Semi-Agen Sastra & Industri Perbukuan yang Ah Sudahlah

Tanggapan atas esai: Agen Sastra dan Kawan-Kawan Tono yang Menyedihkan

milik Syafiq Addarisiy

1.

Tokoh Jems Bany di esai tersebut adalah saya, Jemi Batin Tikal, yang baru saja menerbitkan buku puisi “Yang Tidak Mereka Bicarakan Ketika Mereka Berbicara Tentang Cinta” Agustus 2023. Sedangkan tokoh Tono tak lain ialah si empu esai. Tetapi agar lebih asyik, tokoh Jems Bany & Tono akan tetap dihidupkan. Esai yang dirangkai oleh Tono adalah buah dari telponan berjam-jam berbulan yang lalu. Tono waktu itu meminta pandangan Jems perihal agen sastra di Indonesia.

Kegelisahan terkait menerbitkan buku memang dialami oleh tokoh Avav Achir yang karena ketidakberuntungan, dua naskahnya, satu esai satu prosa, ngendon di penerbitan berbulan-bulan bahkan bertahun. Malang benar nasibnya, tapi apa daya, penerbit adalah kesunyian masing-masing. Sedangkan Jems sejak 2022 akhir mulai wara-wiri ke sana-sini menanyakan & mengirimkan naskah puisinya ke berbagai penerbit. Tapi, apa daya, Jems yang follower Instagram-nya tak lebih banyak dari pengunjung pasar malam itu, diabaikan penerbit besar di Jakarta, emailnya tak dibalas hingga tulisan ini dirangkai.

Kerena Jems kenal dengan beberapa editor—meski tak akrab benar—yang bekerja di penerbitan, maka dengan menggadaikan rasa malu kepada Lucifer, nekat bertanya langsung.

“Apakah ada jatah kosong untuk naskah puisi?”

“Mohon maaf, penerbit kami hingga 2025 hanya menerbitkan prosa.” Jawab editor penerbit pertama. Padahal penerbit ini didirikan oleh seorang penyair & citra baiknya dibangun oleh puisi.

“Mohon maaf, jika mau menunggu, saya usahakan (walau belum pasti) untuk terbit di 2025. Saat ini kami hanya menerbitkan buku bertema self-improvement & pop-korea.” jawab penerbit kedua.

Jems menarik napas dalam-dalam & mengembuskan, “Lu punya follower lu punya kuasa. taik!”

2.

Sebelumnya, perlu diketahui dulu kenapa Tono meminta pandangan pada Jems. Jems adalah seorang penulis sekaligus seorang yang bekerja di penerbitan sekaligus semi-agen sastra. Istilah semi-agen merupakan istilah yang dikarang Jems sendiri. Jems sendiri sangat pesimis adanya agen sastra di Indonesia, penyebabnya adalah iklim literasi & industri perbukuan yang belum sehat. Rendahnya daya beli & baca masyarakat jadi salah satu penyebab. Jika pandangan itu terlalu menggeneralisir, maka kita zoom in, rendahnya daya beli terhadap buku-buku sastra.

Ada anggapan tak tertulis di kalangan penulis puisi & penerbitan, bahwa jika buku puisi bisa terjual 100 eksemplar, maka itu sudah dianggap laris. Atas dasar daya serap pasar yang rendah itulah, penerbit tidak mau ambil risiko & rugi. Penerbitan buku bukan hanya perkara konten & ideologi, tetapi juga hitung-hitungan bisnis. Maka tak bisa pula kita arahkan jari tengah kekesalan pada penerbit self-publishing, atau penerbit yang menerbitkan buku self-improvement dan lain-lain. Mereka realistis.

Ketika Jems mewakili penerbit dalam mengurusi produksi buku puisi, bos percetakan tepok jidat & geleng-geleng kepala sembari mengajukan pertanyaan bernada pesimis, “kenapa penerbit kalian menerbitkan buku puisi?” Tanyanya tak habis pikir.

Ketika ditelpon Tono, Jems menjelaskan betapa sulitnya jadi penulis di Konoha, eh maksudnya Indonesia. Jems kala itu membandingan dengan sepakbola, betapa tugas pemain bola hanya cukup berlatih & bermain bola sebaik mungkin, urusan administasi, lobi-lobi, iklan, sponsor dan tetek-bengek lain ditangani oleh seorang agen. Sedangkan Jems tak ubahnya lirik lagu Angka Satu yang dinyanyikan Caca Handika, apa-apa sendiri.

Bahkan Jems merasa hampir-hampir jadi manusia super, Ia juga harus belajar mem-branding dirinya sendiri, belajar marketing, membuat video, cari ruang-ruang yang mau mendiskusikan bukunya, melayani pemesan, menguasi elemen api, menghadapi bencana alam, letusan gunung berapi, dan peperangan.

3.

Apa itu semi-agen sastra yang dikarang Jems?

Baiklah, di awal sudah dijelaskan bahwa Jems ialah seorang penulis yang bekerja di penerbitan. Atas dasar itulah, Jems memiliki kawan-kawan dengan minat yang sama, yaitu menulis. Oleh sebab itulah, Jems membantu merekomendasikan kepada pimpinan redaksi & bos penerbitan, agar naskah kawannya bisa diterbitkan. Biasanya, jika pimred senang dengan naskah yang dibawa, Jems pula diminta untuk mendandani naskah itu, bahkan mengawal sampai tahap produksi.

Selain itu, Jems juga menerangkan kepada kawannya perihal kontrak MoU penerbitan, kenapa harganya begini, kenapa royaltinya begitu, ke mana saja buku didistribusikan, mengingatkan pihak penerbit untuk transfer royalti, dll. Intinya Jems menjamin bahwa kawannya tidak akan dirugikan.

Karena pengalaman bekerja di penerbitan itulah, berbulan lalu Tono datang ke kos-kosan Jems untuk menanyakan kontrak yang disodorkan sebuah penerbit yang mau menerbitkan naskah Tono. Kala itu Tono datang dengan wajah ragu, lugu bin tolol. Maka Jems yang punya sedikit pengalaman itu, menyarankan agar Tono tak usah menandatangani kontrak jahat bin licik itu.

Apakah pekerjaan Jems membantu kawannya mendapatkan untung materi?

Tidak, sama sekali tidak. Jems bukan agen sastra resmi seperti industri perbukuan di Barat. Jems juga tak ada kontrak apa-apa dengan pihak penerbit jika sebuah buku terbit. Yang Jems dapatkan hanya raut kebahagiaan kawan-kawan setelah buku terbit & ucapan “terima kasih” dari pihak penerbit & penulis. Tapi, itu semua sudah cukup bagi Jems.

Mari kita berandai-andai, bayangkan sebuah buku sastra dijual seharga 50.000, penulis mendapatkan royalti 10% dari harga jual, buku laku 100 eksemplar, maka penulis mendapatkan royalti 500.000. Sedangkan menurut esai Tono sebelumnya, seorang agen mendapatkan 15% dari royalti penulis, berarti agen akan mendapatkan 75.000. Hitungan laku 100 eksemplar sudah sangat realistis & sebenarnya sangat muluk untuk buku sastra di Indonesia, wabil khusus puisi. Bayangkan, siapa orang yang mau dibayar 75.000 dalam kerja sebulan. Apalagi kerja mengurus penerbitan sungguh sangat menyita tenaga, pikiran & waktu. Setan pun enggan.

Nasib buku puisi Jems yang baru terbit Agustus lalu di penerbit Litani, sejatinya juga tak lepas dari peran semacam semi-agen sastra ini. Rifai Aka yang seorang ilustrator punya relasi dengan penerbit, kemudian membawa & menawarkan naskah Jems. Untungnya penerbit mau bersusah payah menerbitkan buku puisi debutan dari penulis muda pula, yang bahkan media sosialnya tak satu pun centang biru.Hal-hal semacam di atas sebenarnya lazim terjadi dalam industri perbukuan kita. Orang-orang yang membawa naskah penulis lain biasanya karena kebetulan bekerja di penerbitan atau punya kenalan penerbit, atau alasan lain, kasian & tak tega melihat naskah kawannya ditolak di sana-sini. Apakah orang-orang ini bukan agen sastra? Bagi Jems mereka agen, tepatnya semi-agen sastra, karena tidak bekerja resmi seperti agen-agen sastra di Barat sana.

Soal agen sastra di Indonesia?

Jems malah baru tahu dari esai Tono bahwa di Indonesia ada dua agen sastra. Tapi, hingga hari ini Jems tidak tahu apa saja yang telah mereka lakukan, apa langkah-langkah yang dirancang dalam membawa naskah bagus dari luar ke Indonesia atau membawa naskah bagus dari Indonesia ke luar. Ketidaktahuan Jems ini bukan berarti dua agen itu tak melakukan apa-apa. Jems sejatinya hanya anak muda & seorang baru dalam industri buku, sederhananya, Jems mainnya kurang jauh.

4.

Kekesalan Jems?

Bagaimanapun kehadiran pemerintah diperlukan dalam urusan buku & urusan lain. Tapi sejak kapan negara & pemerintah hadir? Untuk urusan buku, pemerintah Indonesia bisa meniru Korea Selatan, yang konon berani menggelontorkan dana besar, terencana, untuk bermanuver mengenalkan budayanya ke luar. Hal itu bisa kita lihat Korean Pop menjamur, serupa virus menjangkiti banyak warga di negara lain. Itu untuk urusan musik & film. Pada wilayah sastra, akhir-akhir ini nama penulis Korea Selatan akrab di telinga, mata, dan diperhitungkan dalam peta sastra Asia & dunia. Apakah hal itu karena faktor keberuntungan seperti bintang jatuh dari langit. Tidak. Saya ulangi tidak. Itu semua karena kepedulian negara termasuk giatnya bekerja pemerintahan di sana, manajemen yang baik, serta industri yang sehat & didukung penuh.

Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 5 Tahun 2020, sebagai upaya meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa dengan membantu tersedianya buku dengan harga yang relatif terjangkau bagi masyarakat, pemerintah memberikan pembebasan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Buku apa saja yang bebas PPN? Buku pelajaran umum/pendidikan, kitab suci, & buku pelajaran agama. Sedangkan buku-buku sastra tidak (semoga saja Jems salah membaca peraturan tadi). Pertanyaannya apakah buku-buku sastra tidak mendidik?

Ini belum lagi soal Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, untuk teman-teman yang belum tahu, tiap judul buku terbit, penerbit wajib menyerahkan 2 eksemplar, diserahkan cuma-cuma. Belum lagi perpustakaan tiap daerah yang biasanya meminta 1 eksemplar. Idealnya dua lembaga ini membeli, bukan meminta buku. Itupun jika mereka ingin menyehatkan iklim perbukuan atau merealisasikan jargon “kampanye literasi” yang selama ini digaungkan. Tapi kenyataannya tidak, jauh panggang dari api, jauhhhh sekaliii.

Apakah di Indonesia ada orang yang cukup gila untuk berprofesi sebagai agen sastra mengingat royalti penulis Indonesia yang konon amat sangat kecil itu?

Pertanyaan di atas adalah pertanyaan Tono di esainya. Saya berani menjawab: tidak. Jika ada, maka itu adalah sejenis manusia setengah nabi. Dan jikapun ada, mereka bisa dikategorikan semi-agen sastra, yang keinginannya sederhana: melihat raut bahagia wajah kawannya ketika buku terbit.

Jogja, akhir Agustus 2023.





Bagikan:

Penulis →

Jemi Batin Tikal

Belajar menulis puisi, cerita pendek, dan esai. Buku puisinya yang telah terbit Yang Tidak Mereka Bicarakan Ketika Mereka Berbicara Tentang Cinta (Agustus 2023, Litani Literasi). Kesehariannya diisi dengan kadang membaca, kadang menulis, kadang menyunting buku, dan buruh di penerbitan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *