PADA sebuah pagi yang belum mekar sempurna, cikal bakal prahara rumah tangganya bermula. Dia terkejut mendapati dirinya tak bisa berdiri ketika hendak bangkit dari tempat tidur. Rasa sakit yang keterlaluan sampai-sampai membuat air matanya mengalir tanpa ia sadari. Berulang kali dia mencoba berdiri, tapi rasa sakit tak terperi di selingkar pinggulnya begitu kuat sehingga mengempaskannya kembali terduduk di tepi tempat tidur. Perasaan khawatir dirinya akan lumpuh membuatnya ketakutan.
Dia meringis menahan sakit sambil terus berusaha mengurangi sakitnya dengan beberapa gerakan. Rasa sakit itu sedikit berkurang. Sesaat kemudian dia perlahan bangkit. Bisa. Dia bisa berdiri. Masih sakit, tapi dia terus bertahan. Dan sakitnya kembali menyiksa saat melangkah tegak. Dia pun mencoba berjalan sambil sedikit membungkuk. Dengan sikap badan begitu, ia bisa lumayan menahan sakitnya itu. Kekhawatiran dirinya menjadi lumpuh pada usia masih cukup muda membayanginya.
Di luar kamar, istrinya yang hendak masuk kamar terheran-heran melihatnya berjalan terbungkuk-bungkuk sambil meringis. Ia ingin menceritakan apa yang ia alami itu dengan berdiri, tapi sakit yang tak terperi membuat dia tak tahan berdiri. Dia pun duduk bersandar dinding dan kemudian berkisah.
Dia melihat sungai bening mengalir dari sudut mata istrinya mendengar yang ia alami. Perempuan itu memeluknya dan mengajaknya ke dokter. Hasil diagnosis menunjukkan ada lima segmen lumbar dan sacrum 1 yang terdapat bulging sehingga menjepit saraf. Kemungkinan lanjutannya bisa mengakibatkan lumpuh, jika tidak hati-hati dalam beraktivitas.
“Apakah Anda pernah mengalami kecelakaan atau jatuh terduduk?”
Lelaki malang itu mengingat-ingat.
Ya. Dia pernah mengalami kecelakaan dan terjatuh dengan cukup keras dari sepeda motornya dengan posisi terduduk; menyebabkan ia tak mampu segera berdiri saat itu. Tapi, itu hanya berlangsung beberapa menit. Setelahnya semua terasa baik-baik saja bagi fisiknya hingga empat tahun kemudian, saat ia sudah menikah dan punya anak berusia dua tahun, ia baru merasakan akibatnya. Sebuah kecelakaan yang tak menggoreskan luka fisik berarti, ternyata seumpama bom waktu yang mengancam kemampuan fisiknya setiap saat tanpa ia sadari. Kecelakaan itu juga menjelma ombak yang semakin pasang seiring berjalannya waktu dan terus-menerus menghantam bahtera rumah tangganya hingga nyaris karam.
Dan bom itu meledak setelah dua tahun dia bertahan dengan rasa sakit yang mengancam melumpuhkan dirinya. Sejak sakit itu, ia tak mampu melakukan pekerjaan yang membutuhkan tenaga dan gerak fisik yang berat. Semakin hari, keuangan rumah tangganya semakin menipis karena sebagiannya tersedot untuk biaya terapi. Dia ingin melakukan operasi saraf, tapi tak memiliki biayanya. Hanya terapi dan terapi yang bisa ia harapkan, dan sayangnya terapi itu hanya berpengaruh sedikit. Senam dengan bentuk dan nama apa pun sudah dia lakukan, tapi hasilnya tak seberapa, bisa dikatakan tak membuatnya membaik.
Dia bisa memaklumi sikap istrinya yang sedikit demi sedikit berubah temperamental. Perempuan itu menjadi mudah marah, mudah tersinggung, dan mudah mengatainya lelaki bodoh dan lemah yang tak bisa cari uang. Dia tidak percaya jika istrinya lupa bahwa ia sakit, sakit yang setiap saat bisa melumpuhkannya. Dia tidak percaya jika istrinya tak melihat suaminya tetap berusaha bekerja keras siang malam. Apa pun ia kerjakan selama itu tak memperparah sakitnya.
Mungkinkah istrinya sudah tak mau lagi peduli dengan kondisi suaminya?
Lelaki malang itu hanya bisa menggeleng kepala. Dia tetap berusaha menahan sakit fisik dan sakit hatinya saat dihina atau dilempar dengan kata-kata kasar, bahkan kotor. Hanya dengan mengingat dan melihat gadis kecilnya itulah ia mampu meredam perih hatinya.
Namun, gadis kecil peredam perih itu pun tak akan mudah lagi ia lihat. Ini berawal saat istrinya meminta untuk diantar menengok orang tuanya yang tinggal di kota lain. Sepekan, dua pekan, hingga satu bulan, bahkan satu tahun lebih istrinya tak mau diajak pulang. Dan puncaknya, perempuan itu berkata dengan galak: untuk apa tinggal dengan suami miskin yang tidak bisa cari uang?
Tak perlu kukatakan seberapa sakit hatinya dihina seperti itu, oleh istrinya sendiri pula. Mungkin kau akan mengatakan lelaki malang itu memang bodoh karena tidak bisa memperkirakan kemungkinan permintaan menengok orang tua hanyalah sekadar muslihat. Boleh dikatakan seperti itu, tapi sebenarnya dia hanya berusaha tetap menuruti permintaan istrinya selama ia sanggup dan mampu. Tapi, dia pernah mengatakan, “Aku pernah menaruh curiga bahwa permintaannya itu hanya tipu daya, tapi segera kutepis. Lagipula, menengok orang tua itu baik dan bisa dibilang sebagai kewajiban, bukan?” tegas lelaki malang itu.
Begitulah singkatnya. Dan ini mungkin bukan kisah yang menarik bagimu, karena tak kuceritakan dengan kalimat-kalimat yang memantik haru. Aku hanya tak ingin air matamu mengeruhkan jernih pikiranmu. Umumnya, lelaki memang bisa menyakiti perempuan dengan kekuatan dan akalnya, tapi harus diingat bahwa perempuan punya kenekatan yang akibatnya tak pernah kau bayangkan.
Lelaki itu mengatakan terpaksa meninggalkan istri dan anaknya, tapi juga bisa dikatakan bahwa perempuan itulah yang membuang suaminya. Itu hanya sudut pandang. Yang jelas, mereka sudah tak lagi bersama dalam cinta. Sudah tak ada keseimbangan atas keduanya di hati mereka. Surat gugatan cerai dari istrinya juga sudah ia tanda tangani, dengan terpaksa.
Sekarang, jika kau ingin tahu di mana lelaki itu, dia tinggal di sebuah rumah mungil di kota ini. Rumah batu bata yang belum diplester, yang tampak rapuh dan berlumut di beberapa bagiannya. Di samping rumah itu, kau akan melihat kebun sempit berpagar bambu yang menghitam oleh deraan hujan, lumut, dan terik surya. Pagi hingga sore dia bekerja sebagai editor di sebuah penerbitan. Malamnya dan hari libur, dia bekerja sebagai tenaga lepas untuk mengeja kata demi kata dan tanda baca, menyesuaikannya dengan kaidah berbahasa meskipun kadang menerjangnya agar tak terasa kaku dan hambar, karena bahasa baginya bukan sekadar logika melainkan juga rasa. Keduanya harus seimbang. Sebagaimana cinta yang merupakan wujud perpaduan berbagai rasa dan logika. Keduanya harus seimbang. Sedikit saja dua hal itu tidak seimbang, ombak kecil pun akan membuat bahtera rumah tangga oleng. Begitu yang pernah ia katakan.
Dan, jika kebetulan kau bertemu dengannya, aku yakin kau tak akan mengira dia lelaki yang hatinya penuh luka sayat. Dia tampak sebagai orang yang sangat bahagia. Senyumnya akan selalu merekah jika kau sapa. Tawanya akan berderai jika kau mengajaknya bercanda. Perhatian terhadap lawan bicaranya memberi kesan seolah dia tak punya masalah berat. Tapi, kau jangan pernah bertanya atau bermaksud membincang tentang istri, bocah, atau tentang luka hati. Dia pasti akan menceritakan kepadamu kisah tentang lelaki yang tersakiti dan terbuang.
Baiklah, aku sudahi kisah ini, aku ada pekerjaan mengeja kata demi kata dan tanda baca, menyesuaikannya dengan kaidah berbahasa meskipun kadang menerjangnya agar tak terasa kaku dan hambar, karena bahasa bagiku bukan sekadar logika melainkan juga rasa. Sebagaimana cinta yang merupakan wujud perpaduan berbagai rasa dan logika. Keduanya harus seimbang.
Boyolali, Mid 2023