Ombak Menggema di Dadaku


Sembilan Mil dari Kenangan

malam adalah ranjau paling mematikan
sebelum mata memar
menanggung berat rindu yang memawar
bayang-bayang mengepungku
dari arah yang berkabut

dalam upaya membakar ingatan
hujan selalu datang lebih awal
lonceng kesedihan berdentang di jantungku
beduk tertabuh dengan seribu tangan empedu

pada akhirnya, tak ada gema
di tubuh kesunyianku yang sempurna
hanya kalimat-kalimat berharkat kesumat
dan sejumlah belati bahasa yang tersimpan
di almari ingatan

sorowajan, februari 2024




Malam Merah Jambu

aku tak punya ranum kenangan
untuk membicarakan bentuk-bentuk kesedihan
hanya kaku waktu
dan malam yang merah jambu
daun-daun puisi rontok dari dahan keriuhan

bulan padam, bintang-bintang diseka hujan
lampu-lampu di sudut kafe
tak mengatakan apa-apa

maka, kirimkan padaku
semacam berkas kesunyian
atau pahala pada sebuah kesepian

kafe basabasi, februari 2024




Ziarah

di bukit cahaya ini,
suaramu adalah nyanyi terbaik
dari gema yang sumbernya
berasal dari kobaran api kenyataan

sumenep, 2024




Kwatrin-Kwatrin Kecil dari Pelabuhan

camar-camar menyanyi
disela terompet kapal berbunyi
mega dan kehilangan berhimpitan
hujan di kelopak mata berdesakan

angin mengatakan sesuatu
semacam getar dari masa lalu
aku menerimanya sebagai puisi
meski bebal untuk kutulisi

laut ini terbuat dari cintamu
yang ombaknya menggema di dadaku
bukit karang adalah kenangannya
angin selat adalah masa depannya

lokan-lokan menyimpan rahasia
aku menemukannya dalam bentuk bahasa
puisi adalah bagiannya
aku menulisnya dengan tangan bernanah

krapyak, februari 2024

Bagikan:

Penulis →

Khalil Satta Èlman

Lahir di Sumenep, 7 Mei 2003. Sekarang kuliah jurusan Filsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan aktif di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta, sambil mengelola Kapalangan Institute. Sedang mempersiapkan buku keduanya yang bertajuk, Hal-Hal yang Mereka Tinggalkan ketika Waktu Berjalan Cepat ke Masa Tua.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *