menurut ukuran Soe Hok Gie, yakni tidak dilahirkan.
Ya, Nak, kamu tidak terlahir. Sebenarnya sudah bisa dipastikan sejak dulu. Maaf baru bisa mengabari. Maaf, telah menggantungmu dalam ketidakpastian begitu lama. Semoga siksa menunggu hanya dimiliki manusia yang sudah terlahir di dunia, jadi sepi-nyeri tidak menderamu selama ini.
Mustinya telah kukabarkan berpuluh tahun lalu ketika Mamamu mengajak kembali bertemu kala itu. Tak kusangka 16 April 2001, hari yang kukira bakal menjadi awal bersatunya kami kembali itu ternyata adalah akhir dari kemungkinanmu. Mamamu ternyata membawa kabar pernikahan dan aku diundang untuk datang. Sebagai tamu tentu saja. Melihatku yang kaget oleh kesetra-mertaan itu, ia lalu bercerita.
Setelah kegagalan percintaan terakhirnya, ia putuskan mendekatkan diri pada Tuhannya. Maka mengaji ia pada seorang Kyai yang kemudian menjodohkannya dengan salah satu santrinya. Mamamu setuju, tanpa ba-bi-bu, tak banyak menghitung seperti kepadaku dulu. Ironis memang, tetapi ironi itu hanya berlaku untukku. Karena berikutnya mereka harmonis dan nampaknya memang itulah yang terbaik untuknya. Pasangan yang diprakarsai seorang Kyai itu kemudian melahirkan empat anak laki, dan semuanya tentu saja bukan kamu, Nak.
Aku kemudian juga menikah dan beranak pinak. Seakan tak mau kalah anakku jumlahnya enam, tiga laki dan tiga perempuan. Kehadiran istri dan anak-anakku membuatku lupa pada dirimu selama ini. Baru hari ini, sepulang dari melayat Mamamu. Ketika aku disergap kerinduan pada masa lampau, kubuka kardus kenangan di gudang dan kutemukan catatan ini. Kudapati dirimu dalam keadaan yang kugantung.
Meski telah terlambat berpuluh tahun lamanya, aku merasa perlu melanjutkan khayalan mengenaimu ini sampai selesai. Mungkin bagimu ini tak perlu, tapi untuk seorang tua sepertiku, ini sangat penting. Saat mati nanti, aku tidak ingin meninggalkan sesuatu yang tidak selesai dan menjadi beban bagi yang ditinggalkan. Warisan seperti itu bisa menjadi benih percekcokan. Semua orang tua tak ingin meninggalkan dengan cara seperti itu. Kematian Mamamu hari ini membuatku kembali mengingat bahwa giliranku pun telah dekat. Mawas diri kuperketat, yang bisa kuselesaikan harus kukerjakan.
Nak, karena sudah menyinggung soal waktu, baiknya langsung ke inti. Catatan ini kusudahi. Agar kamu selesai dan lahir menjadi bacaan. Jangan lupa, kamu juga adalah anakku yang akan mewarisi riwayatku. Kamu adalah harapan dan mimpi masa mudaku yang gagal lahir menjadi kenyataan tetapi abadi di dalam catatan. Selamanya, layaknya hubungan bapak dengan anak. Selamat tinggal, Nak. Pesanku, jadilah sesuatu berguna. Amin.
~ Sukoharjo, 22 Oktober 2042