Metamorfosa Musim

Zikir Malam

saat malam merengkuh mimpi-mimpi kita
hanyalah sunyi menjadi teman sejati
sebab mimpi tak sesederhana rindu
yang tertulis pada sehelai kertas

biarkan daun tetap menghijau
dikala pagi menyimpul senyum
dengan sinar cahaya
yang tak akan pernah singgah
dalam bait-bait malam

mungkin suatu saat
puisi bergegas diri
mewujudkan impian
meski dengan doa yang teramat panjang
bagai doa yang berulang kali
kita lantunkan serupa zikir

PB, 2022




Di Kutub Puisi

adakah kata di kepalamu
yang bisa menjelma rindu
menelusup di tubuh puisiku
sekian lama tarian filsuf
berenang bagai ikan
di kolam-kolam ingatanku
diksiku pun terempas
jatuh dan karam

ini zaman ketidakpastian, katamu
filosofi mulai membusuk
berjalan tertatih di kutub kematian
membeku dan menggumpal serupa peti mati
hingga telatah langit
bagai metamorfosa musim
menelisik dalam absurdnya kemarau panjang
tak ada bedanya, kita kudapan batu
di piring-piring puisi kita
perut-perut kita kelaparan
menggunung di peradaban cahaya
berlari tanpa arah
dan bersorak dalam kegundahan panjang
masih pantaskah aku, disebut penyair?

Malang, 2022




Ruang Sunyi

menggurat wajah dari garis-garis cahaya
seakan menggenapi mimpi
yang tersimpan di rak ingatan
dan dari jejak musim, kuhitung jarak siang dan malam
bagaikan cermin menggegas gelisah
biarkan wajahmu terbaring dan membekas di bait-baitku
hingga aku mengeja rindu
dari kata-kata yang belum kutulis
mungkin esok menjadi penantian panjang
untuk memisahkan daun-daun rindu dan gelisah
hingga kelak kita satukan pada ruang sunyi

Malang, 2022




Tempayan Mimpi

melingkar malam
di sepi bangkumu
rembulan memayungi lekat di tatapanmu
sinarnya seakan membaca kegelisahanmu

engkau gadisku, menebar rindu
merebak di cahaya malam
dari pancaran garis-garisnya, menusuk keindahan aromamu
hingga serangga malam pun terkesima
rentangkan jejaring angin, satukan
panorama cinta

engkau gadisku, cakrawala malam
tak lekang dirajam angin
tak pupus dibasuh cemas
tak goyah diterpa prahara rindu
sekujur tubuhmu, meluap kenangan
hingga sungai mengalirkan wewangian kata

engkau gadisku, di benang rindu
kau sulam kegelisahanku
menggelar bingkai, kupuisikan namamu
hingga bait-baitku jatuh terlelap
kupeluk bayanganmu di tempayan mimpi

Malang, 2022




Buku Terakhir

sisa musim dingin masih
melekat di tubuhku
matahari, menjaga jarak
enggan menghangatkanku

kumemaksa langkah, hilir mudik
mengiris bara api, tinggalkan
selimut beku yang berkerak
seperti dingin salju membekap raga

di tungku perapian, sepasang
serigala menatap
tajam menikam tulang
seakan paduan orkestra
nyanyikan syair kematian

adalah malam-malam terlewati
menghabiskan perjamuan akhir
di ringkih waktu, sepuluh detik
begitu cepat
terbaca: ajal

lidah menelan hambar
ketika dahaga bersenggama dingin
terasa makin menggigil, napasku
tersendat
bagai muntahan lahar
yang membinasakan perjalanan waktu

di atas sana, langit terpaku
burung gagak memekak gaduh
hitamkan langit diam

dua larik malam
memenggal puisi
tubuhku terpotong dalam bait-bait kaku
serupa lembaran buku
di lembar terakhir
bukan untuk menyimpulkan isi buku

Malang, 2022


Bagikan:

Penulis →

Vito Prasetyo

Dilahirkan di Makassar, 24 Februari 1964. Bergiat di penulisan sastra sejak 1983. Tulisan-tulisannya dimuat di media, antara lain: Koran TEMPO, Media Indonesia, Jawa Pos, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Pedoman Rakyat, Fajar, Republika, Solopos, Suara Merdeka, Suara Pembaruan, Suara Karya, Koran Minggu Pagi, Bali Post, Lombok Post, Majalah Puisi, Magrib.id, Utusan Borneo (Malaysia), Kompas.id, Haripuisi.id, Litera.co.id, Kompasiana. Kini bertempat tinggal di Kab. Malang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *