Nokturno

Selimut

Kami hanyalah penjaga. Penjaga yang Tuhan takdirkan melindungi Tuan dari runcingnya angin serta genitnya serangga. Penjaga yang tak pernah tahu baik-buruk yang kami jaga. Penjaga yang tak menuntut segelas kopi apalagi uang belanja. Sepanjang malam kami pastikan kami terus terjaga, meski Tuan belum benar-benar terlelap. Kadang sering juga kami bertanya mengapa Tuan yang mulia lagi bijak berkata-kata suka berlindung di tubuh kami? Tapi kami hanyalah penjaga. Penjaga yang kapan saja bisa dibuang atau hilang dicuri penjaga lain yang tak pernah tahu makna menjaga.

Jakarta, 2019



Jembatan

Ia adalah kekasih yang diam-diam jatuh cinta kepadamu. Yang selalu tabah menunggumu melewati tubuhnya. Ia adalah pemuja rahasiamu yang selalu deg-degan bila derap sepatumu tak juga terdengar dari kejauhan. Ia adalah tali jantungmu yang diam-diam memayungi siang dan malam sepimu. Yang selalu berdoa agar kau tak telat sampai ke stasiun kereta.

Disimpannya rapat-rapat perasaannya, agar lancarlah jalanmu, lajulah langkahmu menuju ke mana senang hatimu. Hingga pada suatu hari nanti kau pun…

Percayalah ia tak akan pernah berubah sebagaimana di hari pertama ia melihatmu tergesa-gesa melewati tubuhnya yang baru saja basah oleh tangisan langit. Sebab baginya mencintaimu adalah takdir tersohornya.

Surabaya, 2019




Kepayang

Kami semata-mata okta sebaya. Tanpa terompah tetapi bersepeda. Tanpa peta—keras hati belaka. Seraya lidah yang tak pernah mencecap apa itu roti pipih berlumur saus tomat dan keju mozzarella serta beragam daging. Kami tumpahkan seluruh isi di dalam kantong agar tak serong kelak bibir kami bercerita si roti pipih. Agar tak risau tidur kami malam ini. Namun si penjaga toko bertubuh pohon sebelah mata saja memandang lusuh tubuh kami lidi. Tak percaya orang berdelapan ini mampu taklukan deretan angka di papan nama; di daftar harga. Tapi langit sungguh beriba hati, hingga si penjaga toko bertubuh pohon itu dapat perintah tinggalkan kami. Maka lapang-lempang jalan kami semata, mengantre pizza perdana mendarat di lidah kami nan sahih kepayang.

Surabaya, 2019




Jarak

Aku sudah sampai di bibirmu tapi tak kutemukan kau di sana. O katakan! Berapakah sesungguhnya jarak bibirmu-bibirku jika mata kupejamkan?

Jakarta, 2020


Bagikan:

Penulis →

Ilham Wahyudi

Lahir di Medan, Sumatera Utara, 22 November 1983. Beberapa puisinya telah terbit di media massa. Pernah bergabung dengan D’Lick Teater di Taman Budaya Sumatera Utara. Beberapa puisinya telah dimuat surat kabar dan antologi. Sedang mengupayakan terbitnya buku puisi yang berjudul “Pengrajin Kata”. Saat ini menetap di Jakarta sebagai seorang kurir catering DapurIBU.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *