MENGEMAS buku adalah penting. Seperti itulah saya belajar dari seorang sastrawan saat mengumpulkan kumpulan cerpennya, Seno Gumira Ajidarma. Tematik. Lorong imaji yang membangun pembaca. Penghargaan terhadap ruang dan waktu. Penyelaman terhadap biografi. Juga penggalian sebuah lokasi tak hanya dalam peta, Wikimapia, Googling. Ada kultural, sosial, lingkungan dan kehidupan, di suatu ruang dan masa yang berbeda.
Martin Aleida pernah mengatakan tentang sejarah yang penting dan berguna bagi seorang penulis. Termasuk penyair. Tak perlu menggali lebih jauh maksud Martin, jendela panjang seorang sastrawan termasuk penyair sangatlah penting. Jendela yang bukan seperti jendela pandang seorang sejarahwan atau jurnalis yang mengolah data dan fakta, cara pandang dan cara meramu sastrawan atau penyair bukan hanya meneruskan elemen itu.
Dalam definisi, author atau pengarang mengolah sesuatu yang baru atau mereproduksi dari olahan lama.
Ini zaman digital. Ceklah Rawa Subur. Hanya sepotong informasinya di antara tumpukan data tentang Bandar Lampung. Tapi Rawa Subur di buku puisi seorang Isbedy Stiawan ZS bukan lagi peta lokasi. Sudah ruang dan waktu. Lokus dan tempus. Tapi juga sebuah peradaban. Sebuah kitab hidup. Perjalanan seorang Isbedy, ummi dan bapaknya juga orang-orang di sekitarnya hadir di sana.
Saya salut pada cara Isbedy mengantar masuk ke alam puisinya. Cara mengemas. Barangkali kalau puisi itu diletakkan sepotong-sepotong saja, tak akan membentuk sebuah horison. Setangkup cakrawala. Isbedy memang kerap menebarkan sepotong demi sepotong puisinya. Di rubrik puisi koran. Di website. Di media sosial. Di buku kumpulan puisi bersama penyair lain.
Tapi ketika puisi itu bertemu dengan puisi lainnya yang menyimpan berkas ruang dan waktu tentang Rawa Subur. Terlihat betapa puisi pun sanggup membentuk olahan yang lengkap. Selengkap atau bahkan lebih lengkap dari novel atau cerpen.
Dalam pengertian struktur yang formal, cerpen bahkan novel selalu membentuk hamparan yang linier. Utuh. Terjalin dan berkelindan. Setiap anasir imaji yang dikumpulkan lewat kata dan kalimat harus utuh membentuk sebuah lorong alur dan latar.
Puisi adalah jalan menangkap kini dan kenang, ruang dan waktu, gagasan dan peristiwa, yang deformatif. Susunan tak selesai hanya di penyair, di buku puisi ini tapi pembaca kemudian dapat menyusunnya kembali di saat membaca bahkan meletakkan buku puisi ini. Kenangan di pembaca tak lagi berupa jalinan imaji si penyair, urutan kalimat tapi juga antar kata yang terngiang. Pada karya Isbedy, kata itu bukan berupa kata lokal dan dalam bahasa daerah tapi bagaimana diksi dia saling menjalin, memisahkan diri atau berebut dominasi antara satu kata dengan yang lain. Dengan kearifan Isbedy, puisi tak lagi menyorot dirinya.
Dia telah menjadi bagian dari elemen puitik tentang Rawa Subur. Ceceran diksi membentuk puisi. Tapi ceceran diksi juga menambah kisah lain di puisi yang lain. Pembaca mengumpulkan setiap cecer ini dan menyematnya sebagai kumpulan empati dan pengayaan bathin tentang Rawa Subur. Bukan hanya data dan fakta yang bergerak tapi juga mental dan spiritual pembaca tentang Rawa Subur. Sebuah lokasi yang dirindu, disayang tapi juga sesuatu yang dibenci dan sesuatu yang traumatis di dalamnya.
Saya yakin juga, kalau puisi ini hampir seluruhnya tak bertendensi disebarkan ke media – sebagaimana banyaknya puisi yang pernah dibuat oleh penyair produktif ini.
Di kumpulan ini, dia banyak berfokus pada tanah Rawa Subur dan kisah muasal dirinya semata. Laku spiritual dan laku transenden terhadap orangtua, keluarga, mula penciptaan dirinya sebagai manusia, kenangan masa kanak bersama saudara dan kawannya, juga pengalaman bathiniah dan rohaniah di masa silam.
Di tempat ini, Isbedy memegang wasiat untuk bertualang:
aku mau pulang ke rawa subur tanah kelahiran di sana dibesarkan ibu memeluk ayah menuntun di kepalaku tumbuh kotakota. ayah mengisahkan 4 | Ketika Aku Pulang dari korankoran kalau kelak aku benarbenar tualang tangan ayah menunjuk
jika kelak benarbenar aku terbang ke kota lain ibu yang memberi sayap
(Pulang, halaman 3 dan 4)
Di rumah Rawa Subur, Isbedy merasakan cinta keluarga:
alangkah sempit rumah ini, ayah hanya bisa membangun dua kamar bagi delapan anak satu kamar milik ibu dan ayah
(Halaman 11)
Di tempat ini, Isbedy mengenal cinta kepada perempuan:
sebagai anak pinggir rel rawa subur yang penuh kenangan. bagaimana bisa kuhapus segala ingatan – semasa kecil dan remaja – bahkan di sini pula pertama kucium gadis tetangga di warung kecil yang tutup sewaktu malam. gadis itu minta tambah, aku pun gairah…
(Andai Aku Pulang, Adakah Masa Lalu, halaman 2)
Di lokasi ini, Isbedy mengenal lelaki dan pergaulan:
di nisannisan pemakaman (kebon jahe), kami bergelut dengan kartu domino atau remi. bertaruh uang jajan sampai ada perkelahian ada darah ada yang cuma memar merah
(Halaman 7)
simpan di hatimu alamat rumah dan ingat selalu jalan pulang, pesan ibu ketika aku resmi menyunting dara, agar tak salah memilih jalan kembali ke pangkuan ibu
jika ibu dan ayahmu sudah tiada tetaplah pulang ke rumah, ujar ibu di lain hari, biarpun kelak ini rumah ditunggu adik atau kakak tetap persinggahan terakhir. kecuali sudah punya singgah yang lain. “di mana pun kau dimakamkan, Tuhan akan menjaga.”
(Halaman 15)
aku tak ‘kan lupa setiap ke masjid bayangan ayah berada di sisi kanan merapat dinding baris pertama. tak pindah dari sana; di bawah jendela. angin masuk angin pergi. sesekali ayah menengok keluar mungkin melihatku yang datang atau ingkar berjamaah
(Halaman 47)
Rawa Subur bukan sekedar nama dan peta. Rawa Subur adalah kenangan pada ibunda dan ayah si penyair. Tempat ini tak dapat dibaca secara fisik, jarak yang lokasinya tentu tak jauh dari posisi si penyair sekarang. Di Rawa Subur, ada perenungan dan laku spiritual.
Bagaimana kenangan si ayah pada si penyair tentang bangau yang kelak kembali ke pelimbahannya. Dari tanah dan air Rawa Subur, terjalin cinta Ayah dan Ibunda, tercipta darah dan daging. Tertanam ketuban dan ari-ari.
Kesadaran seorang bermula, di sanalah yang ingin diungkapkan Isbedy:
setinggitinggi aku terbang rawa subur tetap terbayang biarpun ke dasar aku menyelam rawa subur tak akan hilang rawa subur adalah mula kata di sana aku akhiri ucap dengan apa kulupakannya bahkan pada maut kubawa kelak aku pulang
(Halaman 9)
Dari tanah dan air Rawa Suburlah dia terbentuk bersama ketuban dan ari-ari seorang Isbedy:
sebab rawa subur menanam ariariku bagaimana kau paksa aku melupakan? sebab ketika aku pulang segala masa silam telah menjadi pakaianku
(Halaman 52)
Kisah cinta ayah dan ibundanya, juga kelahirannya juga dituliskan di antara puisi-puisi ini:
sejak kutinggalkan rawa subur ingin juga kulupakan di mana kubur ariariku. ayah yang menanam, ayah kini sudah pula dimakamkan (di pemakaman umum kebon jahe) yang dibatasai tembok rel kereta api bersama ibu di sisinya, seperti selalu tak mau berpisah. cinta abadi
sepasang manusia dari suku berbeda disatukan di kursi pelaminan, mahligai bagi ayah dan ibu
(Halaman 21)
rawa subur kini berubah wajah mungkin padaku pun lupa “aku isbedy bin zakirin, anak nakal di pinggir rel kereta jika malam berkumpul jika pulang membawa masalah.”
aku isbedy kini kembali “istirahkan aku…”
(Halaman 26)
Isbedy dengan usianya telah terlalu lincah, piknik dan ngopi di semua tempat. Dari cairan dan hisapan asap pergaulan, kembara dan rantau, menjejak tanah suci dan Eropa, dia kembali. Rawa Subur adalah puisi asal-muasal. Dia bukan sekedar ruang dan waktu. Dia adalah kenang, rumah dan pulang. Lahir, muda membara, renung dan menuju tiada.
ayah, kalau waktuku harus pulang akan kubasuh kakimu dengan kedua tanganku ini. akan kunyanyikan di depanmu dari musik yang kuketuk dari abjadabjad mesin ketik tua
“ingin kubacakan beritaberita di koran, dulu kau bawakan untuk kusimak.kau akan tenang di Sana, kau akan bahagia menyaksikan anak berandalmu kini: sudah isyrak ke eropa dan masjidil haram.”
aamiin…
(Halaman 54)
Ada kelahiran dan ada kepergian, ada awalan dan akhiran, ada pangkal pun ada ujung, demikian Isbedy sesungguhnya membaca awal hidupnya untuk mengeja akhirnya kelak:
saatnya aku harus pulang. ketika itu, langit warnawarni, taman menguar wangi kesturi, jalan lengang hanya pujian — entah siapa yang mentadaruskan — seekor kupukupu menari di atas kepalaku. ingin menutupi tubuhku dari sengat matahari
kakiku berterompah. aku melangkah di atas tanah yang membara. bumi bergurun, debu pasir menghadang pandanganku
tapi, aku tak silau menuju-Mu
(Halaman 55)
Sesungguhnya, buku puisi ini, yang bertajuk Ketika Aku Pulang, adalah tak hanya membaca awal dan rantau secara fisik, tapi awal kelahiran, secara spiritual, keberadaannya oleh Sang Pencipta, Sang Khalik, Ilahiah, adalah berbanding lurus dengan kepulangan. Dia tak membacanya dengan kepergian.
Rawa Subur adalah analogi, adalah metafora, adalah semiotik Isbedy untuk kembali ke tempat asali, keabadian sebelum kelahiran, keabadian juga setelah kematian. Dia siap menyerahkan hidupnya, kepada Pemiik Hidup, Tuhan yang Esa dan Kuasa, yang pernah menciptakannya dan kembali akan memeluknya. Rawa Subur adalah peta miniatur untuk membaca kehidupan dan “yang ada” untuk semesta yang lebih abadi, sakral dan Ilahiah.
Teringat pada percakapan saya dengan penyair saluang Irmansyah. Kami membicarakan prosa liris Pengakuan Pariyem-nya Linus Suryadi. Saya menambahkan Sumo Bawuk-nya Agus Sunyoto. Kami merenung. Tentang narasi di dalam prosa liris. Narasi di dalam puisi. Satu hal yang penting, karena puisi, meski bernarasi, agar kuat, tentulah pemiliknya harus seorang pendekar. Pendekar puisi. Harus kokoh juga di dalam diksi. Puisinya tetap harus berbunyi.
Begitu pun ketika seorang Mardi Luhung membuat buku tentang bahari. Dia seorang penyair berlatar lokasi Gresik. Kalau kita ke sana, nampaklah segala hampar pandang laut. Demikianlah kita mendapat narasi dan kosakata laut dalam buku puisinya itu.
Isbedy, nyaris sama. Tapi kalau jeli, dia mengakui bahwa dia adalah seorang yang lahir di tengah asimilasi kebudayaan. Di masyarakat yang juga sangat plural. Isbedy menyadari hal itu. Dia tak menggempur puisinya dengan kosakata lokal. Tak menggunakan bahasa daerah Lampung. Dia membentuk lokasinya sendiri dengan kata-kata yang semuanya hampir kita kenal dan mampu terjemahkan. Dia hanya memakai senjata urutan kata, pilihan diksi, bunyi, tipologi. Dengan elemen puitiknya untuk membangun Rawa Subur.
Isbedy adalah guru tersembunyi di balik komunitas di Lampung. Beberapa penyair memang menjadi guru, penyair yang berpengaruh dan memotivasi penyair muda di wilayahnya. Baik, untuk gairah sastra. Buruk, apabila pengaruh dan gaya sang guru membuat karya para penyair muda itu jadi tak beragam. Pantas bila dia disebut Paus Sastra Lampung. Dia memang produktif. Hampir di setiap kumpulan puisi, selalu hadir seorang Isbedy. Dia juga seorang yang bahkan sudah berkarya sebelum Mimbar Penyair Abad 21.
Keberadaan buku ini memperkuat pentingnya mengenal foklore diri. Identitas dan entitas. Seperti penyair segenerasinya, tekun menganyam lokalitas di tengah dinamika global. Sepotong generasi akan selalu istimewa di zaman yang terbuka dan desentralistik ini. Membaca yang tersirat di balik yang tersurat. Menelusuri kedalaman ketimbang kemasan. Lebih detil dan subtil dalam menggali makna hidup. Menggali tak hanya kata tapi juga makna.
Kampung Kelapa, Citayam, 2023