“Ibu katanya tidak mau kursi roda. Dia malu nanti kata orang dibilang Ibu lumpuh!”
Begitu ucapan Mbak Qori, kakak perempuan kami yang paling tua seusai keluar dari kamar Ibu. Dengan muka seperti gemawan mendung dikepung pekat yang sebentar lagi akan menumpahkan air bah dari langit, ia menghampiri kami di ruang tamu. Kemudian menerakan hasil negoisasi itu pada kami yang hasilnya nihil.
Ternyata Ibu tetap menolak kami belikan kursi roda. Kami ketika melihat muka Mbak Qori pun terheran-heran. Sebenarnya ada apa yang terjadi padanya sampai bisa seperti itu?
Minggu siang itu kami memang sedang berkumpul di rumah Ibu, yang di mana hanya dihuni oleh Ibu kami dan seorang khadimat¹ bernama Narti. Dialah yang mengurusi Ibu kami di rumah, yang di mana kami sedang kumpul saat ini, merundingkan jalan terbaik buat Ibu yang sedang sakit. Sedangkan Ayah kami sudah lebih dulu terlelap abadi setelah dinyatakan positif terkena Covid-19 sampai nyawanya lepas dari jasadnya, tidak terselamatkan lagi. Hingga Ibu jadi kehilangan tempat ia bersandar dan berkeluh kesah tentang kehidupan anak-anaknya yang sudah tidak lagi bersama.
Ya, sejak Ibu jatuh dari kamar mandi hingga menyebabkan ia tidak bisa lagi jalan sempurna, kami sudah mulai disibukkan untuk bisa mengurus Ibu. Lebih tepatnya memerhatikan secara penuh untuknya lewat Narti. Walaupun, sebelumnya kami juga sudah memeriksakan Ibu ke rumah sakit hingga ke tenaga non medis, ke ahli syaraf patah tulang. Ternyata Ibu dinyatakan memang tidak bisa lagi jalan dengan sempurna. Terlebih faktor usia Ibu juga mempengaruhi pula.
Maklum Ibu kami sudah usia kepala 8. Tentunya usia seperti itu kondisinya memang sangatlah riskan dan mengkhawatirkan, terlebih saat ia jatuh dari kamar mandi. Tidak mungkin lagi bisa kembali jalan dengan sempurna tanpa alat bantu. Tidak lain kursi roda yang akan kami belikan untuknya.
Ibu memiliki empat orang anak; aku, dipanggil Kif, dan tiga kakak perempuanku, Mbak Qori, Mbak Balqis dan Mbak Zulaika. Kami semua ingin memberikan yang terbaik untuk Ibu kami.
Tapi itu tadi Ibu mengatakan tidak mau dibelikan kursi roda. Seperti yang diutarakan oleh Mbak Qori seusai keluar dari kamar Ibu. Ia pun heran pula pada sikap Ibu akhir-akhir ini. Terlebih saat ia usai jatuh dari kamar mandi. Semua pun berubah terutama pada psikologis Ibu.
Ibu sekarang mudah marah-marah, mutung, dan pemurung. Tidak seperti dulu ketika ia masih segar bugar. Maka dari itu Mbak Qori terkejut saat Ibu menolak untuk dibelikan kursi roda.
Bukan saja penolakan dibelikan kursi roda yang diterima Mbak Qori. Bahkan kakak perempuan pertama kami itu sebelumnya habis-habisan diumpat oleh Ibu sampai ia saat kembali dari kamar Ibu dan menceritakan sebenarnya yang terjadi. Ia tidak sanggup menahan airmatanya yang sudah membendung di sudut retinanya. Hingga akhirnya terbuncah juga air bening itu dari matanya.
“Bukan itu saja, Ibu pun memaki-maki Mbak. Katanya Mbak itu anak durhaka, bisa-bisanya ingin mempermalukan diri Ibu ke para tetangga jika Ibu itu lumpuh. Padahal Mbak sudah menjelaskan panjang lebar dengan baik-baik. Tapi tetap Ibu tidak mau mendengar, malah Mbak diusir dari kamarnya setelah Ibu mengatakan Mbak tidak ada bedanya dengan adiknya yang laki yaitu kamu, Kif! Ibu bilang apa karena kamu sekarang sudah punya pekerjaan yang enak dan rumah mewah. Kamu seenaknya mau memindahkan dari rumah ini ke rumah kamu. Anak seperti apa itu namanya, kurang terima kasih pada orangtuanya!”
Jger! Seperti guntur di siang hari tanpa hujan. Aku yang mendengar ucapan Mbak Qori langsung terpukul oleh ucapannya. Ia menyampaikan apa yang dikatakan Ibu di dalam kamar untuk ‘negoisasi’ agar Ibu bisa memakai kursi roda pada kami yang masih di ruang tamu. Hingga semua mata mengarah padaku seperti terdakwa di meja hijau. Terutama Mbak Zulaika yang lebih pro pada Ibu. Memang ia lebih dekat dengan Ibu. Ia selalu membela Ibu meskipun aku dan dua kakakku yang lain menganggap ibu melakukan kesalahan. Seperti saat ini, saat Mbak Qori menyebutkan namaku perihal Ibu mengatakan aku sebagai anak yang tidak tahu berterima kasih. Mata Mbak Zulaika mendelik ke arahku. Seperti ingin melakukan sesuatu padaku. Ngeri.
“Kamu mengatakan apa pada Ibu, Kif? Sampai-sampai ia mengatakan hal seperti itu!”
Benar. Sudah kuduga. Akhirnya Mbak Zulaika buka suara. Ia ‘mengintimidasi’ aku perihal Ibu mengatakan seperti yang dikatakan Mbak Oori.
“Aku hanya mengatakan Ibu mau tidak tinggal di rumah kami. Apalagi di rumah hanya tinggal aku sama Hani dan dua khadimat serta satu tukang kebun Hitung-hitung menemani Hani karena kami belum diberi anugerahi anak. Apakah aku salah mengatakan hal itu pada Ibu?” ujarku pada Mbak Zulaika menjelaskan semuanya. “Kalau Mbak tidak percaya tanya saja Hani yang saat itu bersamaku saat mengutarakan maksudku pada Ibu.”
Kuarahkan ekor mataku ke arah Hani, istriku yang sudah satu atap bersamaku selama ini, Ia hanya bisa tersenyum pada Mbak Zulaika. Ia tidak banyak kata. Karena ia tahu posisinya saat itu kami sedang rembuk keluarga besar kami. Ia hanya tersenyum sebagai tanda mengiyakan apa yang kukatakan agar Mbak Zulaika mengetahuinya.
Seusai aku menjelaskan semua kronologisnya tetiba ruang tamu membeku. Senyap. Kami diliputi dalam berbagai pikiran dan jalan apa lagi yang kami lakukan agar Ibu bisa memakai kursi roda saat nanti kami belikan. Tapi tetap tidak ada titik temu atau jalan keluar agar Ibu bisa menggunakan kursi roda.
Lama. Kami di ruang tamu saling mencari jalan keluar tidak terasa di luar sana, sinar kemerahan sudah menampaki di kaki langit. Senja sudah tiba dan tidak lama lagi malam akan membujurkan selimut gelapnya. Akhirnya kami pun menyudahi pertemuan itu. Tidak lagi membahas kursi roda untuk Ibu.
***
Seminggu kemudian setelah kejadian, kami berunding di rumah Ibu membicarakan kursi roda. Tetiba kami mendapatkan kabar dari balik ponsel Narti. Narti mengabari kami. Menurutnya Ibu kami sudah beberapa hari mogok makan. Makanan yang diberikan tidak ada yang disentuh. Hanya air saja yang ia minum. Tentu saja khadimat kami yang hanya lulusan SD itu khawatir dan kalang kabut. Ia takut Ibu kami terjadi apa-apa.
“Iya, Pak, sudah dua atau tiga hari ini Ibu sudah tidak mau makan. Setiap kali saya mau suapi ia selalu menolak bahkan mengumpat pada saya. Kalau saya dianggap bersekutu sama anak-anaknya agar Ibu mau memakai kursi roda. Saya dibilang begitu jadi serba salah. Walaupun saya tidak sama sekali ingin ikut campur urusan keluarga besar Bapak!”
Usai aku mendengar semua penjelasan Narti aku lebih dulu menghubungi kakak-kakak perempuanku. Hanya pada Mbak Balqis saja aku menjemputnya seusai pekerjaan kantor. Karena kantorku dan Mbak Balqis tidaklah jauh jaraknya.
“Mbak Balqis, aku jemput Mbak, ya. Kita duluan ke rumah Ibu. Mumpung aku pulang cepat jadi bisa jemput Mbak.”
“Iya, tidak apa-apa, Kif. Mbak tunggu ya di lobi kantor.”
Seusai aku bicara pada Mbak Balqis kusiap-siap untuk menuju parkiran kantor lalu menuju kantor Mbak Balqis.
Ya, Mbak Balqis adalah kakak perempuan kami yang kedua. Tapi hanya ia yang dekat denganku. Ia sama seperti Hani. Tidak banyak bicara. Namun bisa menjadi jalan penengah buat kami. Terkadang juga sebagai tamengku saat aku tersudut oleh Mbak Zulaika jika ada kekeliruan dalam hal sikapku yang cuek dan masa bodo. Terlebih jika Mbak Zulaika sudah bicara tentang kesuburan Hani. Aku lantas meninggalkannya ketimbang harus mendengarkan ocehan kakakku itu. Walaupun Hani sempat menegurku. Menurutnya aku tidak baik meninggalkan begitu saja saat seorang kakak menasehati rumah tangga adiknya. Ia bukan ikut campur tapi ingin memberikan yang terbaik untuk rumah tangga adiknya. Aku yang dapat pencerahan dari Hani seperti itu hanya mengiyakan saja. Karena aku tahu sekali siapa kakak perempuanku satu itu. Kalau sudah bicara tidak akan berhenti.
Tidak lama kemudian kami pun tiba di rumah Ibu. Lebih tepatnya aku yang lebih dulu sampai dengan Mbak Balqis yang sudah di kamar Ibu. Setelah itu baru menyusul Mbak Qori dan Mbak Zulaika. Bukan itu saja. Narti pun ikut serta di dalamnya. Itu pun karena diperintahkan Ibu untuk menemaninya.
“Ibu kok begitu. Tidak mau makan. Kan nanti yang susah kita-kita juga sebagai anak Ibu,” setiba di dalam kamar Mbak Zulaika langsung berkata sambil memeluk Ibu.
“Ibu memang tidak kasihan sama kami. Jika ibu mogok makan nanti yang repot bukan Narti saja tapi kami juga, Bu,” akhirnya ditimpali oleh Mbak Qori dengan duduk di samping Ibu.
Aku dan Mbak Balqis hanya bisa melihat pemandangan yang mengharukan itu. Kami berdua hanya berdiri begitupun dengan Narti. Hanya sebagai ‘saksi’ antara seorang anak dengan ibunya yang sedang dalam diliputi keharuan.
“Siapa bilang Ibu mogok makan!” akhirnya Ibu buka suara. “Ibu tidak mogok makan kok. Seperti biasa Ibu baik-baik saja! Lihat sendirikan Ibu tidak apa-apa?!”
Kami yang saat itu ada di dalam kamar Ibu pun langsung terkejut. Kami terheran-heran saat Ibu berkata demikian. Kami yang mendengarnya pun bertanya-tanya. Hingga kami saling adu pandang.
Kami semua pun dibuat bingung oleh perilaku Ibu sambil mata kami langsung mengarah ke Narti yang tetiba menundukkan kepala. Pikiran kami saat itu pun langsung geram dengan perbuatan khadimat Ibu satu itu. Bisa-bisanya mengerjai kami.
“Kalian jangan menyalahkan Narti! Dia tidak salah apa-apa. Dia tangan dan kaki Ibu. Jadi apa pun yang dilakukannya itu atas perintah Ibu. Walaupun sebenarnya ia menolak melakukan hal ini. Tapi demi melihat Ibu bahagia untuk bisa melihat anak-anaknya kembali karena rasa rindu seorang Ibu pada anak-anaknya, ia mau melakukannya,” dari mulut tua Ibu akhirnya terlontarlah ucapan yang tidak kami duga sebelumnya. “Oya, satu hal yang kalian harus ketahui perkara soal kursi roda. Bila Ibu butuh sudah dari dulu Ibu bisa beli. Tak perlu kalian sampai merundingkan segala. Aku tidak perlu itu semua melainkan kehadiran kalian yang saat ini Ibu inginkan. Itu yang harus kalian ketahui! Namun hati kalian pada mati. Kepekaan kalian sudah kering karena disibukkan oleh pekerjaan dan direpotkan oleh urusan rumahtangga kalian masing-masing.”
Setelah Ibu mengutarakan semuanya baik dari segala tujuan dan maksud membuat sandiwara mogok makan. Ibu ternyata merindukan kehadiran anak-anaknya untuk bisa berkumpul kembali. Apalagi setelah kematian Ayah kami rumah Ibu tampak muram. Kami saat itu pun hanya terdiam. Sebisu dinding-dinding rumah Ibu. Kami tidak bisa dapat berkata-kata lagi. Kami seperti dihantam godam.
Saat itu aku pun melihat Narti matanya berkaca-kaca melihat kami; anak-anak dari Nyonya Rosa. Nama dari Ibu kami yang sedang saling berpelukan sambil meminta maaf pada ibunya karena sudah lalai, melupakan apa yang diinginkannya.
Narti saat itu hanya tergugu. Ia terharu melihat kami sudah kembali menyadari apa yang diinginkan Ibu kami selama ini. Ternyata Ibu tidak ingin kursi roda melainkan harapan akan hadirnya kami di tengah-tengah dirinya.
Kini kursi roda yang akhirnya sudah kami belikan teronggok tidak berguna di pojok kamar Ibu. Kami berempat sepakat membelinya untuk Ibu sebagai rasa sayang kami kepadanya. Tapi kami keliru menilai itu semua. Ibu ternyata tidak ingin kursi roda. Maafkan kami Ibu untuk semua kekeliruan itu.
Keterangan:
Khadimat = Pembantu