DI DALAM rumah hanya ada ayah, aku, dan Sari, kakakku. Kami jarang mengobrol. Masing-masing hanyut dengan kesibukan sendiri. Aku lebih banyak di luar rumah, mengantarkan makanan pesanan pelanggan. Sari bergelut dengan handphone, mencatat pesanan para pelanggan, lalu memberikannya kepada ayah di dapur. Ayah sendiri berjibaku menerjemahkan pesanan pelanggan ke dalam karya kuliner yang nikmat.
Ayah seorang koki yang andal. Dia mewarisi kecakapan itu dari ayahnya, almarhum ompung. Lidah hampir semua orang di kota kecil kami sangat akrab dengan kari kambing buatan almarhum ompung. Itulah alasan utama kenapa mereka selalu, dan selalu, datang ke restoran kami. Merekalah, para pelanggan, yang membuat restoran kami berkembang pesat.
Setelah ompung almarhum, restoran diwariskan kepada ayah sebagai anak tunggal. Sama seperti ompung, ayah sukses mengelola restoran. Tidak lain dan tak bukan karena ayah mampu menjaga kemurnian rasa kari kambing yang jadi menu khas restoran kami. Para pelanggan acap memuji masakan ayah karena mampu membuat mereka merasa sedang menikmati buah karya almarhum ompung. Bahkan, ada yang bilang, kari kambing buatan ayah menghidupkan kembali almarhum ompung.
Sebagai seorang ahli memasak kari kambing, nama almarhum ompung sangat harum. Pada masa lalu, Belanda hendak menghukum ompung karena menolak membayar balasting restoran. Tapi ompung lolos dari hukuman Belanda hanya karena kari kambing buatannya membuat lidah Leutenant Hendrick van Aart, komandan tentara Belanda yang bertugas di kewedanaan kota kami, bergetar sangat hebat saat menikmatinya. Dia merasa mendapatkan pengalaman baru dalam hidupnya, dan dia bertanya tentang bumbu yang dipakai ompung. Ompung pun bercerita serba sedikit tentang berbagai jenis rempah-rempah. Leutenant Hendrick mengaku, ternyata kenikmatan yang dihasilkan rempah-rempah itu luar biasa. “Selama ini kami hanya memperdagangkannya, tak pernah menikmatinya seperti ini,” kata Leutenant Hendrick.
Kisah ompung melawan Belanda dengan kari kambing jadi pengetahuan sejarah di kota kami. Kisah itu pula yang membuat restoran kami sangat terkenal. Tidak jarang, orang-orang dari kota-kota lain sengaja datang ke restoran kami hanya untuk memastikan kebenaran cerita perlawanan ompung itu. Mereka bertanya, bagaimana bisa kari kambing menaklukkan Belanda. Setelah kami kisah kembali, mereka akan mengagguk-angguk. Anggukan mereka membuat kami senang, apalagi setelah mereka menikmati kari kambing dan berkata: “Luar biasa. Pantaslah Belanda bisa takluk oleh kari kambing.”
Cerita sejarah, menu kari kambing, dan pelayanan yang baik membuat restoran yang dikelola ayah menjadi laris. Pelanggan datang tidak hanya ingin menikmati kari kambing, tapi juga merasakan rasa nasionalisme kari kambing. Ya, istilah “rasa nasionalisme” itu diberikan para pelanggan. Kami memakai istilah itu menjadi nama menu andalan di restoran: Kari Kambing Nasionalisme.
Restoran kami berkembang pesat sampai suatu hari di tahun 2019 segalanya mendadak jungklir-balik. Wabah pandemi Covid-19 mendera, para pelanggan tak berani keluar rumah. Restoran kami mulai sepi. Kondisi ini sulit diterima ibu meskipun ayah sudah berkali-kali meyakinkan ibu bahwa cobaan pandemi Covid-19 ini akan berakhir. Ibu justru semakin tertekan, dan akhirnya ibu terkapar sakit. Tubuhnya lemah, tenaganya bagai terkuras seluruhnya. Kami membawa ibu ke rumah sakit.
Sialnya, petugas medis di rumah sakit langsung memvonis ibu terpapar virus Covid-19 dan memutuskan memasukkan ibu ke tempat isolasi. Ayah protes sambil menjelaskan bahwa ibu menderita penyakit bawaan sejak lahir yang membuat tenaganya cepat terkuras dan bukan karena terpapar virus Covid-19. Petugas medis tidak menggubris. Ayah merasa tak didengarkan, emosinya meninggi. Di dalam rumah sakit, ayah mencoba menahan agar petugas medis tidak membawa ibu ke ruang isolasi.
Mendengar keributan itu, polisi datang bersama para petugas medis. Salah seorang pemimpin petugas mengancam akan mengisolasi kami sekeluarga jika ayah masih ngotot menghalang-halangi petugas menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Mendadak ayah terdiam, menyerah atas segala sesuatunya. Petugas sudah terlanjur marah, mengancam akan mengerahkan polisi untuk menyeret kami sekeluarga ke ruang isolasi dengan alasan sudah terpapar virus Covid-19. Ayah menyerah, memohon agar jangan diisolasi. Petugas tidak mau tahu, bersikeras akan memperlakukan kami sebagai pasien Covid-19. Ayah bergeming, lalu menawarkan uang agar petugas tidak mengisolasi kami. Tawaran ayah berhasil, tapi kami tetap tidak bisa mempertahankan agar ibu tidak diisolasi.
Beberapa hari di ruang isolasi, kondisi ibu bertambah parah. Kami sendiri tidak diizinkan keluar rumah. Para petugas yang telah disogok ayah menghukum kami agar mengisolasi diri di dalam rumah. Kami tak bisa berbuat banyak. Hubungan telepon pun tidak bisa dilakukan. Ayah menyesali keadaan kami, dia merasa dirinya sangat lemah sebagai kepala rumah tangga. Berkali-kali ayah menyalahkan diri sendiri atas semua yang menimpa kami.
Sementara ayah masih terpukul, Sari mulai goyah. Nyaris tiap hari dia bertanya bagaimana kondisi ibu. Beberapa kerabat yang dihubungi mengaku kesulitan membezuk ibu. Situasi akibat pandemic Covid-19 sangat buruk. Sulit melakukan apapun, membuat orang-orang ketakutan terpapar virus dan memutuskan mengurung diri di dalam rumah.
Suatu siang kami mendapat kabar kalau ibu telah meninggal. Kabar itu membuat kami sangat terpukul. Upaya ayah meminta izin agar dibiarkan melihat ibu untuk terakhir kalinya tidak dikabulkan. Ibu dimakamkan tanpa kami, diperlakukan sebagai korban virus Covid-19. Kenyataan ini semakin membuat kami terpukul. Ayah lebih parah, dia merasa sangat bersalah. Ayah sangat tertekan hingga akhirnya dia jatuh sakit.
Tapi ayah berpura-pura tidak sakit, dan menolak ketika aku dan Sari berusaha membawanya ke rumah sakit. Kata ayah, begitu kami membawanya ke rumah sakit, para petugas medis akan memvonis ayah terpapar virus Covid-19. “Apa Kalian belum cukup menderita dengan kepergian ibu tanpa bisa kita lihat?” kata ayah.
Kami akhirnya paham. Kami berusaha mengobati ayah di dalam rumah. Dan, akhirnya, ayah benar-benar sembuh. Ayah sendiri berusaha keras untuk bisa sembuh. Ayah mengaku dirinya termotivasi setiap kali melihat aku dan Sari.
Setelah ayah benar-benar sembuh, muncul masalah baru. Akibat wabah Covid-19, restoran kami tutup, dan kami tidak punya uang lagi untuk kehidupan sehari-hari. Sari berencana berhenti kuliah dan bermaksud hendak bekerja. Ayah melarangnya karena khawatir Sari akan terpapar virus Covid-19. Aku juga menolak kuliah, memilih akan bekerja. Seperti kepada Sari, ayah pun melarangku keluar rumah. Tapi, aku tidak mematuhi larangan ayah, diam-diam memilih bekerja sebagai tukang ojek. Beralasan berangkat ke kampus, aku memanfaatkan kesempatan itu untuk bekerja.
Penghasilan sebagai tukang ojek tidak banyak, tetapi lebih dari cukup untuk menghidupi kami. Namun, akhirnya ayah tahu apa yang aku lakukan, dan ayah mengaku sangat kecewa. Tiba-tiba ayah menghilang dari rumah. Beberapa hari ayah tidak pulang. Aku dan Sari sangat khawatir. Pada hari ke tiga, ayah tiba-tiba muncul dan membawa kabar bahwa kami akan menghidupkan kembali restoran.
Sari menolak rencana ayah dengan alasan tidak akan ada pelanggan yang mau datang. Pandemi Covid-19 yang masih terjadi akan menghalangi para pelanggan keluar rumah. Pada akhirnya restoran akan sepi dan usaha yang dilakukan akan sia-sia. Sari kemudian menawarkan agar kami menjual makanan secara online, dan dia mengaku bisa memanfaatkan handphonenya untuk memasarkan menu-menu restoran. Sari kemudian menugaskan aku untuk mengantar pesanan-pesanan pelanggan yang diperoleh secara online.
“Dengan begini, kita bisa menyiasati situasi sekarang sekaligus tetap bisa berusaha,” kata Sari.
Ayah meminta pendapatku. Aku menerima usul Sari dan menyatakan siap menjadi tukang antar pesanan pelanggan. Dan pekerjaan itu menyita seluruh waktuku, karena pelanggan kami terus bertambah. Dalam sehari, kami mendapat banyak pesanan.
Sebagai kurir pengantar pesanan pelanggan, aku mendapat perlakuan yang buruk. Setiap kali hendak mengirimkan pesanan, pelanggan memperlakukanku seperti nazis haram. Begitu melihatku berdiri di depan rumah mereka, pelanggan meminta agar aku memasukkan pesanan ke dalam kotak yang sudah disediakan, kemudian menyuruh aku pergi.
Ada juga pelanggan yang mengusirku, menyuruhku menjauh dari rumahnya. Aku merasa diremehkan, tapi aku tahu penyebabnya karena semua orang ketakutan terpapar virus Covid-19. Orang-orang tahu kalau ibuku meninggal karena virus, dan mereka menduga aku juga terpapar. Setelah aku jelaskan bahwa kami semua baik-baik saja, sebagian pelanggan mengerti.
Aku tidak pernah menceritakan pengalaman di luar rumah kepada siapa pun di dalam rumah. Kami selalu larut dengan kesibukan masing-masing. Ayah di dapur bersama alat-alat masak, berpikir keras untuk mempelajari menu-menu baru karena para pelanggan mulai bosan membeli kari kambing. Sari berkutat dengan handphonenya, sekali-sekali aku lihat dia bermain game online.
Kondisi kami tidak semakin baik. Sebaliknya semakin buruk. Tiap hari persoalan pandemic semakin meresahkan. Satu per satu pelanggan kami terpapar virus Covid-19. Salah seorang dari pelanggan yang terpapar mendadak mengoceh kalau dia baru saja memesan kari kambing nasionalisme, dan dia merasa kondisi kesehatannya memburuk setelah menikmati menu masakan dari restoran kami.
Pengakuan itu menghancurkan segalanya. Petugas medis lengkap dengan polisi datang ke rumah, bertanya ini dan itu yang intinya mencurigai kalau kami terpapar virus Covid-19. Ayah protes. Sari dan aku ikut membela ayah. Petugas memaksa kami melakukan swep untuk membuktikan apakah kami terpapar atau tidak. Ayah menolak. Petugas mengancam akan memaksa.
Dan benar, selesai swep, kami bertiga dinyatakan terpapar virus. Ayah protes. Sari hanya meraung. Aku tidak bisa tinggal diam. Polisi mengancam akan menangkapku jika berusaha melawan. Aku tidak perduli dan menerjang beberapa petugas. Aku mencoba kabur. Polisi menguber dan memukulku.
Di dalam rumah tidak ada siapa pun. Ayah, Sari, dan aku tidak ada di sana. Kami berada di ruang isolasi. Aku tak pernah bertemu ayah pun Sari. Aku memikirkan kondisi ayah. Aku sangat yakin ayah begitu terpukul atas vonis yang kami terima.