PERASAAN memiliki kaki sendiri untuk melangkah. Ia tidak pernah menolak saat keadaan membuka jalan. Satu-satu lorong penghubung ia dan aku hanyalah mata. ketika mata telah terpaut maka langkah kaki akan pergi ke arah mana ia menunjuk. Begitulah tatapan mata ini menerobos gelisah menembus jendela angkot memperhatikan dengan jeli setiap angkot lainnya yang parkir di terminal. Aku biasanya begini. Bila angkot yang aku tumpangi telah sampai di terminal Kupang tempat untuk transit, aku akan dengan cepat memperhatikan angkot-angkot yang parkir di seberang dan menandai salah satunya untuk kutumpangi sebelum aku turun dari angkot ini. Para kernet di sini biasanya merampas penumpang dan itu sangat tidak membuatku nyaman. Dengan menandai seperti itu saat aku turun dari angkot ini aku langsung saja berjalan lurus menuju angkot itu dengan menghiraukan para kernet yang datang menggiring penumpang. Sejauh ini jurus itu sangat ampuh untuk menghindari menjadi rebutan para kernet.
Begitulah, siang itu dari balik jendela angkot, mataku langsung tertuju ke arah bemo prodan yang sedang parkir di antara bemo-bemo lainnya. Ketika angkot yang kutumpangi berhenti untuk menuruni penumpang aku langsung berjalan lurus menuju prodan dan menaikinya. Selamat. Para menumpang saling menggeser ke depan dan menyisakan aku yang duduk di pojok belakang bemo. Saat duduk, mataku langsung berhadapan dengan sebuah senyum manis yang tersungging dari sesosok wajah lugu di depanku. Kami duduk berhadapan. Aku membalas senyumnya dengan perasaan yang bermekaran.
Tidak menunggu lama angkot pun melaju. Penumpang penuh dan semuanya duduk merapat saling menghadap. Aku berhadapan dengan gadis remaja itu dengan lutut hampir saling menyikut. Saat bila lutut kami bersentuhan, kami sengaja menggeser posisi duduk kami agar tidak tersentuh. Setiap kali mata kami bertemu tersungging senyum malu-malu darinya dan hatiku. Dadaku berdetak kencang. Mataku mulai nakal mencuri-curi pandang. Entahlah apakah dia juga mencuri, aku merasa ada yang hilang di hatiku. Perasaanku yang tiba-tiba itu tertumpah ruah kepada sosok mungil dan lugu di depanku.
Sang supir dan kernet terlihat mengintip lewat kaca spion. Mereka juga melirik gadis itu. Itu hal biasa di kota ini. Mata keranjang bukan saja dialamatkan kepada para pelaut tetapi juga kepada supir dan kernet. Aku mendengar mereka berbisik-bisik dan menyebut nama gadis itu. Tiara. Begitulah mereka memanggil dan mengganggunya. Gadis itu hanya tersenyum padaku. Ah, aku merasa seperti di taman bunga.
Ketika sampai di rumah, Ambo, seorang teman yang biasa bermain denganku datang ke rumah dengan wajah penuh kegirangan. Ia tertawa-tawa geli seolah-olah baru mendapat sebuah hadiah besar.
“Di, ada gadis cantik yang baru pindah ke lingkungan kita, dia tinggal di depan sana, persis di ujung gang. Namanya Tiara Alkatiri. Mereka pindahan dari kampung Airmata[i],” kata Ambo bersemangat mendengar namanya. “Tiara” aku tiba tiba teringat gadis di dalam bemo tadi. Apakah yang dimaksudkan Ambo gadis itu ataukah bukan. Merasa penasaran kami berjalan menyusuri gang hingga ke samping rumah yang menurut Ambo tempat tinggal gadis itu.
Ternyata hampir semua anak-anak lingkungan sudah nongkrong di ujung pertigaan jalan yang telah kami buat semacam pos tempat kami berkumpul. Biasanya kami berkumpul saat menjelang sore hingga malam. Tumben siang-siang begini anak-anak berkumpul di situ.
Tujuan kami sekarang berkumpul pastilah sama, yaitu ingin melihat gadis manis dan lugu itu. Ternyata kabar kehadiran gadis itu di lingkungan kami tersebar di seantero kota. Para lelaki datang dari segenap penjuru hanya untuk melirik kecantikan gadis itu. Aku sendiri merasa penasaran dengannya. Secantik apakah dia hingga menyedot perhatian hampir semua pria di kota ini.
Seperti merasa menjadi bahan perhatian, gadis itu tak kunjung keluar. Karena lama menunggu aku memutuskan untuk pulang karena lapar. Aku beranjak pergi meninggalkan Ambo dan teman-teman yang masih mengintip-intip menunggu. Aku berjalan melewati samping rumahnya dan ketika tepat berada di samping teras rumahnya muncul sesosok gadis lugu yang telah kukenal berjalan keluar dari balik pintu. Tatapan kami beradu dan dia melepas senyuman. Senyumannya aduhai manisnya dan mengggetarkan hatiku. Benar! Dia adalah Tiara yang di angkot itu. Dia adalah gadis yang dimaksudkan Ambo. Dia benar-benar manis dan punya daya tarik sendiri. Senyumannya itu hilang tertelan langkahku yang melaju jauh. Namun yang tersisa di pikiranku adalah kegelisahan perasaan dan dada yang terus bergemuruh. Di rumah aku merasa tidak tenang. Di kamar aku membolak balikan badan di atas kasur. Wajah Tiara di bemo prodan menari-nari di ujung mataku. Senyumannya itu membuat dadaku bergetar. Aku bangun dan pergi mencari kertas dan pena. Ingin kuluapkan semua perasaan ini namun tak tahu harus mulai dari mana.
Bertemu pandang
Hatiku gelisah
Kau lempar senyuman
jiwaku merona
*
Pemukiman tempat tinggalku berada di belakang pangkalan angkatan laut. Karena itu kami memberi nama geng anak-anak komplek sebagai “Abal” yang merupakan kependekan dari “anak belakang angkatan laut”. Kami semua adalah para jomblo yang sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang kaum hawa. Kejombloan kami lahir dari kurangnya generasi para cewek di lingkungan kami. Kami juga merupakan generasi abal yang baru tumbuh menjadi pria dewasa. Kami baru belajar mengenal jatuh cinta dan mulai labil.
Kehadiran Tiara yang sangat manis dan cantik seperti sebuah umpan lezat di hadapan ikan-ikan yang lapar. Kami saling berebutan untuk memakan umpan itu. Setiap hari kami nongkrong di pertigaan samping rumahnya hanya untuk melihat senyum manisnya dan penampakan dirinya seperti sinar mentari di pagi buta yang menghibur hati kami yang dingin. Aku sendiri, entah kenapa sejak bertemu pertama kali di prodan itu merasa labil. Wajahnya terus menari-nari di benakku. Satu dua puisi lahir dalam mengekspresikan perasaan ini. Biasanya aku menulis sembarangan di segala tempat. Aku menulis di tembok-tembok kamar atau batang-batang kayu. Aku menulis di kertas-kertas yang kemudian menjadi pembungkus dan berakhir di tempat sampah. semua orang membaca tulisan itu. Namun kali ini aku merasa menulis sesuatu yang sangat rahasia. Sesuatu yang tidak boleh diketahui oleh teman-teman lainnya. Suatu perasaan cinta pada sesosok tubuh mungil yang jadi bahan rebutan semua orang. Seribu cara teman-teman mencari jalan untuk bisa dekat dengan Tiara. Begitu pun denganku. Segala jurus kukeluarkan sebab aku telah terjebak dengan senyuman itu. Sebuah senyuman yang selalu tersungging saat kami bertemu. Entahlah apakah dia tersenyum juga seperti itu pada teman-temanku yang lain. Aku merasa senyumannya hanya spesial untukku saja.
*
Perempuan bernama Tiara itu adalah sebuah nyala api yang membakar padang rerumputan saat musim kemarau. Kehadirannya melahirkan nyala-nyala api baru yang tumbuh di hati kami. Entah bermula dari apa, dengan berkumpul di pertigaan itu kami berinisiatif untuk membuat acara pesta tahun baru. Di Kupang pesta tahun baru di setiap gang-gang jalan adalah hal biasa dan sebuah tradisi tahunan namun bagi lingkungan kami pesta-pesta anak muda itu merupakan hal baru. Abal seperti pria puber yang baru mengenal asmara. Kami merasa mabuk dalam keakuan yang tumbuh subur di samping sekuntum bunga mekar yang semerbak tiap hari. Pesta tahun baru membuat kami sibuk mendirikan panggung, membuat dekorasi, menyusun rangkaian acara, hingga mengurus pengadaan konsumsi. Semuanya terlihat sibuk. Akulah membuat dekorasi panggung. Akulah yang mendekor surat undangan dan saat membuat khusus surat untuk Tiara, tanganku bergetar, hatiku berdebar. Dia adalah api yang menerangi ide ini namun waktu berjalan lambat.
Pesta tahun baru telah usai. Semua orang mabuk termasuk aku. Terbayang wajah Tiara. Ia seperti bunga mawar merah penuh gairah yang mekar di ujung tebing. Hanya indah dipandang namun sulit untuk dipetik.
Di suatu hari minggu aku berdiam diri di dalam kamar. Aku tahu teman-teman sejak subuh hari telah berkumpul di cabang depan. Biasa hari minggu begini mereka berolahraga pagi dan berkumpul sampai menjelang hampir siang. Entah kenapa hari ini aku merasa malas keluar dan terus mendekap buku. Terdengar ibu memanggilku dari depan. Aku menyahut dan menemuinya di halaman depan dengan seorang bapak yang merupakan bapaknya Tiara. Aku tersenyum padanya dan pergi menyalaminya.
“Aku mendengar kalau kau bisa gunting rambut,” kata bapaknya Tiara.
“Iya benar, Pak. Semua anak-anak di sini aku yang cukur rambut mereka,” jawabku sedikit malu.
“Aku ingin cukur rambut. Kalau kau tak sibuk bolehkah kau mencukur rambutku?”
“Bisa, Pak.”
“Kalau begitu kita ke rumah saja. kita cukur di sana sambil ngopi.”
“Bisa, Pak,” jawabku sedikit kaku. Dengan meminta ijin ibu, aku dan bapaknya Tiara pergi ke rumahnya. Sampai di jalan depan, semua tatapan mata anak-anak abal yang nongkrong di pertigaan yang terus menyoroti langkahku yang memasuki halaman rumah Tiara dan berlabuh di terasnya. Aku tahu ini adalah impian anak-anak itu. Seperti orang buta aku melirik mereka mendongak-dongakkan kepala merasa tidak percaya dengan nasibku yang sangat mujur bisa bertamu ke rumahnya Tiara.
“Tiara! Tolong buatkan dua gelas kopi untuk bapak dan kak Hadi ya,” teriak bapaknya Tiara yang dibalas dengan sahutan Tiara dari dalam. “Iyaa…”
Tidak lama kemudian dua gelas kopi muncul dengan sepiring pisang goreng yang masih panas. Itu tercium dari aromanya yang sangat semerbak. Tiara meletakkan kopi dan sepiring pisang goreng itu di atas meja sambil tersenyum padaku. Senyumannya sangatlah manis semanis kopi buatan tangannya. Hah, ini namanya rejeki di pagi buta. Sedang teman-teman seperti terus mengintip-intip nasibku yang sangat mujur.
“Tiara itu anakku yang pertama. Selama ini dia pesantren di Bandung saat saya bertugas sebagai PNS di sana. Kini kami telah pindah ke sini. Pulang kampung,” kata bapak itu sambil meneguk kopinya. Aku merasa sedikit kaku saat ia menyebut nama anaknya. Aku merasa seolah-olah ia tahu bahwa anak gadisnya itu menjadi rebutan dan incaran pria-pria di kota ini termasuk aku.
“Sebenarnya dia sakit-sakitan. Dia menderita paru-paru basah dan asma. Setiap minggu kami harus membawanya ke rumah sakit untuk berobat,” kata bapak itu dengan tenang. Sedang aku terus menyimak dengan perasaan malu dan iba.
“Di Bandung cuacanya dingin. Apalagi di puncak. Di Kupang panas dan gersang. Justru itu juga alasan kenapa kami pindah ke sini agar kesehatan Tiara terjaga,” jelas bapak itu terus berceritera tentang Tiara. Ternyata Tiara telah menderita sakit bawaan sejak lahir dan kedua orang tuanya telah berupaya sekuat tenaga untuk proses kesembuhannya. Semua rumah sakit telah mereka masuk dan ia diwajibkan mengontrol kondisinya setiap saat. Hari itu tidak ada kisah lain yang diceriterakan bapak itu kecuali tentang anaknya. Ia menceriterakan tentang sekolah dan prestasi-prestasi Tiara saat ini seolah olah ia sedang memperkenalkan anak perempuannya untuk seorang pria yang akan menjadi jodohnya. Ini adalah bukti bahwa bapak itu sangat menyayangi anak sulungnya itu. Keprihatinannya atas kondisi kesehatan putrinya membuat pertemuan itu seperti ajang curhat yang sangat dalam. Di ujung curhatan itu aku lalu mencukur rambutnya dan kami berpisah dengan senyuman kekeluargaan yang akrab. Hari-hari berikutnya pintu rumahku selalu diketuk oleh bapaknya Tiara. Apakah untuk meminta bantuanku mencukur rambut anak-anaknya yang lain yang masih kecil ataukah sekedar berceritera tentang segala hal. Dan kisah yang paling kusuka adalah tentang Tiara. Setiap kali aku berkunjung ke rumahnya, Tiara selalu datang menyuguhkan kopi dengan senyumannya yang mekar. Senyumannya itu membuat teman-temanku cemberut.
*
Musim barat di Kupang adalah hujan dan angin yang terus berebut kekuatan untuk menguasai kota. Malam itu hujan lebat dan aku berada di dalam kamar untuk mencari kehangatan. Tiba-tiba Ambo muncul dari balik pintu dan membangunkanku dari tidur.
“Heh, ada Tiara tuh. Tiara lagi belanja di kios depan rumah. Pergilah dan temani dia,” kata Ambo mengguncang-guncang tubuhku. Seperti memahami sesuatu, aku bangun dan berlari keluar rumah. Aku melihat Tiara sedang belanja di kios samping rumah. Setelah selesai belanja, ia membuka payungnya dan berjalan melewati depan rumahku sembari melempar senyum. Akupun membalasnya dengan memberanikan diri keluar rumah, berjalan sepayung dengannya. Tiara seperti kaget dengan kenekatanku. Aku langsung menggenggam tangan kecilnya yang sedang menggenggam payung.
“Aku antar kau pulang,” kataku sedikit kaku. Tiara tidak menjawab dan hanya melihat tanganku yang sedang menggenggam tangannya.
Sebetulnya jarak rumah Tiara dekat, tapi entah mengapa seakan kami bersepakat, sengaja berputar menjauh menyusuri jalan-jalan yang mengitari pemukiman.
“Kamu tahu kalau hampir semua anak-anak di sini menyukaimu,” kataku lepas membuka percakapan.
“Iya, aku tahu,” jawab Tiara tersenyum dengan suaranya yang kecil.
“Aku juga,” kataku jujur. Tiara tersenyum malu-malu dan hanya diam membisu.
“Aku tidak tahu kenapa. Sejak kita bertemu di bemo prodan aku jadi memikirkanmu. Apalagi semenjak bapakmu membawaku ke rumahmu dan sering bertemu denganmu. Aku merasa telah jatuh cinta,” kataku lugas tanpa beban. Hujan bertambah deras membuat kami semakin merapatkan tubuh satu sama lain. Lengan tangannya menempel di lenganku. Kami terus berputar seperti dua orang gila yang berjalan mengelilingi satu putaran komplek tanpa arah. Setiap kali kami sampai, kami membelok lagi mencari jalan jauh.
“Maukah kamu menjadi kekasihku?” Aku melepas kata itu dengan dada yang bergetar hebat dan lidah yang kaku. Tiara masih tersenyum diam. Lama terdiam. Aku membiarkan diam itu terus mengalir.
“Aku takut bapakku akan marah,” katanya memecahkan derai hujan.
“Bapakmu tidak akan marah kalau ia tidak tahu,” kataku seperti pria mabuk yang labil. Tiara kembali terdiam dalam senyuman.
“Aku kedinginan,” kata Tiara dengan bibir bergetar.
“Kita telah sampai. Seharusnya kamu tidak boleh kedinginan. Itu bahaya untuk kesehatanmu. Masuklah. Aku akan pulang,” kataku menyuruhnya masuk. Aku lalu keluar dari dalam payung dan pergi namun langkahku terhenti saat mendengar ia memanggilku. Aku balik menatapnya.
“Jangan bilang siapa-siapa. Jangan bilang ayahku! Jangan bilang ke mereka kalau aku mau jadi kekasihmu!” Kata Tiara setengah berteriak lalu berlari pergi meninggalkanku. Aku masih berdiri mencerna kata-kata itu dalam kehampaan dan hujan yang semakin deras mengguyur tubuhku namun membuatku hangat oleh kata-kata Tiara.
“Benarkah dia mau menjadi kekasihku? Benarkah kami akan menjadi sepasang kekasih? Apakah ini nyata?” Aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi malam itu. Aku merasa telah menjadi orang gila.
*
Tidak ada pertemuan-pertemuan kami setelah itu. Kami hanya memadu kasih dalam diam. Bila berpapasan, kami bertegur sapa lewat senyuman yang dalam dan bila aku bertamu ke rumahnya untuk memenuhi undangan bapaknya, kami hanya bisa saling melirik dan curi-curi pandang hingga hari kasih sayang itu tiba. Merayakan hari kasih sayang seperti ini sebetulnya bukan kebiasaan kami atau adat yang dicontohkan leluhur kami. Ini hanya perayaan bagi kami, anak-anak muda yang labil seperti aku ini. Entah siapa memulainya pertama kali di kampung kami yang kami sebut sebagai “Valentine’s Day”.
Menjelang perayaan, kami semua sibuk mengurusi rangkaian acara. Aku mengurusi dekorasi panggung acara, surat undangan, sebagai seorang pembawa acara atau mc dan bermain lawak bersama kedua teman lainnya.selain itu acara akan diisi dengan pementasan sulap yang kemudian diikuti acara makan-makan dan tentu acara bebas sampai pagi.dalam kesibukan kami Tiara kadang datang dan sekedar menonton kami membangun panggung dan mendekornya seindah mungkin.kehadirannya membawa semangat dalam diri kami yang seperti ingin menunjuk diri sebagai seorang pria yang tidak sia-sia di lahirkan. Kami adalah para pria yang akan menjadi pahlawan untuk wanitanya.
Saat menulis surat undangan untuk Tiara, aku sempat berpikir untuk menulis sebuah puisi untuknya. Sebuah puisi yang akan aku bawakan dalam pementasan nanti. Aku yang membawa acara dan aku punya waktu untuk berpuisi. Dalam waktu luang, aku bersemedi di dalam kamar mencoba merangkai perasaanku yang jujur terhadap Tiara dalam sebuah puisi. Aku membacanya di depan cermin dengan pikiran yang terus gelisah.
Pada hari pesta, semua orang datang dari berbagai penjuru. Pesta kami terlihat sukses dari membludaknya manusia dari berbagai arah. Para prajurit angkatan laut juga hadir beserta pasangan-pasangan mereka. Suasana riuh dengan gelak tawa dan wajah yang memancarkan kebahagiaan. Namun aneh, rumah Tiara terlihat lengang. Lampu di dalam rumah terlihat padam. Hanya sebuah lampu penerang yang samar di teras rumah. Rumah itu terlihat kosong sejak sore tadi. Ada yang hilang dari perasaanku. Aku sudah mengatur acara ini akan menjadi milik kami. Puisi itu akan kubacakan di depan dia. Namun kenapa wajahnya tidak terlihat. Pesta merambat menuju tengah malam. Semua rangkaian acara telah selesai dipentaskan. Kini adalah acara makan-makan dan berjoget ria sampai pagi. Merasa sepi dengan ketidakhadiran Tiara, aku mundur dari pesta untuk pulang. Tugasku telah selesai. Tiara tidak ada di sini. Untuk apa aku berada di sini.
Keesokan harinya dan hari-hari setelah itu lingkungan itu menjadi sepi. Padahal baru kemarin kami berpesta. Rumah Tiara tertutup rapat. Anak-anak gang tidak lagi berkumpul di cabang depan. Sesekali aku lewat hanya sekedar mengintip Tiara namun rumah itu tetap kosong. Timbul tanda tanya tentang ketidakadaan Tiara di lingkungan kami bersama keluarganya. Apakah mereka telah pindah. Tetapi kenapa mereka tidak memberi kabar. Hatiku gelisah tak tentu arah.
Sebulan waktu berlalu. Terdengar kabar bahwa Tiara terbaring di rumah sakit. Ayah dan ibunya membawanya ke rumah keluarga mereka di Airmata. Beberapa teman saling mengajak agar kami mengunjunginya, tapi aku merasa berat. Sepulangnya dari sana, mereka berceritera bahwa Tiara kini sekarat dan koma. Penyakit paru-parunya kambuh. Aku merasa bersedih mendengar itu. Ada genangan air yang perlahan timbul dalam mataku.
Dua hari setelah kunjungan teman-temanku, pada suatu senja yang perlahan menuju magrib, terdengar suara dari alat pengeras suara di masjid. “Innalillahi wa innailaihi raji’uun. Telah meninggal dunia anak, saudari, adik kami, Tiara alkatiri…”
Saat itu aku berada di dalam kamar. Suara itu sayup-sayup kudengar. Dua kali aku tertegun mendengar namanya disebut dan ketiga kalinya Ambo berlari menuju rumah dan memberitahukan hal itu padaku. Ia berbisik seperti orang menangis lalu pergi meninggalkan aku yang hampa.
Teman-temanku semua pergi ke Airmata untuk melayat. Hingga saat pemakamannya mereka pun hadir, tapi aku tidak. Entah apa yang terjadi dengan diriku. Waktu terasa lambat bergerak dari senja ke senja. Malam ke malam. Aku merasa ada yang kurang dalam hidupku. Aku merasa kehilangan.
Sewindu setelah kematiannya aku mendengar ketukan pintu. Aku keluar dari dalam kamar dan menemui seorang bapak yang berdiri di teras rumah. Dia adalah bapaknya Tiara. Aku pergi menyalaminya dengan dada yang bergetar. Rasa iba seketika menyerangku.
“Ayo kita ke rumah. Aku ingin ngopi denganmu.”
Tanpa basa basi kami bergegas ke rumahnya dan seperti hari-hari yang lalu kami duduk berdua di depan teras rumah lalu tiba-tiba terdengar suara panggilan dari bapaknya Tiara.
“Tiara, buatkan dua gelas kopi untuk bapak dan kak Hadi,” suara itu terhenti seketika. Wajah orang tua itu menunduk. Ia menyeka air matanya. Aku yang berusaha menahan airmata akhirnya jatuh juga. Ibunya Tiara yang kemudian melayani kami.
“Seorang ayah selalu dekat dengan anak perempuannya. Sejak kecil hingga dewasa Tiara selalu berada di pangkuanku. Bahkan ia jatuh sakit di hari terakhirnya ia tidur di pangkuanku,” kata bapak tua itu terbata-bata dengan tarikan napas yang berat.
“Dia suka menulis puisi. Entah dari mana ia menemukan hobi itu. Aku sendiri tidak begitu suka dengan sastra namun anak itu sangat menyukai buku dan menulis. Sebelum koma ia sempat menulis sebuah puisi yang sepertinya untuk seseorang. Ada sebuah huruf H di situ. Aku terus memikirkannya hingga aku mengingat kamu. Bukankah namamu Hadi?”
Aku mengangguk perlahan.
“Setelah beberapa kali aku membawamu ke sini, aku tahu kalian sering saling melempar senyum. Jadi kupikir puisi itu untuk dirimu,” kata bapaknya Tiara sambil menyodorkan secarik kertas. Tanganku gemetar membaca puisi yang tertulis di situ. Jantungku terasa sakit.
“Dimana kuburannya?” aku bertanya dengan suara berat.
“Di pekuburan Islam Airmata, di jejeran paling belakang, di situ tertulis Tiara Alkatiri.”
*
Sore itu, dengan langkah yang goyah aku pergi ke pemakaman umum Islam Airmata. Aku bawa sekuntum bunga mawar merah yang kuletakkan di depan pusaranya sembari mengenang kisah kami yang sangat singkat. Di kuburan itu aku membaca puisi terakhirnya yang tertulis namaku.
hanya satu nama
dari Airmata
kubawa ke samudera
selamanya
~ untuk H
Tatapanku mengarah ke sekeliling pemakaman dan pemukiman Airmata di tepi bukit. Di pemukiman itu lahir dan berkembang keturunan Arab Muslim termasuk keluarganya Tiara. Ada sebuah sungai yang membelah pemukiman Airmata yang mengalir dan berlabuh di pantai terminal Kupang yang berhadapan dengan laut Sawu dan Samudera Hindia. Di tempat inilah Tiara Alkatiri beristirahat bersama leluhur-leluhur mereka. Jiwaku, cintaku, ikut bersemayam di sini.
[i] sebuah pemukiman Arab muslim di Kota Kupang.