Melihat Dunia Sebagai Orang Asing

Judul Buku   : Tidak Ada New York Hari Ini
Penulis      : M Aan Mansyur
Penerbit     : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan      : Pertama, 2016
Tebal Buku   : 118 halaman
ISBN         : 978-602-03-2723-5

JAUH sebelum kehadiran Rangga dalam film “Ada Apa Dengan Cinta”, sering tokoh laki-laki di dalam film digambarkan sebagai seorang berandal, anak nakal, tetapi penuh pesona yang maskulin. Tokoh Rangga pada waktu itu cukup revolusioner. Berlatar sendu, lahir dari keluarga bermasalah, dan sifatnya yang pendiam membuat Rangga semula tidak tampak menonjol jika dibandingkan dengan tokoh Roy atau Lupus yang cukup populer waktu itu. Namun, anggapan tersebut berubah ketika Rangga mulai memamerkan kemahirannya: menulis puisi. Pesona tokoh Rangga bukan datang dari fisiknya yang kuat atau sifatnya yang mudah bergaul, melainkan dari aura dingin dan kesepian yang menguar dengan kuat, memaksa orang-orang untuk turut bersimpati dan ikut mendengarkan ceritanya.

Empat belas tahun setelah film pertamanya, tokoh Rangga dan Cinta kembali dengan narasi yang hampir mirip. Salah satu bagian yang paling kuingat dalam film itu adalah waktu Cinta duduk sendirian di rumahnya, lalu membuka secarik kertas pemberian Rangga.

Apa kabar hari ini? Lihat, tanda tanya itu,
jurang antara kebodohan dan keinginanku
memilikimu sekali lagi.

Teringat suara Nicholas Saputra yang dengan lirih membaca lirik-lirik puisi gubahan Aan Mansyur tersebut. Ternyata, bersamaan dengan peluncuran film AADC 2, terbit juga buku yang berisi puisi-puisi Rangga selama dia berkelana di New York.

*

Puisi-puisi yang dihadirkan di dalam buku ini dilengkapi dengan visualisasi dari foto-foto bergaya street photography. Puisinya ditulis oleh M Aan Mansyur, yang tahun ini memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa lewat bukunya Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau. Sementara itu, foto-foto apik di buku diambil oleh Mo Riza yang menekuni street photography di waktu luangnya. Rangkaian puisi dan foto yang ada digambarkan sebagai buah karya Rangga selama ada di New York. Dalam film, Rangga memang diceritakan berpisah dengan Cinta, kekasihnya, karena melanjutkan studi ke Amerika. Rangga yang memang hobi menulis puisi juga bekerja sebagai fotografer di New York. Dengan kombinasi puisi dan foto, aku diajak untuk memahami dunia yang dilihat Rangga selama jauh dari tanah airnya. Dunia yang sering ia gambarkan sepi, asing, dingin, dan jauh dalam bait-bait puisinya.

Menurutku, buku yang isinya penuh dengan “hitam-putih” ini mengangkat satu tema utama, “Mencintai dari jarak jauh” (mirip-mirip LDR-lah) beserta dengan segala konsekuensinya. Rangga yang jauh dari kekasih, lama ditinggal oleh sosok ibu, juga merasakan hidup jauh dari tanah kelahirannya. Semua itu membentuk pribadi Rangga yang jika dilihat dari tulisan-tulisannya menjadi sosok yang suka menyendiri dan suka merenung. Salah satu puisi menggambarkan keterasingan Rangga selama berada di New York.

Tidak ada New York hari ini.
Tidak ada New York kemarin.
Aku sendiri dan tidak berada di sini.
Semua orang adalah orang lain.

Bahasa ibu adalah kamar tidurku.
Kupeluk tubuh sendiri

– halaman 10

Selain itu, beberapa puisi dalam buku ini juga membantah anggapan banyak orang terhadap puisi. Orang-orang beranggapan, bahwa dengan menulis puisi seolah-olah segala masalah akan menjadi mudah, bahkan hidup pun menjadi tenteram. Puisi seolah-olah hadir sebagai juru selamat yang menghapus segala duka lara kehidupan. Akibatnya, orang-orang suka sekali meromantisasi puisi, baik dalam proses penulisan maupun bentuk karyanya sendiri. Namun, di tengah kegalauannya, Rangga malah berujar bahwa “puisi tidak mengubah apa-apa dan tidak menyelamatkan siapa-siapa.” Kerinduan yang dirasakannya sudah terlampau besar, sehingga betapa pun banyaknya puisi yang ditulis, tetap saja dirinya merasa kesepian. Proses menulis puisi hanyalah bagian dari kesepian yang ia jalani, yang anehnya malah menambah kerinduan Rangga karena ketika dia menulis puisi, dia malah ingat akan banyak hal di masa lalunya. Namun, dari puisi itulah Rangga memiliki harapan untuk menjalani hari-harinya.

Puisi tidak menyelamatkan apa pun, namun memberi
keberanian membuka jendela dan pintu pada pagi hari.
Menyeret kakiku menghadapi dunia yang meleleh
di jalan-jalan kota yang tidak berhenti berasap.

– halaman 64

Di luar harapan, tidak ada yang pasti.
Tiada.

– halaman 113

Puisi-puisi karangan Aan menyajikan diksi yang sederhana dan nyata. Kebanyakan pilihan kata pada puisinya bersandar pada realitas yang ada. Mengapa sederhana? Sebab menurutku diksi yang digunakan juga bisa dipahami dalam sekali baca. Metafor yang digunakan juga tidak berlebihan, dan isi puisi juga tetap berfokus pada kerinduan Rangga terhadap kekasihnya. Salah satu contoh puisi yang paling sederhana menurutku ketika Rangga gelagapan ketika ditanya oleh penjaga toko buku tentang kekasihnya. Terdengar picisan memang, namun puisi ini juga menjadi selingan yang pas dari topik-topik kerinduan yang telah menyeret Rangga begitu dalam.

“Apakah kau sedang merindukan seseorang?”
Kasir toko buku itu, perempuan tua, bertanya
ketika aku hendak membayar

Kau tahu, Pablo Neruda menulis 320 pertanyaan
di buku puisi itu. Apakah kau sedang merindukan
seseorang? Pertanyaan itu membuat jumlahnya
bagai hitungan mundur. Setelahnya kubayangkan
ada ledakan.

Aku dan toko buku itu akan hancur

– halaman 108

Aan juga suka sekali bermain-main dengan suku kata. Ia menempatkan kata-kata dengan akhiran/awalan sama sehingga kalimat-kalimat puisinya terasa lancar ketika dibaca. Bentuk bentuk persamaan itu bisa dilihat pada kutipan berikut:

Meriang. Meriang. Aku meriang.
Kau yang panas di kening. Kau yang dingin di kenang.

Hari ini tidak pernah ada. Kemarin tidak nyata.
Aku sendiri dan tidak menulis puisi ini. Semua
kata tubuh mati semata.

– halaman 10

Aku bagai menyelami
sepasang kolam yang dalam dan diam
di kelam wajahmu

– halaman 23

Selain itu, Aan juga suka memvisualisasikan tindakan tokohnya di dalam puisi. Salah satu puisi berjudul Tidak Ada Matahari Senja di Sini menggambarkan keseharian Rangga selama di New York. Pembaca diajak untuk ikut berjalan di jalanan New York yang sepi. Berkunjung di kafe, menonton film bisu, sambil melihat wajah orang-orang yang tidak dikenalinya. Dalam puisi lain, digambarkan Rangga sedang duduk sendiri sambil memandangi langit dari jendela kediamannya. Selama ia menghabiskan kopinya, lagi-lagi ia teringat akan kekasih dan kota halamannya.

Foto-foto yang ada di buku ini juga menarik untuk diulas. Dalam buku setebal 115 halaman, pembaca akan disajikan 31 judul puisi, dan sisanya adalah foto-foto yang diabadikan Rangga. Kalau ada satu objek yang pasti ada di dalam foto-foto itu, maka itu adalah manusia. Banyak sekali manusia yang terekam di dalam buku ini, mulai dari manusia yang berjalan, sedang naik kendaraan umum, duduk-duduk di taman, sampai manusia yang meniup klarinet sendirian di pinggir jalan. Dari sekian banyak foto manusia, sedikit dari mereka yang menghadapkan wajahnya ke kamera. Meskipun memang street photography bertujuan untuk mengabadikan momen-momen candid dari fenomena yang ada, namun bagiku foto tersebut juga bisa diartikan sebagai bentuk keterasingan Rangga yang lain. Orang-orang yang tidak menatap kamera secara tidak langsung mengisyarakatkan kalau mereka tidak mengindahkan Rangga, tidak mempedulikan ia yang mengambil foto mereka. Mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, sibuk dengan dunianya sendiri-sendiri.

Mo Riza juga sering menggunakan teknik negative space yang menempatkan subjek foto lebih kecil dibanding latar atau objek yang mengelilinginya. Beberapa foto menampilkan sosok manusia yang meniup klarinet sendirian di pinggir jalan, seorang pengemis yang duduk sendiri di jalanan kota, atau penumpang kereta yang menatap kosong ke arah jendela kereta. Dengan teknik ini, subjek (manusia) yang difoto seolah-olah menjadi lebih kecil, ditelan oleh objek yang mendapatkan porsi lebih besar pada fotonya. Melihat foto-foto tersebut, semakin menegaskan perasaan kesepian yang dialami oleh rangga yang seolah-olah ditelan oleh ingar-bingar Kota New York dan orang-orangnya.

Beberapa puisi juga mengaitkan peristiwa yang terjadi di dalam film AADC. Beberapa judul puisi seperti: Di Bandara Hari Itu; Ciuman Perpisahan; dan Kemiskinan Bahasa menampilkan kilas balik adegan perpisahan dan ciuman ikonik Rangga dan Cinta pada film pertamanya. Diksi yang digunakan pada puisi Kemiskinan Bahasa juga bisa diartikan sebagai kunjungan singkat Cinta ke New York, yang sempat masuk ke dalam adegan AADC 2 yang ditampilkan lewat foto Cinta di salah satu jembatan New York.

Buku ini cocok untuk dibaca oleh orang yang sedang kasmaran/merindukan kekasihnya atau orang-orang yang sekadar tertarik membaca puisi di waktu luang. Buku ini relevan dibaca meskipun oleh orang yang belum pernah menonton AADC. Lima tahun setelah terbit, Tidak Ada New York Hari Ini sudah diadaptasi ke dalam bahasa Inggris dan memiliki versi lain yang terbit dengan hard cover. Pada bulan Desember tahun lalu, beberapa puisi karya Aan Mansyur ini diadaptasi ke dalam bentuk video ilustrasi yang digarap oleh Miles Films, studio sama yang menggarap AADC. Video garapan Miles ini juga menghadirkan Nicholas Saputra, pemeran Rangga, sebagai pengisi suara puisinya.

Meskipun aku bilang puisi di buku ini tergolong mudah dicerna, namun bagiku membaca buku puisi adalah proses yang tidak pernah selesai. Setelah lima tahun, buku puisi ini tidak pernah kehilangan nyawanya. Berkali-kali aku menamatkan puisi di buku ini, dan berkali-kali juga rasa yang timbul setelahnya berbeda-beda. Pernah ketika selesai membacanya, aku jadi membayangkan wajah seseorang yang jauh di sana. Di lain waktu aku jadi teringat akan wajah ibu, atau aku terbawa oleh topik selain cinta yang ada di buku ini, misalnya soal kesepian, identitas diri, dan lainnya. Sebuah buku puisi memang tidak akan pernah tamat dibaca. Sebab bagaimanapun, ada ribuan Rangga-Rangga lain yang mungkin saat ini, juga sedang duduk menatap jendela sambil merindukan kekasihnya.






Bagikan:

Penulis →

Gianluigi Fahrezi (Ganiki)

Mahasiswa Kesehatan Masyarakat UIN Jakarta. Aktif menulis bersama komunitas Prosatujuh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *