Di Tanah Penuh Kenangan


Yerusalem

/1/
I hear Jerusalem bells a-ringing
Roman cavalry choirs are singing

Di tanah yang dijanjikan,
atas restu gereja
kalian memerangi bayangan.

Lalu beradulah senjata
Tumpahlah air mata
Kacaulah semesta!

Bakda perang di tempat pulang,
orang-orang menyanyikan rekuiem tentang
jiwa-jiwa kalian yang ditelan bayang.

/2/
A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight

Semasa perang
anak-anak berenang di sungai
proyektil
bermuara ke langit jelaga
matahari berdarah
ditembus balistik berdirah.

Arus mengantar tubuh mereka
ke pangkuan masing-masing
ibu
buru-buru beri peluruh
muntahkan peluru.

Intifadah menyapu angkasa
bintang-bintang ditembakkan
bulan dilontarkan
oleh para
ayah
susah payah.

Hujan misil turun deras.
Orang-orang
mandi puing, mandi darah.
Banjir api tinggalkan genangan
di tanah penuh kenangan.

/3/
And nothing remains
just a voice rising up in the smoky haze

Ayah menyuruhku bersembunyi
sambil melantunkan ayat suci
saat jalanan telah jadi garis depan
medan perang. Orang-orang berseragam
(tapi tanpa kepala) menerobos dengan hentakan
kaki, menginjak-injak kepala
pejuang kebebasan.

Kakak bersenjata busur
pelangi melempar bulir-bulir hujan
dari balik gedung, menembus baju anti peluru.

Tapi bulir hujan berpindah ke lengkung
pelangi mata kakkaku:
mata lusuh sehabis proyektil dengan ampuh
dan tanpa ampun cabut ruh.

Merah langit petang adalah gerbang
yang pergi dan hilang.
Darah terhambur dan terbakar
di angkasa. Selepas mereka, siapa
yang lanjutkan elan intifadah?

*Larik yang tercetak miring diambil dari lirik lagu Coldplay, Viva la Vida, dan lagu Michael Heart, We Will Not Go Down





Suar

Pada ruang terdalam diriku sendiri,
aku sembunyi dari dunia yang gelap sekali.

Orang-orang sibuk mencariku, menghardik
panik antara sela-sela rak seloki dan botol wiski
sampai pada ruang antara kaki dan rok mini.
Mereka mulai beri sajen para pejabat dan polisi
serta melacakku pada dukun maya yang berilmu tinggi.

Tapi sungguh, aku hanya akan keluar jika suar
telah dinyalakan dan seseorang menggandeng
tanganku lembut sekali menuju masjid.




Pelukan

alam selalu memelukmu dalam
selimut usai siang rampungkan usia
Ia gelap dan berbahaya,
namun kautenang dan pulas dalam sunyi
sebab ia jauh lebih penyayang.

Malam terus kembalikan napasmu
dari deru mesin-mesin
dan umpatan-umpatan kasar
yang selalu berulang.

Lalu tiba waktu, malam
tak lagi memelukmu setelah ia
rampungkan tubuh suatu subuh.
Kau rindu selimutmu, namun
pelukan paling nyaman datang dari maut
setelah seluruh hidup
membuatmu jatuh bersimpuh.

Kasih malam sepanjang zaman.




Demi Masa

Sesungguhnya manusia itu pelupa
kecuali yang menghargai kenangan
dan saling nasihat-menasihati dalam rindu-merindukan

*Terinspirasi dari Al-Qur’an, Surah Al-Asr

Bagikan:

Penulis →

Andi Batara Al Isra

Lulusan program sarjana di bidang Antropologi, Universitas Hasanuddin dan melanjutkan studinya ke jenjang master di the University of Auckland, Aotearoa (Selandia Baru) dengan jurusan yang sama. Selain menulis artikel jurnal dan laporan penelitian, Batara juga menulis cerpen dan puisi. Karya-karyanya diterbitkan di beberapa media, seperti Magrib.id, Bacapetra, dll. Cerpennya diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Dalang Publishing, sebuah penerbit yang berbasis di California. Buku solo pertamanya adalah kumpulan puisi Di Seberang Gelombang (2019). Buku lainnya, Rumata’: Dua Belas Tahun Membangun Kebudayaan yang ditulis bersama teman-teman peneliti dari Antropos diluncurkan di Makassar International Writers Festival (MIWF) 2023. Saat ini aktif sebagai dosen di Departemen Antropologi Unhas dan sebagai peneliti di Antropos.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *