“Pak, kamu pikir menjadi penyair itu bisa menghasilkan uang?”
“Loh siapa yang cari uang, Bu? Aku kan cuma mau jadi penyair, titik.”
Pak, kamu pikir menjadi penyair itu bisa menghasilkan uang?”
“Loh siapa yang cari uang, Bu? Aku kan cuma mau jadi penyair, titik.”
“Iya, tapi kalau Bapak menjadi penyair, bisnis bakso kita nanti malah telantar. Apa Bapak tidak mikir bisnis bakso kita ini sudah begitu masyhur seantero kota Edan?”
“Bu, jadi penyair itu panggilan jiwa. Sama halnya seperti ketika jiwa memanggil kita untuk berbuat baik kepada sesama. Apakah kita pantas menolak panggilan yang baik?”
Istri Abdul Jamil diam. Kemudian melengos pergi melanjutkan membuat bakso. Kesal melihat tingkah istrinya, Abdul Jamil keluar rumah. Dia nyalakan mesin motor, kemudian langsung tancap gas menuju sebuah kafe.
Di kota Edan, ada sebuah kafe yang menu serta dekorasinya beraroma puisi. Mulai dari nama menu yang diberi nama penyair legenda kota Edan, dinding dan meja kafe juga dipenuhi gambar-gambar penyair, atau potongan-potongan puisi para penyair ternama kota Edan.
Setiap malam di kafe puisi itu penyair-penyair top kota Edan acap kali nongkrong. Sebut saja: Dadang Ari Murtono (DAM), Kiki Sulistyo, Alex R. Nainggolan, Budhi Setyawan (lebih dikenal dengan nama Buset), bahkan Bamby Cahyadi yang sebenarnya seorang cerpenis juga sering nongkrong. Malah beberapa kali Bamby juga diminta membacakan puisi.
Abdul Jamil yang masih baru beberapa hari memproklamirkan diri menjadi penyair tak sedikitpun terlihat kikuk ketika duduk di dekat para penyair top kota Edan. Malah ia merasa seperti sudah akrab dengan mereka. Sehingga salah satu penyair akhirnya memberanikan diri bertanya perihal karya puisi Abdul Jamil.
“Sudah punya berapa buku puisi, Bung?” tanya penyair Buset bersemangat.
“Belum punya satu pun,” jawab Abdul Jamil enteng.
O… kalau begitu puisi-puisi Bung sering diterbitkan di mana?” tanya penyair DAM sambil membakar rokok Amerikanya.
“Tidak pernah dimuat di mana-mana juga,” balas Abdul Jamil sambil menyeruput kopi hitam tanpa gula kesukaannya.
“Bagaimana kalau malam ini membacakan salah satu puisi karya, Bung,” tantang penyair Alex.
Abdul Jamil diam sesaat. Kemudian membakar rokok. Dalam hatinya mulai terbit kecemasan. Apa yang mau dibaca? Satu puisi saja belum pernah dia tulis, batinnya. Tapi bukan Abdul Jamil namanya kalau tidak bisa menyikapi situasi yang sedang ia dihadapi. Abdul Jamil pun menganggukkan kepala tanda setuju.
Santai dia berjalan menuju sebuah pentas kecil yang memang disediakan kafe puisi itu untuk siapa saja yang ingin membaca puisi. Sebuah mikrofon sudah tersedia di atas pentas. Tenang Abdul Jamil memegang mikrofon dan mulai membaca puisi.
“Menjadi penyair lagi, karya Abdul Jamil bin Abdul Jamal.”
Serentak penyair Buset, DAM dan penyair Alex memerhatikan Abdul Jamil dengan saksama. Malam itu memang hanya tiga penyair yang ketepatan nongkrong di kafe puisi. Penyair Kiki dan cerpenis Bamby sepertinya sedang absen.
“Melva, di Karang Setra, kutemukan helai-helai rambutmu/ Di lantai keramik yang licin/ Aku selalu terkenang kepadamu/ Setiap menyaksikan iklan sabun, sampo, atau pasta gigi/ Atau setiap menyaksikan penyanyi dangdut di televisi/ Kini aku sendirian di hotel ini dan merasa/ Menjadi penyair lagi/ Bau parfummu yang memabukkan/ Tiba-tiba menyelinap lewat pintu kamar mandi/ Dan menyerbuku bagaikan baris-baris puisi/ Kau tahu, Melva, aku selalu gemetar oleh kata-kata/ Sedang bau aneh dari tengkuk, leher dan ketiakmu itu/ Telah menjelmakan kata-kata juga…”1
Penyair Alex berdiri, sepertinya sadar kalau puisi yang dibaca bukanlah karya Abdul Jamil, melainkan karya seorang penyair senior yang mereka hormati. Namun saat hendak melangkahkan kaki, penyair Buset dan penyair DAM menahan laju penyair Alex.
“Biarkan dia menyelesaikan bacaannya,” kata penyair Buset. Penyair Alex pun duduk kembali meski dengan raut wajah yang terlihat dongkol.
Sementara itu di atas pentas, Abdul Jamil tampak masih khusyuk membaca puisi.
“Kini aku sendirian di hotel ini dan merasa/ Menjadi penyair lagi/ Helai-helai rambutmu yang kecokelatan/ Kuletakkan dengan hati-hati di atas meja/ Bersama kertas, rokok dan segelas kopi/ Lalu kutulis puisi…”2
Mendadak Abdul Jamil berhenti, dan duduk kembali di kursinya.
Ketiga penyair yang menyaksikan hal itu pun heran. Kenapa Abdul Jamil tidak menyelesaikan puisi yang dibacanya? Apa dia lupa larik-larik berikutnya? Atau Abdul Jamil sadar bahwa kebohongannya telah terendus para penyair? Ah, entahlah, mereka pun hanya bisa menduga-duga.
“Aku rasa cukup segitu dulu,” kata Abdul Jamil buka suara saat ia kembali ke kursi tempatnya semula duduk.
“Oh, memangnya masih ada sambungannya lagi?” tanya penyair DAM menyelidiki.
“Ya, tapi aku masih kesusahan menyambungnya,” balas Abdul Jamil spontan.
“Susah atau karena Bung tidak hafal kelanjutan puisi itu?” serang penyair Alex kesal.
Abdul Jamil kaget. Dia tak menyangka penyair Alex berkata begitu kepadanya. Buru-buru dia seruput kopi, dan membakar rokoknya lagi. Mungkin dia sedang mencoba menenangkan diri yang terasa mulai terpojok.
Penyair DAM memberi kode kepada penyair Alex untuk tenang. Seolah berkata, pelan-pelan jangan langsung disikat. Bagaimana pun Abdul Jamil tetaplah seorang yang suka pada puisi. Belakangan ini susah mencari orang yang suka pada puisi.
“Maaf, Bung, bukan bermaksud menuduh, tapi puisi yang Bung bacakan tadi sungguh sangat mirip dengan puisi penyair senior yang kami hormati. Boleh cerita sedikit proses kreatif lahirnya puisi Bung itu?” penyair Buset hati-hati bertanya pada Abdul Jamil.
Abdul Jamil gugup. Dia kini mirip jagung yang direbus. Puluhan telur keringat menetas dari dahinya. Dia merasa seolah sedang diinterogasi guru saat berbuat kesalahan di sekolah. Bingung harus menjawab apa, tangan Abdul Jamil pun terlihat gemetar ketika kopi ingin ia seruput kembali.
Penyair DAM melihat perubahan pada gestur Abdul Jamil. Penyair DAM pun tak sampai hati memberondong Abdul Jamil dengan pertanyaan-pertanyaan yang berpotensi semakin menyudutkan Abdul Jamil. Kesudahannya penyair DAM malah mencoba menenangkan Abdul Jamil yang sudah seperti maling kepergok beraksi.
“Tenang, Bung, kami bukan bermaksud tidak baik. Kami senang di kota yang penuh preman ini masih ada orang seperti Bung yang suka, dan tentunya peduli pada puisi,” kata penyair DAM lembut, lalu melanjutkan, “Oleh karenanya, kami ingin Bung berkata jujur tentang puisi itu. Sebab modal yang paling penting dari seorang penyair adalah kejujuran. Kejujuran akan melahirkan karya-karya yang menggugah dan menginspirasi orang banyak.”
Abdul Jamil tertunduk malu. Tak lama terdengar suara isak tangis Abdul Jamil menyembur. Makin lama suara tangis itu terdengar semakin menyayat hati siapa saja yang mendengarkannya. Penyair Alex yang tadinya begitu sebal, pun terlihat haru menyaksikan Abdul Jamil yang menangis. Dia mencoba menguatkan Abdul Jamil dengan mengelus punggungnya yang kurus itu.
“Sudahlah, Bung, katakan saja! Kami tidak akan memusuhi Bung, apalagi menjauhi Bung. Malah kami ingin setelah ini Bung mau benar-benar serius menulis puisi. Dan mari kita rayakan setiap pertemuan kita dengan puisi,” kata penyair Alex yang ikut pula diamini penyair DAM dan penyair Buset.
“Sebenarnya saya tidak ada niat ingin mengakui puisi itu adalah karya saya. Namun saat tuan-tuan penyair bertanya tentang karya, jujur saya belum punya satu buah karya pun. Sebab baru 2 hari yang lalu saya memutuskan menjadi penyair. Dan tujuan saya datang ke kafe ini awalnya hanya mau mencari inspirasi,” jawab Abdul Jamil masih dengan wajah menunduk.
Perlahan Abdul Jamil pun berani mengangkat wajahnya dan melanjutkan ceritanya, “Saya tidak menyangka begitu duduk di kafe ini bisa langsung bertemu tuan-tuan penyair. Saya pikir apa salahnya saya ikut nimbrung dengan para penyair. Tetapi, eh kok malah ditanya, dan diminta membaca puisi. Sehingga membuat saya panik, dan sekenanya saja membaca puisi itu.”
“Kenapa tidak katakan saja dari awal?” balas penyair Buset.
“Nah itu, saya takut tuan-tuan cuekin. Padahal kan saya sebenarnya mau belajar jika diperbolehkan,” jawab Abdul Jamil sambil menunduk kembali.
Serentak tiga penyair top itu tertawa. Namun saat ketiga penyair itu masih dalam lautan tawa, mendadak dari arah pintu kafe muncul tiga lelaki tua yang tanpa basa-basi langsung saja duduk di kursi paling depan, persis di depan panggung.
“Tak ada yang mau baca puisi ini? Kalau tak ada, biar aku yang baca puisi!” kata salah seorang dari tiga lelaki tua itu. Lelaki itu memakai topi, berkaca mata, dan berambut agak gondrong.
Ketiga penyair top Kota Edan terperangah. Mereka seketika ciut begitu menyadari tiga lelaki tua itu ternyata orang yang tidak asing dalam ingatan mereka. Dengan gugup penyair Buset berseru, ”Bukankah itu Tarji, Chairil, dan Rendra?”
Spontan penyair Alex, penyair DAM, juga penyair Buset gegas menuju kursi ketiga orang tua itu. Abdul Jamil yang melihat peristiwa itu bingung. Dalam hati dia bertanya, siapa pula tiga lelaki tua itu? Mengapa tiga penyair top begitu takjub?
Tak mau dikurung penjara kebingungan, Abdul Jamil menyusul ketiga penyair top Kota Edan.
”Siapakah bapak-bapak ini sekalian? Mengapa lagaknya bak penyair paling top pula?’’ kata Abdul Jamil.
Ketiga lelaki tua itu serentak tertawa. Penyair Buset, penyair DAM, dan penyair Alex susah payah memberi kode kepada Abdul Jamil untuk diam tak banyak tanya. Tapi Abdul Jamil seperti tidak memperdulikan kode ketiga penyair top itu. Dia malah kembali bertanya. Saat dia ingin melayangkan pertanyaannya, salah seorang dari tiga lelaki tua itu buka suara.
”Aku binatang jalang, kau mau apa?”
Abdul Jamil terdiam. Dia seperti pernah mendengar kata-kata itu. Tapi di mana aku mendengarnya? Abdul Jamil terus berusaha mengingat. Tetapi tak ada yang dapat dia ingat.
”Saya seperti pernah mendengar kata-kata itu. Itu judul puisi, bukan?” tanya Abdul Jamil menebak.
Ketiga lelaki tua itu tertawa, begitu pula tiga penyair top Kota Edan. Abdul Jamil merasa dipermainkan. Dongkol kepada respon tawa mereka, dia pun bergegas berjalan ke arah pintu keluar.
”Hei, mau kemana? Kemari, kita baca puisi bareng!” kata lelaki tua yang memakai topi dan kaca mata itu.
Mendapatkan tawaran baca puisi bersama, Abdul Jamil memutar kembali langkahnya menuju panggung.
”Tapi saya tidak punya puisi. Apa yang harus saya baca?” kata Abdul Jamil setengah pasrah.
Lelaki tua berkacamata itu pun mengeluarkan secarik kertas. Ternyata lelaki itu memang serius sedari awal ingin membaca puisi. Dan sepertinya puisi itu selalu dibawa ke mana-mana.
”Ikut aku! Nanti ikuti apa yang aku baca, oke!”
Abdul Jamil mengangguk.
Walau “Walau penyair besar/ takkan sampai sebatas Allah/ dulu pernah kuminta tuhan/ dalam diri/ sekarang tak/ kalau mati/ mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat/ jiwa membumbung dalam baris sajak/ tujuh puncak membilang bilang/ nyeri hari mengucap ucap/ di butir pasir kutulis rindu rindu/ walau huruf habislah sudah/ alifbataku belum sebatas Allah”3
Semua takjub melihat Abdul Jamil membaca puisi bersama lelaki tua berkaca mata itu. Selesai membaca puisi, ketiga penyair top Kota Edan mendadak diterkam kaget. Ketiga lelaki tua itu raib begitu saja, termasuk yang sedang membaca puisi bersama Abdul Jamil.
Di panggung, tampak Abdul Jamil berlutut seperti mendapatkan sesuatu yang besar dalam dirinya. Sungguh, Abdul Jamil tak tahu itu apa, dan dia pun tak tahu kalau lelaki yang bersamanya membaca puisi kini juga telah hilang entah kemana.
Kalibata City
1 Puisi karya Acep Zamzam Noor “Menjadi Penyair Lagi”
2 Puisi karya Acep Zamzam Noor “Menjadi Penyair Lagi”
3 Puisi karya Sutardji Calzoum Bachri “Walau”