Percakapan

BEGITU kembali ke Amerika, Aku ingin terus menggunakan bahasa Italia. Tapi dengan siapa? Aku tahu beberapa orang di New York yang bisa berbicara dengan lancar, tapi aku malu berbicara dengan mereka. Aku membutuhkan seseorang yang memahami kesulitan dan kekuranganku.

Suatu hari, aku pergi ke Casa Italiana di New York University untuk mewawancarai seorang penulis Romawi terkenal, seorang perempuan yang memenangi Strega Prize. Aku berada di ruangan yang begitu ramai, tempat semua orang berbicara bahasa Italia dengan lancar kecuali aku.

Direktur lembaga itu menyambutku. Aku memberitahunya kalau aku ingin melakukan wawancara dalam bahasa Italia. Bahwa setahun yang lalu aku belajar bahasa tersebut, tapi belum bisa berbicara secara lancar.

“Harus dilatih,” kataku.

“Ya, kau harus berlatih,” dia menjawab ramah.

Di tahun 2004, suamiku memberikan semacam hadiah: secarik kertas robek dari pemberitahuan yang kebetulan ia dapati lingkungan tempat tinggal kami di Brooklyn. Di permukaannya, tertulis “Imparare I’italiano,” “Learn Italian.” Aku menganggapnya sebagai pertanda. Kutelepon nomor yang tertera untuk membuat janji-temu. Seorang perempuan yang energik dan menyenangkan, datang ke rumahku. Dia berasal dari kota Milan. Dia mengajar di sekolah swasta, dan tinggal di daerah pinggiran kota. Dia menanyakan alasanku belajar bahasa tersebut.

Aku menjelaskan padanya, kalau aku akan pergi ke Roma untuk menghadiri festival sastra lain di musim panas mendatang.Itu alasan yang cukup masuk akal sebagai motivasi. Aku tidak mengungkapkan kepadanya bahwa aku menyukai bahasa Italia, bahwa aku memupuk harapan–sebenarnya mimpi–untuk memahaminya dengan baik. Aku tidak bilang padanya kalau aku sedang mencari cara mempertahankan bahasa yang tidak ada keterkaitannya dengan hidupku itu. Juga soal betapa aku merasa tersiksa, betapa aku merasa tidak utuh. Seakan bahasa Italia adalah sebuah buku, dan sekeras apa pun aku berusaha, aku tidak bisa menuliskannya.

Pertemuan kami berlangsung satu jam setiap minggunya. Aku sedang mengandung anakku yang akan lahir bulan November kelak. Dan aku mencoba berbincang. Di akhir sesi belajar kami, guru itu memberikan list kata-kata yang kubutuhkan sepanjang percakapan. Dengan rajin, aku memeriksanya dan memasukkannya dalam catatanku. Tapi aku tidak bisa mengingat mereka.

Setibanya di festival Rome, aku berhasil bertukar tiga, empat, atau lima kalimat dengan orang yang kutemui. Setelah itu aku berhenti; merasa tak mampu melakukan lebih dari itu. Aku menghitung setiap kalimat, seolah-olah mereka skor dalam permainan tenis, atau skor yang kau hitung saat belajar berenang.

Mari kembali ke metafora soal danau–merujuk ke esai Crossing the Lake, sesuatu yang ingin kulewati. Kini aku bisa berjalan di dalam air yang merendam lutut dan pinggangku. Tapi aku masih menjaga kakiku supaya tetap menapak di dasar danau. Hanya itu yang bisa kulakukan, aku melakukan hal itu laiknya orang yang tidak tahu caranya berenang.

Terlepas dari percakapan yang dilakukan, bahasa itu tetap sukar dipahami, hanya berlalu dari ingatan. Bahasa itu bekerja hanya saat bersama seorang guru. Dan dia membawanya masuk ke rumahku, lalu mengambilnya kembali saat pergi. Bahasa itu tampak konkret dan gamblang hanya ketika aku bersamanya.

Anakku telah lahir, sudah empat tahun berlalu, dan aku sudah menyelesaikan buku lain. Setelah terbit di tahun 2008, aku menerima undangan lain untuk mempromosikan buku itu ke Italia. Selama mempersiapkan diri, aku menemukan guru baru. Ia perempuan muda dari Bergamo yang antusias dan penuh perhatian. Dia juga datang ke rumahku sekali seminggu. Kami duduk bersama di bangku, kemudian berbincang. Kami pun berteman dan pemahamanku meningkat secara sporadis. Guru itu amat mendorong diriku dengan mengatakan bahwa aku berbicara dengan baik dan aku akan baik-baik saja selama di Italia nanti. Tapi, kenyataannya berbeda. Ketika aku pergi ke Milan, dan aku mencoba berbicara dengan cerdas dan lancar, aku justru selalu menyadari kesalahan yang menghambatku, membingungkan, hingga aku malah merasa lebih rendah diri.

Di tahun 2009, aku mulai belajar bersama guru privatku yang ketiga. Seorang perempuan dari Venesia yang pindah ke Brooklyn lebih dari tiga puluh tahun lalu, dan membawa anaknya serta ke Amerika. Dia janda yang tinggal di rumah penuh bunga wisteria di sekelilingnya, tak jauh dari jembatan Verrazano. Seekor anjing ramah tampak selalu berada di sisinya. Dan aku perlu waktu sejam untuk sampai ke kediamannya. Untuk sampai ke sana, aku naik kereta bawah tanah ke pinggiran Brooklyn yang letaknya di jalur kereta paling akhir.

Aku menyukai perjalanan itu. Seolah saat keluar dari rumah, bagian dari hidupku tertinggal di belakang. Aku tidak memikirkan tulisan-tulisanku. Selama beberapa jam, aku melupakan bahasa lain yang kuakrabi. Setiap saat, rasanya seperti penerbangan pendek. Hal yang menantiku adalah tempat di mana hanya bahasa Italia yang berarti bagiku. Sebuah tempat yang menaungi realitas baru bagiku.

Aku amat menyukai guruku. Kendati dalam kurun waktu empat tahun itu kami berinteraksi secara formal, kami justru jadi akrab, sebuah hubungan yang informal. Kami duduk di bangku kayu di dapur, di depan meja kecil. Aku mendapati buku-buku terpajang di raknya, ada juga potret cucunya. Sementara di dindingnya, tergantung pot kuningan yang tampak indah. Di rumahnya, aku memulai kembali dari awal: klausa pengandaian, ungkapan tak langsung, penggunaan kalimat pasif. Bersamanya, rencanaku tampak lebih memungkinkan ketimbang mustahil tercapai. Bersamanya, pengabdianku yang berlebihan terhadap bahasa ini tampak seperti panggilan diri daripada rencana yang konyol..

Kami membicarakan kehidupan kami, juga soal keadaan dunia. Kami juga melakukan banyak latihan dengan topik ringan tapi perlu dilakukan. Ia senantiasa mengoreksi kesalahanku. Selagi aku mendengarkannya, aku pun sambil mencatatnya di notesku. Begitu latihan itu selesai, aku kelelahan sekaligus merasa siap untuk pertemuan berikutnya. Dan setelah mengucapkan selamat tinggal dan menutup gerbang di belakangku, aku tidak sabar untuk kembali ke sana.

Di titik tertentu, aku merasa belajar bersama guru Venesia itu menjadi aktivitas favoritku. Selama aku belajar bersamanya, langkah selanjutnya, langkah yang tak bisa dielakkan dalam perjalanan linguistik yang aneh ini tampak lebih jelas. Sampai akhirnya, aku memutuskan pindah ke Italia.







Bagikan:

Penulis →

Jhumpa Lahiri

Penulis yang telah menghasilkan empat karya fiksi: Interpreter of Maladies, Unnaccustomed Earth, The Namesake, dan The Lowland. Dia menerima sejumlah penghargaan, termasuk The Pulitzer Prize, the PEN/Hemingway Award, the Frank O’Connor International Short Story Award, the Premio Gregor von Rezzori, the DSC Prize for South Asian Literature, sampai penghargaan dari Presiden Barack Obama. Naskah ini diterjemahkan dari esai berjudul “The Conversations”. Esai itu terkumpul dalam buku In Other Words (Alfred A. Knopf, New York, 2016). Buku itu memuat esai-esai Jhumpa Lahiri yang berkaitan dengan perjalanannya bersama bahasa Italia dan ditulis langsung dengan bahasa tersebut. Edisi bahasa Inggris dari buku ini diterjemahkan oleh Ann Goldstein. Dialihbahasakan oleh Wahid Kurniawan, penikmat buku, mahasiswa sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *