Duri Itu Menembus Dadaku


Obituarium Kota Para Nabi

Gaza melambai
Akan tenggelam pada lumpur debu
Dalam jari antagonis

Kudengar teriak dari bawah tembok berhamburan

Mengapa kedamaian seperti Magma di sini
Begitu perih dan garang

Kupandangi wajah-wajah kecil yang mungil
Kupandangi taman sebelum tertelan

Mereka bertanya
“Kapan doa akan merdeka?”

Yerusalem masuk musim dahaga
Dibiarkannya tenggorokan menelan luka

Dalam malam
Ada yang terbang bebas menghantam
Nyanyian nyenyak berpesta dalam angan

Malang, 2023




Cahaya Hilang di Langit Kota

Malam itu
Di awan yang temaram
Rembulan berjalan pelan mendekap kepada kehilangan

Aku tau
Ini adalah rencana
Demi dongeng kebaikan
Dan hati semula menerima
Dan hati menjadi buta

Cahaya hilang di langit kota
Seperti kunang-kunang yang mati
Tak ada bayang-bayang
Kota tenggelam
Hilang dan purba

Malang, 2023




Matamu Sedingin Musim Gugur

Di langit yang membiru
Aku tau hatimu telah perih sebabnya
Jalur-jalur yang sering kau lewati
Membuat engkau enggan menapaki kembali

Matamu yang jujur
Gagal dalam menyembunyikan kesakitan
Sedang aku di sisimu
Merasa bahwa duri itu menembus dadaku

Aku ingin sekali menawarkan sekain tisu dan sepasang bahu
Agar air mata yang bening
Tidak mengalir pada pipi cantikmu

Tapi, itu tidak akan
Sebab yang dirasa bagiku
Belum tentu ada padamu

Malang, 2023




Aku Memilih Menjelma Daun Tanggal

Aku telah memilih lupa
Jalan yang terjal
Tebing yang curam
Dan suara – suara hutan dari kegelapan

Inilah jalan yang telah ku putuskan
Kisah – kisah  yang sering dinyanyikan
Telah ku kubur bersama jejak yang bertebaran

Kau berkata bila kelak tuhan memiliki kemauan
Maka kita akan abadi
Purnama lebih lama di sisi

Maka sejak saat itu
Aku telah memilih lupa
Sebagai kehilangan tak terasa
Sebagai permintaan maaf kepadaku sendiri

Malang, 2023




Hujan, Doa dan Kamu

Bulan menghilang dari pandangan
Bulan terbit seusai awan legam
Mengintip jendela kamarku
Diikuti siluet kawanan kelelawar

Jam dua
Malam berupa doa – doa 
Yang senantiasa kukirimkan
Kepada tempat luka bertebaran

Lampu kamar
Samar – samar menerangi kitab suci
Membuat sepasang mata tampak terang
Agar kantuk lebih menepi
Ketimbang birahi tirani

Sajadah ini terbentang
Sejauh mata memandang
Sejauh kisah petualang
Dan seusai mata terpejam

Malam
Mendamba rindu
Kepada peluk dan temu

Malang, 2023




Fatum Brutum

Pada yang berbau wangi
Bayang – bayangmu menolak hilang dari hati
Ketika bunga membawa sengit aroma cinta
Dan suara sorak rerumputan bergema

Di antara gelap malam, cinta
Kau berkembang biak kepada semak – semak  
Mengusir kawanan hama yang menghambat
jalan suci yang khusus untuk sepasang kaki kita

Kemungkinan bebatuan di bukit
Akan lebih sering cemburu
Atau kemungkinan tiang – tiang listrik
Akan saling beradu
Sebab menujumu bersama cahaya
Sama halnya penghianatan bagi mereka

Maka pada malam yang gemerlap
Aku berikrar
Seandainya mencintaimu adalah bagian dari agama,
maka kupastikan ibadah lain adalah sunnahnya.

Malang, 2023




Kota, Hujan  & Kesepian

Sejauh langit
Selebar jagat raya
Di dalam ada kota, hujan & kesepian

Riak air di luar ruangan
Menari seperti kaki anak kecil
Sedang dalam kamar
Kesepian begitu garang

Suatu waktu dalam hujan ia bertanya
Apakah perempuan yang disayangi merasakan rindu padanya?
Sedang ia sendiri tenggelam di dalam kota yang ramai

Apakah kelak harapan dalam dada akan menjadi nyata?
Harapan yang tercipta dari sosok gadis berbaju Tulip
Tempat ia mengenal bumi baru

Dan ia bersama dengan
Keadaan dalam hujan yang ia hadapi

Malang, 2023



Bagikan:

Penulis →

Safari Maulidi

Mahasiswa aktif UNISMA malang. Alumni Pondok Pesantren Annuqayah. Berasal dari desa Guluk – Guluk barat, Sumenep madura. Lahir di Pamekasan, dan tumbuh di Sumenep. Penyuka sastra yang sedang belajar berkarya. Puisi – puisinya tersiar di beberapa media online dan cetak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *