MUSIM berburu tiba dan koloni kami berkumpul di padang karang selatan, Australia. Setiap musim berburu kami selalu berkumpul seperti ini. Menurut kebiasaan kami bila ikan-ikan di sini lenyap entah kemana, maka kami harus berburu ke dunia luar. Itulah hukum alam yang berlaku selama ini. Selain itu aku mendengar, keserakahan manusia telah menghabisi ikan-ikan hingga sarang-sarangnya mengakibatkan persediaan sumber makanan kami menipis. Kami harus terbang menjelajahi dunia untuk mencari makan. Bukan hanya itu saja, kepergian kami juga merupakan jalan yang telah leluhur kami petakan untuk mencari lahan makan baru. Tempat yang kami tuju atau tempat baru yang akan kami temukan adalah sebuah harta karun untuk generasi koloni kami ke depannya bila tanah karang tempat kelahiran kami ini tidak memberi kehidupan lagi.
Ada banyak pilihan tempat untuk berburu. Ada yang akan terbang ke selatan. Kata mereka mendekati dunia selatan berarti mendekati dunia es. Di sana banyak ikan dan sensasi pemandangannya indah dan menarik. Banyak dari koloni kami akan terbang kesana. Namun di sana terdapat banyak pemangsa yang sangat membahayakan. Banyak diantara kami yang berburu kesana mati diterkam monster-monster laut, namun itu tidak menyurutkan niat koloni untuk pergi. Apa yang lebih mendesak kecuali lapar. Perut lapar sangatlah menyiksa. Akan lebih baik mati karena berburu dari pada mati kelaparan. Jaraknya yang dekat dan banyak makanan membuat tidak ada pilihan lain.
Namun aku tidak akan pergi ke selatan. Aku akan pergi ke utara mengikuti koloni lainnya. Ini adalah untuk pertama kali aku berburu. Usiaku sudah dewasa dan aku telah siap untuk terbang dengan jarak yang jauh. Terbang ke utara adalah terbang menuju negeri seribu pulau. Tempat manusia-manusia menjaga samudera raya dan memelihara ikan-ikan. Di sana ikan melimpah karena tidak ada kerakusan dan ketamakan. Begitulah, waktu kecil ayah bercerita tentang negeri utara.
Selama hidupnya, ayah hanya bercerita tentang ikan-ikan di negeri utara. Ia selalu berpesan bahwa bila besar nanti aku harus berburu kesana. Namun aneh, ayah tidak pernah menyuruhku berburu ke selatan. Hingga suatu saat ketika ayah, ibu dan koloni lainnya pergi ke selatan dan tidak pulang-pulang hingga kini menyadarkan aku bahwa ayah sedang melindungiku dari bahaya-bahaya. Saat itu aku sangat bersedih dan merasa dunia begitu kejam. Namun banyak teman-teman di koloni yang berusaha menghiburku hingga perlahan-lahan aku melupakan kesedihanku.
**
Kami berangkat bersamaan dengan terbitnya mentari. Dua formasi rombongan besar itu seperti bentangan tali yang memanjang di udara. Tali itu tidak terputus terus menembus dua arah. Selatan dan utara. Ketika masing-masing koloni harus berpisah maka terputuslah tali itu. Semakin lama saling menjauh hingga hilang.
Kami mengatur formasi dalam dua barisan. Aku berada di tengah dan merasa gagah dengan kepakan sayapku yang baru. Iya, ini untuk pertama kali aku akan memanfaatkan sayap ini dalam perjalanan jauh.
Leluhur berceritera tentang rute kami ini merupakan lautan luas dan besar tanpa pulau. Kami harus menyiapkan tenaga untuk mengarunginya. Dalam perjalanan kami bertemu dengan kapal-kapal manusia. Kata ketua koloni mereka juga berburu mencari makanan untuk koloni mereka. Sedang pemandangan yang lainnya lebih mengerikan. Bagaimana tidak, manusia-manusia itu mengarungi samudera luas ini hanya dengan sepotong kayu kecil. Kata ketua koloni mereka sebentar lagi akan dibantai oleh lautan. Ketua koloni bercerita bahwa dia telah terbang ke utara ribuan kali dan dia telah melihat manusia-manusia itu mati di lautan. Mereka, menusia-manusia itu bukan berasal dari negeri seribu pulau. Mereka berasal dari bumi yang berbeda. Perawakan mereka lebih putih dengan janggut dan kumis tebal yang saling bersambung. Mereka mengenakan kain serba panjang dan penutup kepala dengan hidung yang mancung. Manusia-manusia itu berasal dari negeri dimana mereka saling membunuh merebut makanan. Dan mereka akan pergi ke negeri karang kita untuk mencari makan di sana. Begitulah pelajaran yang selalu didendangkan leluhur pada kita untuk tidak berebut makanan seperti mereka.
“Berburulah ke segala penjuru untuk mencari penghidupan, tetapi jangan saling membunuh,” kata ketua koloni.
Menurutnya, negeri yang kami tuju adalah negeri yang damai. Tanahnya subur di atas lautan yang mengelilinginya. Manusia-manusianya ramah dan saling menjaga. Perawakannya sedang dengan kulit sawo matang. Mata kecil dan wajah yang serba kecil. Di negeri seribu pulau kita tidak memiliki masalah dengan manusia ataupun monster laut lainnya.
Begitulah ketua koloni kami bercerita menemani alur perjalanan kami yang kini mulai diwarnai cahaya jingga senja yang perlahan memudar menuju gelap. Bintang-bintang mulai terbit sedang di bawah sana lautan tertidur pulas.
***
Pagi hari kami menepi di serambi tujuan. Ini adalah titik awal tanah seribu pulau. Kami disambut oleh ikan-ikan segar yang seperti menyerahkan diri untuk menghibur rasa lapar kami. Daratan ini sepenuhnya adalah pasir yang dihuni oleh berbagai biota laut. Seperti merasa cukup di sini saja kami sudah kenyang, tidak perlu berjalan jauh lagi. Namun ketua koloni menantang kami untuk pergi lebih jauh.
“Apa kalian ingin melihat salju? Para koloni yang pergi ke selatan pasti akan membanggakan diri pada kalian bahwa mereka menikmati dinginnya kutub. Mereka tahu bahwa negeri utara adalah negeri yang dipenuhi sinar matahari yang panas. Kalian akan menjadi bahan olok-olokan koloni lainnya. Aku akan tunjukkan kepada kalian sebuah tempat rahasia. Tempat yang sudah dua generasi ini tidak ada koloni kita yang pergi kesana kecuali leluhur-leluhur kita. Maukah kalian pergi ke sana?”
Begitulah kata ketua koloni yang seperti menantang kami untuk terus menuju utara. Kami akhirnya sepakat untuk berangkat lagi dan menemui pulau-pulau kecil yang berserakan di bawah sana. Pulau-pulau itu hampir mirip dengan negeri karang kami. Pulau-pulau itu dikelilingi padang batu karang yang berbuih ombak.
Menjelang malam kepakan sayap ketua koloni menunjuk ke arah sebuah pulau kecil yang diapit oleh pulau-pulau lainnya. Pada ujung selatan pulau itu terdapat gundukan batu karang yang berserakan di pesisirnya. Di situlah kami mendarat. Menurut ketua koloni, itulah tempat yang kami tuju. Namun aneh. Tidak ada salju di sini. Yang ada hanya laut tenang dan hening. Bintang-bintang terpantul jelas dari dalam jernih laut sedang terdengar suara manusia menghening di atas sebuah menara yang ujungnya ada bulan dan bintang.
Malam itu kami berjejer rapi di gundukan batu. Rasa lelah terhapus oleh keheningan dan tidur yang membuai kami. Seolah-olah ada di rumah sendiri kami benar-benar terlelap.
Suara hening manusia di menara bulan bintang itu kembali terdengar dan kami terbangun semua dalam keheningan. Satu-satu diantara kami melongokkan kepala ke air laut mencari sesuatu yang bisa di makan namun kosong. Beberapa ikan yang melihat kami berenang menjauh.
Cahaya siang semakin benderang dan di seberang manusia-manusia terlihat berkumpul. Mereka seperti menunjuk ke arah kami dan berbicara sesama mereka. Raut mereka aneh-aneh dan membuat kami bertanya-tanya. Menurut ketua koloni mereka sangat senang dengan kehadiran kami dan itu tandanya salju akan naik.
Kami terkejut. Bagaimana salju akan naik. Biasanya salju turun dari langit. Ketua koloni mengatakan bahwa sumber air es itu tumbuh dari dasar laut hingga mengakibatkan perairan sekitar pulau ini akan seperti dinginnya es dan ikan-ikan akan mati dan manusia-manusia itu akan panen raya. Saat air laut berubah menjadi sedingin es merupakan pesta panen untuk mereka dan kehadiran kita di tempat ini merupakan salah satu tanda bagi mereka bahwa siang ini air laut akan dingin. Begitulah ketua koloni menjelaskan tentang tanda kehadiran kami yang membawa berkah keberuntungan untuk manusia-manusia itu.
Waktu terus beranjak menuju siang dan selat sempit ini mulai berarus kencang. Air laut yang tadinya bersuhu normal perlahan berubah dingin. Di seberang manusia-manusia bertambah banyak dan terlihat mereka akan panen ikan. Ini sebuah keajaiban. Ini benar-benar nyata. Air laut itu berubah dingin seperti es di selatan. Sedang arus air laut yang mengalir berubah putih berbuih karena alirannya yang deras. Suasana mentari yang terik menguapkan air dingin tersebut hingga udara sekitar pulau tertutup asap uap yang mirip seperti kabut tipis. Suasana benar-benar dingin. Tanpa menunggu lama kami pun terbang dan terjun ke laut menangkap ikan-ikan yang tidak berdaya dan akan mati. Kami seperti bukan sedang berburu tetapi kami sedang bermain-main dengan ikan-ikan itu yang sedang sekarat. Terlihat hanya lumba-lumba lah yang bertahan. Seperti sedang menari mereka pun bermain-main dengan teman segolongan mereka yang sekarat. Tingkah laku lumba-lumba itu mendapat tepuk tangan dari manusia-manusia di darat.
Di sisi utara aku melihat sesosok anak manusia berambut panjang sedang berusaha menangkap ikan di depannya. Namun ikan itu menghindari tangkapannya. Aku lalu terjun ke laut dan menangkap seekor ikan dan membawahnya ke arah manusia itu. Ia menatapku aneh dan ketika mendekatinya aku menjatuhkan ikan itu di depannya. Aku melakukan itu berulang-ulang dan ia mengambil ikan itu sambil mengangkat sebuah benda hitam menutupi wajahnya. Saat aku kembali mendekatinya dan menjatuhkan ikan di depan wajahnya seperti terdengar suara dari benda hitam itu dan cahaya kilatan putih yang sekejab. Merasa curiga aku lalu terbang menjauh.
Menurut ketua koloni, salju akan naik selama tiga hari berturut-turut. Waktu dinginnya adalah selama tiga jam dimulai dari pukul sebelas hingga pukul satu siang sedang pada malam haripun demikian. Namun pada malam hari perut kami kenyang dan lautan terasa sepi sehingga kami memilih tidur berhamburan di atas gundukan batu karang.
Pada hari kedua, suasana tambah ramai. Manusia-manusia berwajah baru berdatangan. Namun aku masih tertarik dengan manusia berambut panjang itu. Ia masih berada di tempatnya yang kemarin dan tatapannya itu seperti beralih ke arah kawanan kami. Apakah dia mencariku?
Aku merasa penasaran dan kembali terjun ke dalam laut dan menangkap seekor ikan lalu terbang ke arahnya. Ia melihat kedatanganku dan tatapannya terlihat aneh. Aku lalu menjatuhkan ikan di hadapannya lalu terbang menjauh. Aku kembali lagi menangkap ikan dan membawa ke arahnya. Seperti kemarin, ia mengangkat benda hitam di tangannya dan menutup wajahnya. Saat aku jatuhkan ikan di hadapannya terdengan suara dari benda itu dan sebuah kilatan cahaya. Aku kembali menjauh, namun kali ini aku tidak merasa takut. Aku terus menangkap ikan dan dia terus menciptakan cahaya kilatan itu.
Malam datang lagi dengan kesunyiannya dan aku terlelap dalam mimpi dengan ditemani manusia berambut panjang dengan cahaya kilatannya.
Hari terakhir, pantai terasa sepi. Tidak ada siapa-siapa. Entah kemana manusia-manusia itu. Teman-teman yang lain beriang gembira menangkap dan memakan semua ikan yang ada. Aku terbang mengelilingi pulau untuk melihat-lihat namun tak ada satu manusiapun. Tatapanku terarah ke tempat kemarin manusia berambut panjang itu berdiri namun ia pun tak ada. Apakah mereka telah bosan? Kenyang? Ataukah apa? Hatiku bertanya-tanya. Lalu tiba-tiba terdengar suara hening di menara bulan dan bintang itu, mengheningkan semua yang ada. Aku merasa sedih. Aku merasa sedih dengan suara hening itu. Aku merasa ada yang hilang. Terakhir aku merasakan perasaan sedih ini saat mendengar kabar bahwa ayah dan ibu tidak bisa pulang dari selatan karena mereka telah termakan monster laut. Aku terdiam di tengah gemuruh arus dan suasana dingin. Menjelang mentari mulai condong ke barat saat dimana air dingin akan kembali normal ketua koloni mengumpulkan kami di gundukan batu. Ia mengatakan bahwa musim berburu telah usai dan kami akan terbang pulang kembali ke bumi karang kami saat ini juga.
“Apakah semua telah siap?” Kata ketua koloni.
Entah kenapa aku beranikan diri mengangkat tangan dan bertanya, “Kenapa manusia-manusia itu tidak datang hari ini?”
Pertanyaanku membuat teman-teman merasa aneh. Seperti sebuah lelucon mereka menertawakanku. Ketua koloni lalu menenangkan mereka dan menjawab, “Mereka manusia memiliki hari-hari khusus untuk menyembah Tuhan mereka. Dalam tujuh hari mereka menyisikan satu hari untuk menyembah Tuhan. Kamu lihat menara dengan ujung bulan bintang itu dan suara-suara heningnya itu merupakan cara sembahyang mereka. Dalam waktu-waktu itu mereka diwajibkan untuk sembahyang dan tidak beraktifitas, termasuk ke laut. Apalagi air laut dingin terjadi pada pukul sebelas, dua belas dan pukul satu. Jam dimana orang ibadah.”
Seperti memahami penjelasan dari ketua koloni akupun terdiam namun ada perasaan sedih yang tumbuh dalam benakku di tengah suasana yang hening itu.
Semua telah bersiap-siap dan dengan aba-aba ketua koloni kami pun terbang ke selatan. Saat mengepakkan sayap untuk terbang aku masih menoleh ke belakang melihat tempat itu untuk yang terakhir kalinya. Namun seketika aku melihat manusia berambut panjang itu berdiri di tempatnya. Tanpa pikir panjang aku memutar balik. Aku terbang menuju lautan dan mencari ikan. Ada seekor ikan yang terlihat lemas mengapung di permukaan laut. Aku terbang rendah menyambar ikan itu dan segera terbang menuju ke manusia berambut panjang dan menjatuhkan ikan itu di hadapannya sedang tangannya masih menciptakan kilatan cahaya itu. Aku balik lagi dan melihat ia melambaikan tangan ke arahku sambil menunjuk sesuatu di tangannya. Aku terbang mendekatinya dan paruku meraih benda yang ia pegang di tangannya. Seperti secarik kertas. Tanpa berbelok ke arahnya. Aku terbang menjauh mengejar rombongan koloni yang terlihat kecil. Ketika kembali kedalam rombongan aku melihat selembar kertas itu yang tergambar nyata wajahku. Aku tidak percaya ini. Kenapa aku berada di dalam gambar itu. Kertas yang berwajah diriku itu akan kubawa pulang sebagai bahan kisah untuk koloni kami.
Aku janji musim berburu yang akan datang aku akan kembali ke utara.
****
Keterangan:
Air laut dingin dalam kisah merupakan kejadian alam yang nyata di alor.bila musimnya tiba orang-orang akan berkumpul di pantai untuk panen raya. Tidak ada tanda-tanda pasti terjadinya keajaiban ini kecuali kedatangan rombongan burung bangau laut yang terlihat bergerombolan putih di ujung hamparan karang. Bila burung-burung putih itu telah ada, itu tandanya musim pesta tiba kala.