Pesona Ratu Ruhani dari Bashrah

Judul Buku   : Rabi'ah, Pergulatan Spiritual Perempuan
Penulis      : Margareth Smith, M.A., Ph.D
Penerjemah   : Dra. Jamila Baraja
Penerbit     : Risalah Gusti, Surabaya
Cetakan      : 1997
Tebal Buku   : xxvi + 240 halaman
ISBN         : 979-556-003-4



BERBICARA tentang wanita, seolah tiada habisnya sebagaimana kita berbicara tentang cinta. Bersenandung tentang wanita terasa lebih memukau dibanding ketika memaparkan gejolak asmara. Sehingga untuk memahami wanita, butuh berjilid-jilid buku melebihi lembar-lembar seputar wawasan peradaban manusia.

Margaret Smith, seorang wanita peneliti mistisme dari Inggris, berhasil merampungkan sebuah disertasi seputar biografi tokoh muslim wanita yang masyhur dengan nama Rabi’ah Al Adawiyah, sebagai syarat meraih gelar doktor di bidang Filsafat pada University of London.

Meski Margaret ini seorang pengampu segala perihal dari segi mistis, namun memoar seputar Rabi’ah ini sukses ia paparkan dari segala sisi. Mulai dari sudut pandang, tatakrama, budaya, ilmu, spiritualitas, cinta dan air mata milik Rabi’ah yang sudah masyhur di mayapada.

Satu hal yang tak kalah menarik ialah Margaret ini berkeyakinan Kristen ta’at sepanjang hidupnya, maka untuk dapat menyusun disertasi dengan tarikh Islam sebagai ranahnya, ia mengambil banyak referensi dari beberapa karya penulis sufisme Arab dan Persia. Beberapa sumber yang dikutip oleh Margaret ada yang keseluruhannya berbahasa Arab seperti: Tuhfah an-Nuzzar karya Ibnu Battutah, Ihya ‘Ulumuddin karya Imam Al Ghazali, Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah karya Abu al-Faraj al-Isfahani, dan lain-lain. Ada pula yang berbahasa Urdu seperti Mashahir Niswan karya M. ‘Abbas, berbahasa Turki seperti Meshahir an-Nisa karya M. Zihni.

Untuk lebih mengaktualkan penelitiannya, Margaret juga membongkar beberapa karya pengarang Eropa seperti, The Wilderness of Sinai karya Beadnell, The Spiritual Guide karya De Molinos, Penseurs de l’Islam karya Carra de Vaux, dan masih banyak lagi.

Buku dengan judul asli Rabi’ah the Mystic & Her Fellow-Saints in Islam, telah membuka jendela mata para pembaca bahwa seperti apapun statusnya, wanita selalu memiliki kepribadian unik yang menarik untuk diwacanakan.

Namun, jika keunikan wanita pada umumnya terletak dalam segi sensitifisme, gemar berbicara, senang dijadikan objek perhatian, lain halnya dengan Rabi’ah, sufi wanita yang sohor karena gairah “kesendiriannya”.

Selama ini, rata-rata dari kita hanya mengenal Rabi’ah dari pengakuan cinta yang tinggi terhadap Tuhan yang digambarkan lewat penolakannya untuk menikah. Padahal, gambaran cinta Rabi’ah kepada Tuhannya juga tak jarang ia buktikan lewat perilaku yang lain, yang lebih sederhana, minimalis, dan nyaris dianggap remeh oleh sebagian besar pemerhati sufisme, seperti memotong segala sesuatu menggunakan gigi, bukan pisau, menolak bantuan rombongan saat Rabi’ah hendak berangkat ke tanah suci untuk berhaji sedangkan keledai yang ditungganginya mati, yang kesemuanya dialurkan begitu runut, apik lagi menarik di dalam buku ini.

Isi buku yang terbagi menjadi tiga bagian ini diawali dengan potret kehidupan keluarga saat Rabi’ah dilahirkan sebagai putri nomor empat. Rabi’ah kecil lahir dari keluarga yang tidak berkecukupan. Bahkan, saat ia dilahirkan, sang Ayah tidak mendapatkan minyak untuk menerangi seisi rumah sederhananya, waktu dimana seorang bayi biasanya membutuhkan suasana yang terang dan riang. Pemaparan ini mungkin ternilai klise, mengingat betapa banyak manusia yang dianugerahi hal serupa, datang dari keluarga kurang berada dan pada akhirnya menemukan keberhasilan baik dalam berilmu maupun berkarir. Namun karena alur kehidupan demikian dialami oleh seorang hamba yang berhasil menyelami “wilayah ruhani”, bukan sebatas partikel duniawi, maka kesan yang muncul tentu terasa lebih sakral dan fenomenal.

Di bagian kedua, pembaca akan diantar menuju singgasana hidangan kesufian. Mendaki anak tangga menuju puncak ma’rifat, terbang kepayang merasakan indahnya meyakini tujuan hidup dari sisi hakikat.

Di bagian ini pula beberapa paragraf sya’ir Rabi’ah dibubuhkan dengan begitu sempurna. Salah satunya ialah sya’ir yang tidak hanya sering terbaca di lembar-lembar manuskrip, namun juga seringkali menggema di podium-podium para penggiat puisi, yang oleh penulis ditata pada bab ke X:


Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta
Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta
Dengan Cinta rindu,

Ku sibukkan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan selain-Mu
Sedangkan Cinta karena Kau layak dicinta,
di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu
agar aku dapat memandang-Mu.
Namun, tak ada pujian dalam ini dan itu,
Segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini dan itu
.

Beberapa komentar para tokoh sufisme dibubuhkan dengan ringkas dan jelas di dalam buku ini guna membuang rasa penasaran pembaca perihal maksud dari “Dua Macam Cinta” dalam bait puisi tersebut. Salah satunya adalah komentar dari Hujjatul Islam, Al Ghazali, yang memberi maksud bahwa “cinta rindu” adalah cinta kepada Allah atas segala kebaikan yang menimbulkan kebahagiaan hanya sementara. Sedangkan “cinta karena Allah layak dicinta” adalah cinta pada keindahan Sang Pemberi Cinta yang melahirkan kebahagiaan tiada bertepi.

Berbeda dengan bagian kesatu yang lebih banyak menyinggung sisi riwayat hidup Rabi’ah, bagian kedua dari buku ini memang mengacu pada doktrin kesufian yang diampu oleh sang Qaysiyah tersebut. Bagaimana cara beliau “berhubungan” dengan Tuhan, seperti apa makna dosa yang ada di dalam pemikiran terdalamnya, apa hubungan Sabar dengan kehidupan spiritual, kesemuanya dapat dibaca dengan ringan dan sempurna pada bagian ini.

Sebagai wujud paripurna memoar ini, Margareth juga menukil beberapa sya’ir dari tokoh-tokoh sufi lainnya yang ketika bait demi bait nya teraba oleh mata, tak akan ada yang tersirat selain rasa hangat akan “kehadiran” Tuhan semesta, Allah SWT.

Salah satu sya’ir tersebut datang dari Abdurrahman Jami’, tokoh sufi yang dikenang dengan karya roman sufisme-nya perihal kisah Yusuf-Zulaikha,

Dari mawar mengembangkan cahaya keindahannya,

dan burung Bulbul tiba-tiba terpesona
Dari api itu, garis kilau lilin mempesona kupu-kupu demi pengorbanan
Pada matahari keindahannya memancar,

dan garis-garis gelombang bagai teratai merumbai di kepala
Bagai pucuk-pucuk rambut Layla, yang menghunjam lubuk hati Majnun
Karena Cahaya Ilahi menyiram kilauan di wajahnya
Ia raih bibir Syirin yang manis,

yang mampu mencuri hati, dari lubuk Parriz
dan dari kehidupan Farhad

Margareth memberi paparan bahwa, Mahmud Syabistari, sufi penulis asal Tabriz-Iran berkesimpulan puisi tersebut berbalik arah dengan langkah kesufian Rabi’ah, dimana Rabi’ah memilih untuk mencintai Tuhan tanpa sebuah hijab, sedang karya Jami’ tersebut berupa ungkapan cinta kepada Tuhan lewat pesona seorang hamba. Hingga muncul lah sebuah ungkapan dari Mahmud yang berbunyi, “dibalik selaput sebuah atom, tersembunyi keindahan menggairahkan dari Wajah Sang Penciptanya”.

Pada bagian ketiga, yang akan paling merasa gembira saat membacanya ialah wanita. Tahap kedudukan wanita dari masa ke masa, keagungan wanita di ranah agama, sanjungan dan pujian terhadap wanita, tumpah ruah di dalamnya. Ini tentu tidak berangkat dari sebab penulis adalah seorang wanita, namun karena biografis seorang Rabi’ah mampu membuktikan bahwa hamba bernama wanita bisa sangat istimewa jika mampu meniti kebenaran hidup yang sesungguhnya.

Bagian ini diawali dengan sub seputar kedudukan perempuan di negara-negara Arab pada masa pra Islam dan awal Islam, dimana Islam ialah tonggak dari hikayat diangkatnya derajat perempuan setelah sebelumnya terbenam pada lapisan tanah paling dalam.

Selanjutnya, pada sub dengan judul “Kedududukan yang dicapai Perempuan Sufi”, pembaca akan diajak bertamasya ke altar sejarah yang banyak mengisahkan beberapa tokoh sufi wanita lainnya selain Rabi’ah. Ummu Haram yang dikenal juga dengan sebutan Rumaysyah, mengawali sub ini dengan kisah fantastisnya saat mengikuti titian peperangan dari Damaskus hingga Siprus pada masa kekhalifahan Utsman ibn Affan. Disusul dengan kisah Rabi’ah binti Ismail dari Syiria, yang hidup pada masa jauh sebelum kelahiran Rabi’ah Al Adawiyah. Lalu Mu’adzah al Adawiyah, sahabat Rabi’ah dari Bashrah, Sya’wanah dari Ubulla, dan masih banyak lagi yang termaktub dengan penuh daya tarik di dalam buku ini. Meski masing-masing kisah dari para perempuan sufi tersebut tersurat dengan singkat, namun sangat cukup untuk membeberkan bukti bahwa peran wanita dalam bidang spiritual ketuhanan memiliki panggung yang sama besarnya dengan sufi laki-laki.

Bahasa dan kosakata yang familiar, penyampaian yang sistematis dan logis, pemaparan yang lengkap dan spesifik, menjadi kelebihan tersendiri bagi karya luar biasa ini.

Jika ditanyakan dimana letak kekurangan buku ini, pembaca akan menemukan beberapa pernyataan penulis yang berbenturan dengan konsep kewanitaan dalam Islam yang sesungguhnya, dan sebagian besar ditemukan pada bagian ketiga. Tentu saja hal ini didasari oleh pola pikir penulis yang “bermadzhab” Orientalis, sehingga tim penerbit berusaha membuat perbandingan dengan membubuhkan beberapa anotasi yang dianggap penting.

Namun, persilangan sudut pandang tersebut tentu tidak mengurangi kesan ekstensif yang khas disandang oleh karya paripurna ini. (*)



Bagikan:

Penulis →

Zahro Diniyah

Lahir di Cianjur pada tanggal 01 November 1987. Selain aktif memimpin lembaga pendidikan pondok pesantren Ponpes Raudlatul Mubtadiin Kp Joglo desa Cibadak kec. Sukaresmi kab. Cianjur. Ia juga aktif mengisi beberapa portal online. Ibu dari tiga orang anak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *