Menjaga Lokalitas dalam Karya Sastra

MANDAR Writer and Culture Forum (MWCF), sebuah forum pertemuan para penulis dan pekerja kreatif di Provinsi Sulawesi Barat, digagas pertama kali tahun 2019. Pandemi Covid-19 menghentikan kegiatan itu untuk masa yang sangat panjang. Lalu, pada awal bulan Juni tahun 2023 ini, para penggagasnya kembali menggelar MWCF sebagai agenda kebudayaan lokal masyarakat Mandar.

Masyarakat Mandar, masyarakat berkebudayaan Melayu memiliki hasil-hasil budaya luar biasa sebagaimana masyarakat Melayu pada umumnya. Salah satunya adalah warisan wastra Mandar, kain tenun berbahan sutra yang disebut oleh masyarakatnya dengan nama lipa saqbe. Kain dengan ornamen berupa garis horizontal yang dipotong garis vertikal, membentuk tanda gambar berupa pagar.

Ornamen berbentuk “pagar” adalah khazanah tradisi yang berakar pada sebagian besar masyarakat Nusantara, yang penampakannya tak ditemukan pada ragam karya seni tradisi seperti wastra, ukiran, rumah adat, dan kerajinan tangan (handy craft). Orang Batak di Provinsi Sumatra Utara, misalnya, memproduksi “pagar” yakni karya sastra tradisional berbentuk mantra yang ditulis pada kulit kayu menggunakan aksara lokal (Batak). Tradisi menulis pada kulit kayu ini menghasilkan apa yang disebut sebagai pustaha.

“Pagar” diproduksi oleh seseorang yang diyakini memiliki kemampuan luar biasa di bidang mistik, seorang paranormal yang disebut “datu”, yang menghasilkan mantra untuk diberikan kepada orang yang membutuhkannya dengan cara ditukarkan dengan barang tertentu atau uang. Mantra berupa “pagar” ini berfungsi menjaga dan melindungi pemiliknya dari segala jenis kejahatan yang dilakukan manusia lain, terutama yang mistik, juga dari gangguan mahluk mitologi yang mendiami daerah-daerah tertentu seperti begu ataupun rakkeso.

“Pagar” yang ditemukan dalam sastra lokal berbahasa Batak, juga ditemukan dalam sastra lokal masyarakat Mandar yang berakar pada pantun Melayu dan disebut kalindaqdaq. Kalindaqdaq berasal dari kata “kali” atau “gali” dan kata “daqdaq” atau “dada”, sehingga dipahami bahwa kalindaqdaq merupakan hasil ekspresi atau luapan perasaan yang digali dari dalam dada.

Kalindaqdaq adalah puisi tradisional Mandar yang berfungsi sebagai medium ekspresi dalam bentuk lisan atau dilisankan sebagaimana karya sastra tradisional pada sebagian besar masyarakat lokal di negeri ini. Sastra bagi masyarakat Mandar bukan sesuatu yang harus disingkirkan, sebagaimana sastra atau puisi membuat Sultan Iskandar Muda menyingkirkan Hamzah Fansuri (1607-1636) setelah menafsirkan syair-syair karya penyair itu menyebarkan ajaran tasawuf yang sesat lagi menyesatkan. Kalindaqdaq yang berbentuk pantun Melayu, ada sebagai ekspresi masyarakat lokal Mandar yang paling berakar tradisi setempat, yang kelahirannya bersamaan dengan kelahiran masyarakat Mandar itu sendiri.

Sastra bagi masyarakat Mandar bukan sekadar warisan leluhur budaya, tetapi sesuatu yang diterima sebagai bagian penting dari kehidupan kebudayaan masyarakat karena bisa dipergunakan sebagai alat mengekspresikan humor (kalindaqdaq pangino), satire (kalindaqdaq mattedze), kritik sosial (kalindaqdaq pappakaingaq), pendidikan/ nasihat (kalindaqdaq pipatudzu), keagamaan (kalindaqdaq masaalah), kejantanan/ patriotisme (kalindaqdaq pettummoaneang), dan percintaan/romantik (kalindaqdaq tosipomongeq). Kalindaqdaq pipatudzu yang berisi nasihat juga berfungsi sebagai “pagar” yang apabila isinya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka orang yang menerapkannya akan terlindung dari segala bentuk kejahatan di dunia.

Sebagai dunia yang diterima, riwayat sastra bagi masyarakat Mandar,  bukanlah dunia sebagian kecil orang sebagaimana riwayat sastra di negeri kita hari ini. Sastra mendapat tempat luar biasa, ditampilkan sebagai bagian terpenting dari aktivitas sosial kemasyarakatan dalam bentuk pertunjukkan yang selalu mengundang perhatian dari masyarakatnya.  Hal ini menyebabkan, seorang penyair bagi masyarakat Mandar adalah orang yang diharapkan menjadi pembawa kabar, juru bicara keteladanan, dan penasehat yang dinantikan dan diharapkan wejangan-wejangannya. Lelaku kepenyairan bagi masyarakat Mandar dipandang sebagai lelaku  penutur yang sarat pengalaman hidup, yang membuat kalindaqdaq bergelimang makna bagi kehidupan siapa saja.

Dengan posisi kalindaqdaq yang begitu penting bagi masyarakat Mandar, memaksa setiap warga Mandar untuk terus-menerus belajar menjadi penyair, penutur atau pelantun sastra lisan itu. Keinginan untuk belajar kalindaqdaq itu melampaui keterbatasan-keterbatasan mereka dalam hal penguasaan bahasa. Dalam banyak kasus, ternyata para penyair yang menjadi pelantun kalindaqdaq merupakan orang yang menderita buta huruf. Mereka tak sepenuhnya mampu membaca, tapi buta huruf itu bisa diatasi dengan kemampuan melisankan kalindaqdaq.

Realitas para pelantun kalindaqdaq yang menderita buta huruf banyak ditemukan pada diri para pelantun sastra lisan tradisi yang ada pada kebudayaan lain di Nusantara. Masnuna, seorang maestro dadi–sastra lisan masyarakat Lampung — ternyata juga seorang menderita buta huruf.  Pada dasarnya Masnuna tidak mengenal huruf Latin, tetapi kondisi keterbatasan ini tidak menghalangi kemampuannya dalam bersastra lisan. Kondisi ini terjadi disebabkan penguasaan atas sastra lisan mensyaratkan pentingnya kemampuan mendengarkan (pendengaran) untuk menerima pesan atau informasi tentang persolan-persoalan yang sedang terjadi di sekitarnya, yang kemudian diolah menjadi karya sastra yang akan dilisankan  kepada khalayak pendengarnya. Namun, tanpa pengetahuan, bahkan penguasaan, akan khazanah tradisi yang melatarinya sekaligus terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di sekitarnya, seorang penutur sastra lisan tidak akan pernah mampu menjalankan misinya atau kedudukannya di masyarakatnya.

Peran kalindaqdaq yang begitu penting bagi masyarakat Mandar ini yang hendak dikembangkan, ditumbuhkan, dan kemudian dilembagakan oleh masyarakat Mandar dengan menciptakan Mandar Writer and Culture Forum (MWCF). Di dalam forum ini, masyarakat Mandar berencana akan menciptakan generasi baru yang mampu bukan saja menjaga tradisi sastra lisan, tetapi tumbuh sebagai masyarakat yang aktif dalam mengikuti perkembangan sastra nasional. Mereka diandaikan, bahwa masyarakat Mandar yang memiliki tradisi sastra lisan, dapat berkembang menjadi sastrawan moderen namun tetap dengan kedaran lokalitas yang tinggi.

Di dalam diskusi, salah satu kegiatan MWCF yang menampilkan penyair dan kritikus Saut Situmorang sebagai pembicara, diangkat tema “Kesadaran Lokalitas dalam Menulis Karya Sastra”. Memberi tekanan pada “kesadaran lokalitas” ini jelas bukan pekerjaan yang gampang, karena segala yang lokal sering ditolak dengan alasan sudah ketinggalan zaman alias kuno atau sudah lampau. Moderenisasi yang terus berevolusi untuk menjauhkan manusia dari segala produk budaya yang berbau lokalitas, pada akhirnya akan memposisikan segala yang sudah lampau harus disepakati sebagai sesuatu yang hanya coco?k ditempatkan di sebuah museum agar keberadaannya bisa dipertontonkan kepada para pengunjung museum sehingga mereka menjadi punya pengetahuan sejarah tentang masyarakat lokal yang ada di negeri ini.

Kondisi seperti ini selalu berulang dalam kehidupan masyarakat di negeri ini. Di masa lalu, moderenisme yang diperkenalkan kaum kolonialis,  melahirkan generasi muda yang menderita ambiguitas moral dan politik. Dibebani oleh ambiguitas,  kaum intelektual Indonesia modern yang sebagian besar mengawali keterlibatannya di dunia intelektual sebagai penulis karya sastra, berada dalam posisi tarik-menarik antara pemihakan terhadap rakyat Indonesia atau terhadap kebudayaan Barat yang melahirkannya. Di satu sisi mereka menyadari bahwa kebudayaan Indonesia yang telah melahirkan leluhurnya dan mewariskan nilai-nilai budaya yang menghidupkan dirinya sebagai warga bangsa Indonesia yang baru merdeka harus dilestarikan, namun di sisi berbeda mereka sangat terpengaruh oleh teror yang dilakukan kaum intelektual Barat yang menyebut kebudayaan Barat sebagai masa depan peradaban manusia sambil mengejek masyarakat Timur sebagai pagan, tidak berkebudayaan alias barbar.

Dengan kata lain, pentingnya “kesadaran lokalitas dalam menulis karya sastra”  bukan sebuah gagasan yang tepat untuk ditularkan jika yang diharapkan agar masyarakat Mandar mampu berkembang menjadi sastrawan yang memiliki posisi khusus dalam sastra nasional. Gagasan melestarikan atau menjaga “kesadaran lokalitas dalam menulis karya sastra” itu hanya akan mengulangi kesalahan-kesalahan generasi penulis Indonesia masa sebelum perang beserta dobrakannya untuk melahirkan budaya kesusastraan baru (Pujangga Baru), tapi kemudian seluruh fondasinya dihancurleburkan dalam revolusi kesusastraan yang dilakukan Chairil Anwar. Namun, orang justru memuji Chairil Anwar dengan subyektivitas yang begitu kental tanpa sebuah upaya serius untuk menegaskan bahwa bahasa Indonesia dalam puisi-puisi penyair itu berbeda dengan bahasa Indonesia yang dipergunakan oleh sastrawan Pujangga Baru. Bahasa Indonesia bagi Chairil Anwar adalah tenaga yang dasyat karena dengan bahasa Indonesia itu ia dapat menangkap imajinasi publik yang sedang mengalami euforia manusia baru merdeka. 

“Kesadaran lokalitas dalam menulis karya sastra” telah diawali oleh Chairil Anwar pada masa setelah perang, di mana ia menghasilkan puisi-puisi yang berhasil menuangkan imajinasi publik (lokalitas) ke dalam diksi-diksi bahasa Indonesia yang begitu tepat. Kalimat “aku ini binatang jalang” dalam puisi Chairil Anwar bukan ekspresi individual seorang penyair yang merasa hidupnya berada dalam tekanan dari segala sisi kehidupan akibat ketidakjelasan arah dan tujuan hidup lantaran situasi pasca perang yang begitu berat, tetapi kalimat dengan idiom “binatang jalang” itu merupakan imajinasi yang tumbuh dan berkembang dalam diri setiap warga bangsa yang baru saja mendapatkan kemerdekaannya. Warga bangsa yang baru berperang melawan kolonialisme Belanda dan Jepang, menemukan realitas dirinya dalam ekspresi dan pilihan diksi pada puisi-puisi Chairil Anwar.

Dengan kata lain, gagasan tentang “kesadaran lokalitas dalam menulis karya sastra” bukan sesuatu yang harus ditawarkan kembali oleh panitia MWCF. Pasalnya, masyarakat Mandar sendiri sesungguhynya telah memiliki tradisi menjaga kesadaran lokalitas dengan menghasilkan kalindaqdaq yang mempertahankan imajinasi masyarakat Mandar tentang realitas kehidupannya, harapan-harapan hidupnya, dan masa depan yang diharapkannya. Mestinya, panitia MWCF justru menguatkan imajinasi masyarakat Mandar dalam kalindaqdaq itu untuk menghasiljkan karya sastra modern yang bisa dinikmati secara universal di negeri ini.




Bagikan:

Penulis →

Budi Hutasuhut

Peneliti dan penulis esai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *