RID duduk di kursi anyaman rotan di teras rumahnya sore itu. Tangan keriputnya menggenggam sebuah surat lusuh yang dia terima berpuluh tahun lalu. Surat itu berisi kenangan manis sekaligus tragis. Surat itu mampu mengukir senyum sekaligus murung di wajah rentanya. Surat dari suami tercintanya, Albert Horny. Seorang Belanda sejati dengan badan tinggi tegap, kulit putih, dan rambut pirang yang lukisannya terpajang di tembok kamar.
Kala rindu menyergap, Rid selalu membaca kembali isi surat itu. Surat yang membuat dia teringat betapa dia harus mensyukuri hidup sekaligus menangisinya. Albert merupakan seorang pria Belanda tampan dari kalangan kelas atas yang diidamkan noni-noni kulit putih dari kalangannya sendiri. Namun dengan kerendahan hati yang disertai tanggung jawab, dia memilih Rid untuk dinikahi, seorang pribumi, putri dari tukang kebun di rumah Albert.
“Maukah kau menikah denganku?” kata Albert di suatu hari yang terik saat Rid menyapu daun-daun kering yang berguguran.
Wajah Rid memerah, seperti tertampar petir di hari yang cerah, dia tertunduk malu tak berani menatap wajah tuannya yang menunggu penuh harap. “Jangan suka bercanda seperti itu tuan, tidak baik.”
“Aku tidak bercanda, untuk hal sesakral ini aku tidak berani main-main, aku jatuh hati padamu, Rid,” raut wajah Albert sangat meyakinkan.
Sebenarnya tidak mengherankan jika Albert jatuh hati, kendati Rid hanyalah seorang anak tukang kebun, tapi parasnya memanglah elok. Para pemuda desa berulang kali melamarnya, tapi selalu ditolak dengan alasan masih tak cukup umur oleh Badrawi, ayahnya.
“Saya hanyalah orang kampung, Tuan, apalagi saya hanya seorang anak tukang kebun,” wajah Rid semakin merona. Pipinya memerah menambah pesona ayunya.
“Setahuku, kasih tak memandang suku dan warna kulit apalagi status sosial. Aku tidak akan menjadikanmu gundik. Kuhormati semua wanita layaknya kuhormati ibuku sendiri, akan kuperistri kau secara sah dan meminta kesediaanmu menemaniku hingga akhir hayat.”
Perkataan Albert yang sangat meyakinkan memberi Rid keyakinan dan keberanian. Rid mendongak menatap wajah Albert. Mata mereka bertemu. Mata lentik Rid bertemu dengan mata biru milik Albert. Cinta tak dapat ditolak, tumbuh begitu saja layaknya tulip di musim semi.
Mengenang hari ketika Albert melamarnya, membuat hati Rid berbunga, disertai bulir demi bulir air mata haru jatuh membasahi pipinya yang menua. Sangat jarang wanita pribumi dinikahi secara sah oleh pria kulit putih. Kebanyakan wanita pribumi hanya menjadi gundik. Dibawa dari rumah orang tuanya sebagai penebus hutang, lalu tinggal bersama, dicumbui, digagahi tanpa pernikahan resmi.
Nasib paling buruk seorang gundik adalah dibuang sebagai lacur saat si Kulit Pucat yang membawanya telah memiliki istri sah dari kalangannya sendiri. Gundik itu terbuang dari rumah sekaligus juga terasing dari masyarakat yang memandang sebelah mata.
Kawannya yang bernama Djemilah bernasib sama dengan Rid. Djemilah dinikahi Gerhard David, pria Skotlandia, pengusaha tembakau sukses di tanah Tapal Kuda. Kehidupan sosial kawannya itu jauh terangkat, bahkan melebihi status Rid sebagai istri Albert, namun, apa yang bisa dikeluhkannya jika dia melihat betapa banyak wanita pribumi yang hanya menjadi gundik lalu dibuang begitu saja saat manisnya sudah tak terasa.
Gundik tidak memiliki hak untuk menyandang nama suami atau lebih tepat disebut tuannya. Dia juga tidak berhak mengasuh anak dari perkawinan campuran itu. Indo, begitu anak-anak mereka dikenal. Rid jauh lebih beruntung kendati tidak mendapat pria sekaya yang Djemilah dapatkan. Dia berhak menyandang nama belakang Albert. Dia juga diperbolehkan untuk mengasuh kedua anak lelakinya yang saat ini juga sudah memiliki keluarga sendiri.
Rid hidup bahagia bersama Albert. Albert pernah mengajak Rid untuk tinggal beberapa lama di negeri Belanda. Orang tua Albert awalnya menolak kehadiran Rid, tapi akhirnya luluh dan menerima dirinya sebagai menantu. Rid pandai memikat hati.
Rid tinggal cukup lama di negeri Kincir Angin. Dia mempelajari bagaimana caranya hidup seperti orang Belanda. Saat kembali ke Hindia, dia sudah menjelma bak noni Belanda dengan kulit putih bersih. Kulitnya memang putih dibanding wanita pribumi lain di kampung, namun iklim Rotterdam seperti menambah keelokan parasnya.
Sial tak dapat ditolak, mereka kembali ke Hindia sesaat sebelum orang-orang negeri Matahari Terbit datang menyerang. Tanah Hindia yang telah lama merindukan kemerdekaan, menyambut baik Jepang yang dengan hanya menunggangi sepeda ontel membuat tentara gabungan Inggris dan Belanda terbirit-birit.
“Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia, Nippon Cahaya Asia,” jargon yang mereka gaungkan terdengar sangat manis.
Namun, bangsa yang mengaku sebagai saudara tua ini nyatanya jauh lebih kejam daripada penjajah dari Negeri Kincir Angin. Wanita pribumi ditangkap dan dipaksa menjadi Jugun Ianfu, sebagai pemuas nafsu tentara Jepang. Kaum laki-laki tak kalah malang, mereka bekerja siang dan malam tanpa upah sebagai Romusha.
Rid pun hampir menjadi Jugun Ianfu. Para tentara itu mengubah sasaran setelah tahu suami Rid adalah seorang Belanda tulen. Orang kulit putih seperti Albert memang menjadi incaran utama para tentara Nippon. Mengetahui hal itu, Badrawi segera membawa kedua cucunya sembunyi di pekarangan melalui pintu belakang, dioleskan arang ke rambut mereka agar rambut pirangnya tersamarkan.
Albert ditangkap tentara Jepang di rumahnya sendiri pada tengah malam di bulan ketiga tahun 1944. Rid yang berusaha menahan para tentara itu, popor senapan segera mencicipi pelipisnya, membuatnya terjengkang dan tak sadarkan diri. Albert pun digelandang ke kamp penahanan orang kulit putih, tanpa bisa berbuat banyak melihat istrinya terkapar.
Rid lagi-lagi beruntung, para tentara itu seakan tak tertarik lagi setelah mendapat mangsa yang lebih besar. Saat sadar, dia sudah berada di atas ranjang, Badrawi yang memindahkannya ke atas ranjang.
Cinta Rid hilang, dibawa penjajah baru yang mendaku saudara. Inilah kekalutan terbesar yang pernah Rid rasakan seumur hidupnya. Terpisah dari suami yang amat dicintainya. Hari-hari bibirnya selalu basah karena merapal doa demi keselamatan Albert.
Bulan bulat penuh malam itu, tepat sebulan kabar Albert masih belum sampai jua pada telinganya yang berhias giwang kecil pemberian suaminya itu. Nasib Albert tak jelas, entah masih bernyawa atau sudah tidak. Seperti biasa dia duduk di teras rumah di atas kursi rotan, berharap Albert datang dalam keadaan baik-baik saja.
Sejurus kemudian terlihat siluet manusia di kejauhan, perlahan semakin jelas yang datang bukanlah yang dia harapkan. Seorang pria pribumi kurus kering dengan tubuh kotor dan penuh luka.
“Nyonya Rid Horny?” tanya pria tersebut saat sudah cukup dekat dengan tempat duduk Rid.
“Benar, saya sendiri,” ucap Rid dengan mata menyipit.
“Saya dititipi ini oleh tuan Albert,” pria memberikan sebuah benda kecil yang terbungkus sebuah kain.
Rid mengenali kain itu, itu adalah sobekan kain sampir (sarung) yang dikenakan Albert ketika ditangkap tentara Jepang. Albert memang senang sekali berpenampilan layaknya laki-laki pribumi sejak menikahi Rid. Dia sering menggunakan kemeja putih, bawahan sampir batik lengkap dengan odheng (Penutup kepala khas Madura) sebagai penutup kepala.
Pria itu langsung pamit setelah memastikan Rid menerima amanah yang dititipkan Albert kepadanya. Air mata Rid jatuh satu-satu. Benda itu memberi harapan bahwa Albert masih hidup. Setidaknya begitu yang ada di pikirannya.
Tangannya sedikit bergetar kala membuka bungkusan itu. Di dalamnya ada setangkai bunga sepatu dan sepucuk kertas yang tergulung. Albert dulu pernah menyelipkan bunga yang sama ke sela telinga kanan Rid.
“Bunga yang indah, namun tak bisa mengalahkan indah senyummu,” kata Albert dalam ingatan Rid.
Perhatiannya lalu tertuju pada secarik kertas yang tergulung itu, dibukanya perlahan, hatinya berharap itu sepucuk surat dari Albert. Harapannya tepat, itu sepucuk surat yang ditulis oleh suaminya itu.
Untuk cintaku, rembulanku, dan bungaku yang lebih cantik dari segala bunga.
Rid sayangku, bagaimana kabarmu? Apakah matahari pagi masih tetap usil membelai wajah cantikmu setiap pagi? Aku di sini selalu berdoa agar kau selalu bahagia dan sehat. Rindu ini amat berat untuk kutahan. Jika saja aku bisa memilih, aku lebih memilih menahan berat langit seperti Atlas daripada harus menahan rindu tak bertemu denganmu.
Sejak berpisah denganmu di malam itu, tak ada yang lebih menyiksa selain rindu, walaupun seringkali popor senapan dan sepatu lars para monyet kuning itu bersarang di tubuhku.
Aku cukup beruntung bisa menemukan sebuah pena dan kertas yang tergeletak begitu saja saat para tentara itu tak berjaga. Sepertinya Tuhan yang mengirimkan pena dan kertas ini agar aku bisa menulis surat untukmu.
Rid, saat surat ini tiba di pangkuanmu, mungkin aku sudah tidak ada di dunia ini lagi. Kemarin sayup-sayup kudengar aku dan beberapa tahanan lain akan dibawa ke kamp tentara untuk dipekerjakan secara paksa. Kabarnya, sangat sedikit yang bisa bertahan dan pulang kembali ke rumah, apalagi orang Eropa seperti diriku ini.
Namun kau tidak usah lagi mengkhawatirkanku, Rid, aku akan menelan cincin akik pemberian bapakmu ini. Semoga benda ini bisa melepas nyawaku dari raganya. Bapakmu pernah mengingatkan, benda ini bisa menghancurkan organ dalam jika tertelan. Tak disangka, pantangannya itu justru dapat menolongku saat ini.
Aku titip anak-anak kita, rawat mereka dengan penuh kasih. Semoga Hindia bisa segera lepas dari kesengsaraan dan hidup bebas tak lagi terjajah. Rasanya lucu seorang yang berasal dari bangsa penjajah, mendoakan bangsa jajahannya sendiri untuk merdeka.
Namun, kasihku padamu dan anak-anak kita lebih besar daripada cintaku pada negara, Hindia harus merdeka menjadi Indonesia agar kalian bisa hidup bahagia. Sampai jumpa.
Segala rasa sayang, pelukan, dan ciuman.
Suamimu
Albert Horny
Jember, 24 Juli 2022
=============
Sigit Candra Lesmana adalah pria kelahiran Jember, 12 Maret 1992. Saat ini bekerja sebagai penulis lepas. Senang menulis artikel, cerpen, dan puisi. Beberapa cerpennya memenangkan lomba dan diterbitkan di beberapa media seperti Janang.id, Kedaulatan Rakyat, Suara NTB, dan Kurungbuka.com. Aktif berkegiatan di Forum Lingkar Pena cabang Jember dan Prosa Tujuh.