Hindia dalam Imajinasi Iksaka Banu


DALAM kata pengantarnya, Nirwan Dewanto mengibaratkan cerita-cerita dalam buku Semua untuk Hindia serupa teh manis yang tetap harus mengandung pahit supaya tak kehilangan rasa tehnya. Alih-alih teh manis, bagi saya, tiga belas cerita pendek yang dihadirkan Iksaka lebih seperti kopi hitam yang, sekalipun sudah dibubuhi gula tiga sendok teh penuh, rasa pahitnya tetap kuat. Rasa manis dalam kopi hanya terasa sekejap, malahan nyaris tidak ada. Hal ini kelihatan jelas dari beragam peristiwa yang disuguhkan Iksaka dalam setiap cerpennya. Tak jarang saya mendapati cerita yang begitu tragis dan mengerikan. Hindia dalam imajinasi Iksaka Banu mampu membawa kita pada masa lampau yang begitu jauh, tetapi juga terasa dekat.

Sama halnya ketika membaca ulang buku lain. Membaca ulang kumcer Semua untuk Hindia untuk kedua kali setelah empat tahun, juga membuat saya mengerti dan memahami lebih dalam makna maupun alur masing-masing cerita, serta menemukan isu-isu yang sebelumnya tidak terlihat. Misalnya, penyalahgunaan kekuasaan, relasi kuasa, hukuman perzinahan yang tidak setara, pergundikan, peperangan dan pembantaian. Tidak ada kebahagiaan, kedamaian, dan ketenangan dalam cerita-cerita Hindia karya Iksaka. Sebagian besar ceritanya menggambarkan kepiluan dan kepahitan hidup yang dialami, baik bumiputra maupun orang-orang Eropa, selama masa kolonial. Kita tidak akan menemukan satu pun cerita yang menyenangkan. Kita akan menemukan kenyataan yang memilukan.

Enam cerpen pertama Selamat Tinggal Hindia , Stambul Dua Pedang , Keringat dan Susu , Racun untuk Tuan , Gudang Nomor 012B , Semua untuk Hindia menceritakan tentang perempuan-perempuan yang mana empat di antaranya merupakan perempuan bumiputra dan mengangkat tema tentang nyai atau gundik. Pada masa kolonial, nyai adalah sebutan bagi perempuan pengurus rumah tangga termasuk tugasnya memenuhi kebutuhan seks laki-laki Eropa, dan menjadi ibu dari hasil hubungan itu. Singkatnya, berdasarkan KBBI, nyai adalah gundik orang asing (terutama orang Eropa). Menjadi seorang nyai tidak memerdekakan, tidak mengubah nasib menjadi lebih baik, dan tidak meningkatkan status sosial. Ketidakberdayaan, keterpaksaan, tidak diberikan pilihan, dan tidak bebas sangat jelas terlihat dari kehidupan Sarni, Imah, dan Nyai Icalan Beas. Seperti kata Sarni, “…hidup sebagai nyai seperti berjudi. Tak ada yang pasti. Tak ada yang abadi.” (Halaman 21)

Dalam beberapa cerpennya, Iksaka memperlihatkan pada kita beberapa bentuk perlawanan, kalau bukan pemberontakan, seorang perempuan, baik sebagai nyai maupun istri laki-laki Eropa. Perlawanan dan upaya Sarni untuk hidup bebas sesuai keinginannya bisa dilihat dalam cerpen Stambul Dua Pedang . Ia memilih mengikuti kata hati untuk lepas dari kehidupannya sebagai Nyonya Van Rijk. Pun tetap menganggap dirinya perempuan yang punya harga diri terlepas dari statusnya sebagai nyai, dan menolak disamakan dengan sundal ketika kekasih gelapnya berbicara soal kesamaan nasib mereka. “Aku-bukan-perempuan-sembarangan. Ayahku tidak kaya, tapi dia juru tulis perkebunan. Mengerti? Di luar itu, terutama yang menyangkut diriku saat ini, semata soal nasib. Apakah wanita bisa mengelak dari nasib yang dipilihkan lingkungan untuknya?” (Halaman 18) Membaca kata-kata Sarni membikin hati saya terenyuh.

Lain lagi dengan Imah yang telah mengisi kekosongan hidup Fred, administratur perkebunan tembakau, dan dicampakkan setelah enam tahun bersama. Hubungan mereka terpaksa diakhiri Fred ketika istri Eropanya hendak datang dari negeri Belanda. Meski tidak kentara, “makan malam” yang disajikan Imah boleh dibilang bentuk luapan kemarahannya atas pilihan yang diambil Fred. “Sayangnya, tak tersedia lagi pilihan yang lebih baik untuk menyelamatkan sesuatu yang hanya kupinjam sebentar untuk menggenapi kekosongan hidupku tempo hari.” (Halaman 39) Bagi saya, pilihan Fred lebih terdengar seperti dalih. Tampak sekali pilihannya cuma menguntungkan dan menyelamatkan dirinya sendiri, bukan menyelamatkan Imah. Imah dalam cerita Racun untuk Tuan adalah contoh sebenarnya dari habis manis, sepah dibuang. Saya suka dengan cara Imah membalas keputusan Fred dengan tetap tenang dan tetap menyiapkan “makan malam”.

Perlawanan yang tidak kalah keren dari Sarni dan Imah bisa kita temukan dalam cerpen Mawar di Kanal Macan . Adelheid Ewald, istri seorang Belanda, merasa hidupnya luluh lantak lantaran suaminya yang merupakan pria terhormat memiliki seorang gundik dan anak di Hindia. Rasa sakit hati atas pengkhianatan suaminya tetap ada sekalipun Adelheid berhasil memenangkan kasusnya di pengadilan dan mendapatkan yang diinginkan. Ia memiliki hubungan romansa yang terhalang norma sosial dengan Letnan Jan Nicholas Dapper. Pertemuan keduanya di kedai sekaligus menandai berakhirnya hubungan mereka. Adelheid yang seolah-olah tahu akan dikhianati lagi, tanpa sepengetahuan Letnan Dapper memilih melakukan hal mengejutkan yang tidak hanya menjatuhkan hidupnya, tetapi juga masa depan Letnan Dapper.

Perihal perang, saya teringat dua kutipan dalam novel fiksi ilmiah-distopia berjudul Fireflies in the Midnight Sky karya Francisca Todi yang menceritakan tentang perang dan pergulatan dua negeri, “Perang merenggut nyawa siapa pun yang bisa direnggut, menghancurkan siapa pun yang bisa dihancurkan. Perang tidak pernah peduli dari negeri mana kau berasal.” Kutipan ini sangat menggambarkan peristiwa pembantaian orang-orang Tionghoa dalam cerpen Bintang Jatuh . Juga perang antara pemerintah Hindia Belanda dan penguasa Bali dalam cerpen Semua untuk Hindia yang menewaskan banyak korban secara tragis. Dua cerpen tersebut menunjukkan bahwa tidak ada kebaikan dalam perang dan siapa pun bisa menjadi korban.

Francisca dalam novelnya juga berkata, “Mungkin perang … tidak pernah hitam-putih. Ada masa ketika semua menjadi kelabu dan kabur, benar atau salah, teman atau musuh.” Selaras dengan perkataan Iksaka terkait sejarah dalam pengantar kumcer ini, “Membuat saya semakin percaya bahwa sejarah tidak pernah hadir hitam-putih, melainkan senantiasa sarat warna, sekaligus paradoksal.” Hal itu dapat kita lihat secara gamblang dari cerita dalam dua buku tersebut. Tidaklah salah kalau saya menyimpulkan bahwa sejarah amat dekat dengan kesuraman.

Tilikan dan Ajakan untuk Mengingati Sejarah

Tilikan Iksaka terhadap sejarah Hindia Belanda dan kegemarannya membaca buku sejarah kolonial Indonesia tampak sekali dari narasi yang detail serta penggambaran latar tempat dan waktu yang kuat. Peristiwa-peristiwa sejarah yang ditampilkan begitu nyata sehingga menghanyutkan sekaligus membikin kita bergidik dan emosi. Iksaka sangat berhasil mengubah kita (seakan-akan) menjadi tokoh-tokohnya yang “melihat dan mengalami” langsung. Kadang, kita berperan sebagai perempuan-perempuan dengan nasib dan kepahitan hidup yang berlain-lainan. Kadang, kita menjadi administratur perkebunan tembakau yang mencampakkan gundiknya, letnan yang kemampuan militernya dimanfaatkan penguasa dan mendapat tugas rahasia, wartawan yang saat meliput perang melihat korban yang tewas secara tragis, inspektur yang dikhianati opasnya, dll. Menurut saya, semua hal itu tidak akan tercapai tanpa riset dan kecermatan mendalam.

Dalam pandangan saya, dan kalau boleh berimajinasi, tiga belas cerita tilikan Iksaka menunjukkan alternatif situasi yang bisa saja terjadi dari pilihan lain yang diambil tanpa meniadakan sejarah yang sebenarnya. Sayangnya, beberapa cerpennya seringkali baru terasa seru menjelang akhir sehingga saya merasa akhir ceritanya seperti agak dipaksakan untuk selesai dan kurang memuaskan. Contohnya, cerpen Selamat Tinggal Hindia dan Stambul Dua Pedang yang, bagi saya, akhirnya kurang gereget dan terasa tanggung. Saat sedang asyik-asyiknya menikmati cerita, tahu-tahu selesai begitu saja. Padahal, kalau dilanjutkan sedikit lagi tampaknya akan jauh lebih nikmat. Ada pula cerpen Penunjuk Jalan tentang dokter yang bertemu dengan Pangeran Kebatinan di hutan dan meminta bantuannya untuk menunjukkan jalan
ke Batavia, yang alurnya cukup bisa ditebak.

Melihat cerpen Stambul Dua Pedang dan Racun untuk Tuan rasanya keliru kalau mengategorikan buku ini untuk pembaca berusia 13+. Menurut saya, kumcer Semua untuk Hindia lebih pas untuk pembaca 17+. Karena ada satu dua bagian yang tidak tepat dibaca oleh pembaca usia 13+ dan bisa memancing rasa penasaran meskipun penyampaiannya halus. Ada lima cerpen yang paling saya suka: Stambul Dua Pedang , Racun untuk Tuan , Semua untuk Hindia , Bintang Jatuh , dan Mawar di Kanal Macan . Bagi saya, dari segi karakter tokoh dan plot, kelima cerpen itu lebih kuat dan lebih memikat. Pengalaman panjang Iksaka dalam tulis-menulis dari sejak masih kanak-kanak sangat tampak dari kepiawaiannya bercerita dan membangun suasana. Beberapa cerita dengan alur yang meski kelihatannya biasa saja, tetap menarik dan membekas.

Saya memandang buku Semua untuk Hindia sebagai sebuah ajakan dari Iksaka untuk mengingati sejarah. Sebagaimana yang pernah diucapkan Ir. Soekarno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri.” Karenanya, melihat, menelusuri, dan mengenang kembali sejarah tetap diperlukan meskipun adakalanya kata-kata tidak dapat menjelaskan kepahitan yang kita rasakan. Seperti ketika membaca cerita-cerita dalam kumcer fiksi sejarah ini. Sulit untuk mendeskripsikan perasaan dan emosi campur aduk yang saya alami. Kengerian, kekerasan, dan kekejian adalah tiga kata yang paling melekat selepas membaca pun dalam menggambarkan hampir keseluruhan cerita pendek dalam kumcer Semua untuk Hindia. Sejarah laiknya kopi hitam. Pahit, tetapi masih tetap enak dinikmati.




Bagikan:

Penulis →

Launa Rissadia

Blogger dan peresensi buku. Selain di blog bukunya (launar.wordpress.com), resensinya juga tersebar di web Koran Jakarta, Magrib.id, Bacapetra.co, dan Omong-Omong Media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *