Kisah-Kisah yang Mengintimidasi

Judul Buku   : Cursed Bunny
Penulis      : Bora Chung
Alih Bahasa  : Deaz Putri
Penerbit     : Haru
Cetakan      : September 2022
Tebal Buku   : 396 halaman 
ISBN         : 978-623-5467-02-3

‘Horor’ adalah kata yang pas disematkan pada isu-isu yang diangkat dalam kumpulan cerpen Cursed Bunny karya penulis Korea Selatan, Bora Chung. Di sini, ‘horor’ tak melulu berelasi dengan kehadiran hantu. Ia juga berhubungan dengan segala kengerian dan ketakutan, di antaranya, yaitu watak serakah manusia.

Cerpen “Kelinci Terkutuk”, misalnya, menyambut kita untuk masuk ke dalam cerita kehancuran sebuah keluarga kaya raya. Kisah lampu berbentuk kelinci ini membawa pembaca untuk turut merasakan petaka keluarga direktur besar pemilik perusahaan arak ternama yang tengah menikmati masa kejayaannya setelah berhasil menjatuhkan sebuah korporasi miras lainnya. Kutukan yang menjalari keluarga tersebut disebabkan sifat tamak sang direktur yang sudah mencelakai seseorang yang begitu berarti bagi seorang kakek tua.

Tragedi tersebut diawali oleh seorang kepala keluarga serakah ketika menyebarkan rumor bahwa arak buatan perusahaan teman kakek menggunakan campuran alkohol teknis yang tidak layak dikonsumsi. Sang direktur juga memfitnah bahwa minuman tersebut dapat menyebabkan kebutaan, kecacatan, bahkan kematian. Akibatnya, perusahaan teman kakek terus merosot, bangkrut, dan keluarganya berantakan. Kakek yang menciptakan lampu kelinci terkutuk itu ingin membalas dendam dengan mengirmkan boneka kelinci putih.

Meski berbahan keras, sosok kelinci itu terasa lembut. Di balik tampilannya yang anggun, replika makhluk imut tersebut perlahan-lahan membawa kegilaan pada sasaran. Pertama, efek sihirnya mengubah drastis kesehatan cucu sang direktur yang berujung maut. Benda teluh itu juga membunuh ayah si anak. Lelaki kuat tersebut tiba-tiba mengalami kerapuhan tulang. Kemalangan-kemalangan nasib merangkak perlahan-lahan, menghancurkan kedigdayaan ekonomi keluarga tersebut.

Selain “Kelinci Terkutuk”, pembaca juga akan bertemu dengan kisah loba yang tak kalah menegakkan bulu roma. Cerpen itu berjudul “Perangkap”. Cerita ini bermula dari seorang lelaki yang mendaki gunung. Ia berjumpa dengan seekor rubah yang berusaha melepaskan diri dari alat perangkap. Bukannya menolong, lelaki itu malah ingin menjagal si rubah. Ia berencana menjual kulit rubah yang pada saat itu berharga sangat mahal. Ia dekati si rubah, tetapi mendadak hewan tersebut mengangkat kepala dan berbicara layaknya manusia. Rubah itu tidak mengucurkan darah, tetapi cairan emas. Si lelaki buru-buru mengumpulkan emas di sekitar rubah. Ia urung membunuh binatang malang tersebut dan membawanya pulang lengkap dengan perangkapnya.

Bertahun-tahun, lelaki miskin itu membangun kekayaan di atas penderitaan sang rubah. Hewan tersebut mati di tahun ketiga pernikahan si lelaki. Apa yang telah dilakukannya kepada rubah pada akhirnya menuntut tumbal keluarga sebagaimana cerpen “Kelinci Terkutuk”. Hukum karma itu melenyapkan nyaris seluruh anggota keluarganya. Baik “Kelinci Terkutuk” maupun “Perangkap” menyiratkan sebuah bahaya praktik pesugihan. Tak ada makan siang gratis.

Di samping itu, kedua cerpen tersebut juga menampakkan sebuah paradoks keluarga. Di satu sisi, keluarga kerap menampilkan sisi heroiknya sebagai sebuah unit yang rela melakukan apa pun demi kesintasan anggota-anggotanya. Di sisi lain, kelangsungan hidup yang diupayakan tersebut seringkali dijalankan dengan cara-cara kotor. Jalan gelap itu pada akhirnya harus ditukar dengan rasa sesal atas kehilangan keluarga yang dianggap berharga melebihi apa pun. Kedua cerpen ini memotret kenyataan yang jamak terjadi dalam realisme sosial manusia.

Adapun cerpen pertama Cursed Bunny, “Si Kepala”, menyedot perhatian kita lantaran keganjilannya. Kisah realisme magis ini menarasikan kemunculan mendadak sebutir kepala dari lubang kloset. Makhluk mengerikan tersebut meneror tokoh utamanya, seorang perempuan, ke mana pun ia pergi, bahkan saat pindah rumah.

Kisah ini diawali kemunculan si kepala dari liang kloset sehingga mengejutkan perempuan itu. Kepala tersebut berkata bahwa ia adalah anaknya. Ia bertahan hidup dalam kegelapan kloset dan dianggap mengintimidasi aktivitas sehari-hari si perempuan. Ia terlahir dari seluruh kotoran yang dibuang perempuan itu ke dalam lubang jamban dan bertahan di dalamnya. Hingga suatu saat, si kepala mulai memiliki tubuh sempurna dan menuntut keadilan kepada perempuan itu. Ia akan menggantikan peran orang yang dianggap telah melahirkannya tersebut.

Cerpen “Si Kepala” menggaungkan suara antinatalisme, kritik kaum childfree terhadap institusi keluarga yang melestarikan tradisi reproduksi tanpa mempertimbangkan nasib seorang anak. Kisah ini adalah kecaman atas pengabaian keluarga (orang tua) atas hak-hak hidup anak. Kritik tersebut diwujudkan oleh koda cerita di mana perempuan itu digelontorkan ke dalam kloset oleh si kepala yang telah malih rupa menjadi gadis cantik. Si anak jamban ini pada akhirnya harus menuntut dendam atas perlakuan sang ibu kepada dirinya. Cerpen ini hendak menunjukkan bahwa label ‘durhaka’ mestinya tidak cuma dilekatkan pada manusia dalam posisinya sebagai seorang anak. Namun, kedurjanaan itu juga sangat mungkin dimiliki oleh seorang ibu yang notabene selama ini dikenal sebagai figur pemegang kunci surga.

Nuansa gelap, muram, dan melangut menggelayuti tujuh cerpen Cursed Bunny lainnya. Kisah-kisah tersebut membentangkan rasa kesepian dan representasi atas suara ketidakadilan yang diteriakkan manusia-manusia marginal. Bahkan, sebuah cerpen melampaui isu keadilan dengan menghadirkan ketimpangan sama-rasa-sama-rata antara manusia dengan android. Kisah pengkhianatan makhluk kecerdasan artifisial ini dimotivasi oleh kecacatan moral manusia. Kejahatan, kita tahu, seringkali terjadi lantaran air susu yang dibalas dengan air tuba.

Cursed Bunny akan mengintimidasi mental pembaca melalui sensasi ngeri yang dihadirkannya. Setiap kisah dapat menghanyutkan pembaca untuk terus berenang mengikuti arus cerita hingga titik akhir. Keunikan cerpen-cerpen dalam buku ini bersumber dari kreativitas pengarangnya dalam merangkai ragam gagasan dengan nuansa teror yang mencekam.

Horor dalam kumpulan cerpen ini juga maujud dalam rupa makhluk-makhluk aneh yang mungkin akan membuat pembaca jijik dan mual. Makhluk-makhluk ini mewakili realitas suram hidup manusia. Makhluk-makhluk tersebut hidup dalam kejadian-kejadian janggal. Kegariban ini tidak hanya akan memaksa kita untuk membayangkannya, tetapi mendesak kita untuk merenungkan, bagaimana jika momen-momen kaotik itu benar-benar terjadi.

Sementara itu, alusi-alusi masa lalu, kini, dan masa depan dalam sepuluh cerpen Cursed Bunny akhirnya mewedarkan sejarah kelam dan jagat distopik yang bisa saja akan hinggap dalam hidup manusia. Karya anggitan Bora Chung tersebut merupakan khazanah bunga rampai cerpen yang sayang jika dilewatkan para penggemar buku-buku fiksi. Sebagai karya sastra, cerpen-cerpen dalam buku yang berhasil tembus shortlist The 2022 International Book Prize ini memang dituturkan dengan gaya lugas, nyaris tanpa gaya. Namun, kekurangsastrawian kisah-kisah itu ditutupi berbagai ide gila dan autentik penulisnya.




Bagikan:

Penulis →

Wardedy Rosi

Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Madura. Saat ini tinggal di Pamekasan dan bergiat di Sivitas Kotheka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *