Wangi Jejak Langkah



Hikayat Sunan Kudus

/i/
salam takzim, sunan

kota tajug ada di sisi utara kami
dari bumi wangi kutulis jejak langkah sendiri
memahami peta darahmu yang mengalir deras
di tubuh-tubuh amir hasan, panembahan palembang,
pamembahan qodli, dan pangeran mekaos monggokusumo

selepas menyantap mie ayam cak mat—di kelokan pertama klenteng hok ling bio
aku meniti tangga menara, memasang telinga dua
agar suara bedug dan azan dari tahun 1549 terdengar lantang:
                        riwayat kanjeng sunan
dari keramik tionghoa, batu-bata hindu-jawa

salam takzim, sunan!
kupeluk doa-doa
lobang hati
seperti ikan-ikan kelaparan diberi umpan

kubaca riwayatmu
dari negeri hadrami hingga champa, ngampel denta, tajug—juga riwayat muasal te ling sing dan cheng
ho— lasem, dan tuban

/ii/
pangandeI ingsun saking
sih nugrahaning Allah ta’ala, kang andadeken alam weruh
tuwin ta dening kawibuhan sipat hayyun, urip Ian saking sih
nugrahaning Allah

begitulah pitutur sunan
hidup dari ruang ke ruang
zaman ke zaman

di tanah pancawati, suara ilahi bagai tungku mencium sumbu
tak perlu sayat pedang
panah telah menusuk halus iman orang-orang

tetapi, sunan
menziarahi riwayatmu adalah duka
bagi diriku yang gagap dan kelu
meskipun tanah kuburuan
tak sepi doa dan kenanga
tapi lihatlah betapa sulit pijar lampu menyala di antara tembok-tembok kota?

tetapi, sunan
kerinduan itu begitu deras mengalir
hingga tak
ada doa-doa
lalu diam:
menerjemahkan pulang tanpa perjalanan

Kudus, 5 April 2023




Hikayat Para Sunan

Raja-Raja Timur tiba di Jawa
Di Pesisir Utara
Kesiur laut
Bayang-bayang langit
lapang membelah
suara-suara purba
Dari Champa
Menuju Ngampel Denta

Nur Muhammad, pancaran air susu
Memasuki lorong kewahidan Tuhan
Sempurnakan, wahai Sunan!
al-Aqso telah semerbak bunga kenanga
Pimpinlah pencarian ke al-Jannah
Sayogyanga kita lebur di sana

Kudus, 4 April 2023




Kepada Ummi (2)

I
seumpama sebuah lagu, getar
jantung ini mengalir
dihimpit not dan larik-larik klasik

dalam bunyi, aku hanya bocah
mencari mainan dari dadamu
—yang gemuruh ombak dengan perahuperahu—
kecuali diam, aku lupa
bagaimana ia mencipta makna

kepada dua telinga, nyanyi tulus
hanya
seribu kaki bagi nasib sendiri
dan dada
sisakan ruang lapang bagi ampas ciuman

diriku kini
separuh, tapi
separuhnya lagi menjelma puisi

II
pohon jati dalam diri tumbang
daun-daun gugur
cinta adalah air, membakar akar
menebas daun-daun

nyaris kupeluk sendiri tubuh ini
tapi ibu bumi membaringkan permadani
dan kujumpai pohon sajak lahir: firman
tuhan, seruan
tak sengaja ditiupkan

Kudus, 5 April 2023




Belajar Mencintai Nasib
            : untuk Kifti

Air kata, air mata
& deras keringat:
Seekor anjing belajar diam dari longlongan
panjang—denyut kota rantauan

Tetapi, Sayang, tak ada yang lebih baik dari mencintai nasib:
                        Bayang-bayang yang terbit dari rasa pulang

Mula-mula ia bekerja seperti prasangka
Lalu bergerak ritmis seperti nyala jiwa
yang gampang masuk angin

Maka lihat beton-beton sepanjang Sudirman
Kota seperti semangkuk mi instan
Seorang anak kecil
Memainkan dunia dari tangannya
Di luar lapang dada nasib menjelma serigala

Kudus, 13 April 2023





Bagikan:

Penulis →

Muhammad Faizul Kamal

Penulis tinggal di Yogyakarta. Kelahiran Kudus, Jawa Tengah. Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga. Tulisan-tulisannya tersiar di berbagai media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *