TEMANKU Ha, sekarang ini sudah menjadi timses partai O. Sudah beberapa kali ini, dia mendatangi rumahku. Tapi aku tidak pernah menemuinya.
Anehnya, Ha masih tetap keukuh ke rumahku. Memang jarak antara rumahku dengannya, hanya dibatasi oleh lima rumah warga, selebihnya ada pohon rambutan, pohon mangga dan jambu jamaica sebagai pembatas antara rumah warga. Walaupun masih berada satu erte. Tapi dia terus menerus datang ke rumahku.
Akhirnya aku suruh saja istriku untuk menghadapi Ha jika dia datang. Kemudian aku suruh istriku untuk mengatakannya,” jika aku tidak ada di rumah!” Walaupun sebenarnya berada di rumah, tepatnya di ruang kamar belakang rumah yang kugunakan sebagai tempat aku bekerja.
Aku sengaja mengambil kamar belakang itu sebagai ‘tempat kerja’ karena berdekatan dengan kolam ikan yang kubuat beberapa bulan silam. Itu pun aku membuatnya sebagai tempat menjernihkan otakku di kala stagnan—dalam menulis—yang gagal kuselesaikan dengan cepat!
Alhasil, kolam ikan yang kubuat itu ampuh juga. Beberapa kali aku merasakannya. Aku bisa kembali melanjutkan tulisan yang sedang kubuat di saat kebuntuan melanda.
“Aku, ini tidak pandai mengarang seperti kamu, Bang! Bisa saja nanti aku keceplosan mengatakan kamu ada di rumah. Sudahlah hubungi saja nomor yang ada di kartu nama itu. Itu kutaruh dekat samping laptop kamu,” akhirnya istriku buka suara juga. Mungkin dirinya sudah lelah. Atau, sudah banyak melakukan kebohongan demi aku?
“Ah, palingan dia menemuiku ada maksud dan tujuannya. Dulu ke mana sebelum dia menjadi timses partai bergambar manggis retak itu. Giliran lagi musim kampanye baru ingat kita! Memangnya kamu tidak tahu tujuan dia datang pada kita?” kataku menjelaskan pada istriku.
Istriku hanya menggeleng kepala. Tidak memahami maksudku.
“Baiklah. Jika nanti teman kamu itu kemari lagi. Aku tidak mau mengarang lagi. Aku bilang saja terus terang!” sungut istriku. “Sudah kubilang, aku ini bukan pengarang handal macam kamu, Bang? Lagi pula kuperhatikan kenapa aku yang sibuk!” lanjutnya kali ini sambil mengultimatumku dan berlalu keluar rumah untuk pergi berbelanja sayuran pagi itu.
Dan pagi itu kami berhasil berdebat hebat mengenai perkara Ha yang tiap kali datang ke rumah. Walaupun tanpa pertikaian atau perselisihan yang serius dan tidak berlebihan. Namun tetap saja kehadirannya akhir-akhir ini membuat konsentrasiku menjadi pecah.
Seusai itu istriku meninggalkan aku. Aku menghela nafas panjang. Padahal saat itu aku baru usai menaruh kopi pagiku di meja kerja yang bersebelahan dengan laptop. Baunya masih sangat terasa kucium.
Akhirnya kuhampiri kopi itu—dan kureguk sambil mencoba menghilangkan kerunyaman yang terjadi pagi itu. Hm, ternyata harum juga kopi ini baunya! Tidak biasanya ada kopi sewangi ini dekat toples gula dan garam di ruang dapur?
***
Beberapa hari kemudian Ha, datang lagi ke rumahku. Sialnya, hari ini istriku kondangan ke rumah sanak familinya. Aku pun dibuat kelimpungan. Lebih tepatnya bingung. Kutemui dia atau aku berdiam diri saja di kamar belakang?
Tapi Ha, tetap di depan pintu rumah kami sambil berapa kali berucap salam dan memanggil-manggil namaku. Namun untuk kali ini ucapannya di luar kelaziman.
“Jim, aku sudah berapa kali datang ke rumahmu ini? Bantulah aku sebagai teman main sekaligus teman SMA kamu dulu. Aku tahu kamu ada di rumah. Ain, istrimu itu yang sudah memberitahukan aku sebelum dia pergi kondangan!” tukasnya sedikit mengultimanku ketika Ha berada di dekat pintu pagar rumah sambil berteriak kecil.
Dasar, istri kurang ajar! Benar-benar dia berterus terang tentang keberadaanku di rumah pada Ha!
Saat aku sedang gamang oleh keadaan seperti itu. Tetiba istriku mengirimkan pesan singkat. Maaf, Bang! Aku yang memberitahukan Ha jika kamu berada di rumah. Sudah aku bilang diriku bukan pengarang ulung seperti kamu, Bang!
Benar. Dugaan aku benar. Istrikulah yang tidak mau diajak kerjasama lagi itu—yang memberitahukan Ha atas keberadaanku di rumah. Sial!
Akhirnya Ha kuizinkan masuk ke dalam rumah. Dengan setengah hati aku terima juga kehadirannya. Walaupun aku sebenarnya malas menghadapi orang-orang macam dirinya itu. Ketika ada kepentingan saja baru menampakkan batang hidungnya. Sebelum-sebelumnya mana mau dia sekedar mampir ke rumah atau menyapa. Entah, setiap melewati rumahku maupun berpapasan di jalan.
“To the point aja! Aku harus apa?” tanpa tedeng aling-aling aku pun langsung skak mat tujuan Ha ke rumahku siang itu.
“Tenang! Tenang, Jim! Apa aku tidak disajikan kopi dulu. Minggu lalu aku kirimi kopi luwak asli dari Aceh ke istrimu. Bolehlah aku disajikan kopi itu. Kita ngopi bareng sekaligus. Aku tahu kamu pengopi berat?”
Jleg! Jadi kemarin-kemarin kopi yang sangat harum dan wangi baunya serta nikmat dikecap itu kirimannya dia, tho? Kenapa istriku tidak memberitahuku? Kalau kutahu tidak sudi kuminum! Gumamku sambil meruntuk.
“Hm, tapi kalau kamu repot tidak usah!” tukas Ha. “Tapi seharusnya aku yang minta maaf. Aku tahu kamu kesal bahkan marah atas kehadiranku seperti udang di balik batu, yang secara tiba-tiba menemuimu,” lanjut Ha sambil mulutnya disumpal kretek untuk pengganti tiada kopi sekaligus mengusir rasa malunya itu. Mungkin saja.
“Bagus jika kamu bisa memakluminya. Maklum istriku tidak ada di rumah!” seruku. “Sekarang aku harus apa? Aku tidak ada banyak waktu lagi. Aku sedang dikejar deadline ini!”
“Kamu kan penulis. Pasti tahulah apa yang harus kamu lakukan? Bagaimana agar caleg yang kuusung mendapatkan simpati dari masyarakat luas!”
“Baik! Kalau begitu bayar aku di muka tidak pakai nanti-nantian. Aku bukan pekerja sosial. Semua serba gratis. Atau, harus hanya menerima ucapan terima kasih saja bahkan harus ikhlas. Tidak! Aku tidak butuh itu semua. Tapi aku perlu hidup. Ada uang ada berita. Deal?!”
Kulihat muka Ha terperangah. Saat aku berkata seperti itu. Mungkin dia terkejut aku sebegitu kerasnya. Atau, sarkas? Aku tidak peduli lagi dengan hal itu. Apalagi berhadapan dengan macam dirinya itu.
“Kalau kontan aku tidak ada! Mungkin besok aku transfer. Kalau begitu WA saja nomor rekeningmu ke aku.”
“Baiklah! Aku tunggu. Tapi ingat aku butuh tujuh digit! Kurang dari itu kamu jangan datang lagi ke rumahku apalagi menghubungku! Bagaimana?”
“Oke! Kalau begitu aku pamit dulu. Besok aku hubungi kamu lagi!”
“Ingat, aku butuh tujuh digit! Ada berita ada uang. Pahami itu!”
Sebelum keluar lebih jauh dari teras rumahku. Aku pun mengingatkan kembali padanya. Walaupun kulihat raut muka Ha begitu amat kesal. Sekalipun dia menutupi dengan senyum kecutnya itu.
Siang itu kami pun menyepakati perjanjian dua belah pihak. Walaupun, lagi-lagi aku tahu Ha sangat terkejut dengan permintaanku itu. Karena ia mungkin menganggap aku seperti lima tahun yang lalu. Bisa dibaiki atau dikibuli oleh janji-janji manis mereka sebagai para timses caleg partai. Lagi pula jika dia mau berita atas caleg yang diusungnya itu. Ya, aku sendiri pun butuh uang. Tidak berat sebelah, kan?
***
Esokkan harinya, istriku pun menanyakan kebenaran itu. Tidak lain aku meminta uang di muka pada Ha. Mungkin istriku itu mengetahuinya karena Ha memberitahukannya. Karena dia tahu jika istriku tidak pernah menghitung-hitung sebuah pertolongan atau kebaikkan pada siapa pun. Walaupun istriku dulu pernah kecewa. Lebih tepatnya dikecewakan bahkan sampai malu pada para tetangga saat mengumumkan dirinya akan berangkat haji.
Itu terjadi pada pesta rakyat yang silam. Suatu hari kami berdua terkena tipu daya oleh salah satu oknum caleg yang kami usung. Dia telah menipu kami. Menurut istriku saat itu nanti bila caleg yang kami usung dengan berbagai cara bisa naik di panggung politik. Janjinya saat itu kami akan diberangkatkan haji.
Kami pun percaya begitu saja saat itu. Tapi aku lebih tepatnya ikut-ikutan istriku. Jika aku harus yakin percaya dan bersungguh-sungguh bila melakukan sesuatu. Bodohnya aku pun menggelengkan kepala saja. Aku pun langsung membuat berita semenarik mungkin untuk menaikan dan mencari simpati pada rakyat luas. Sedangkan istriku dari pintu ke pintu menemui para tetangga atau kaum ibu-ibu agar nanti saat pemilihan bisa memilih caleg yang kami usung.
Ya, akhirnya caleg yang kami usung itu berhasil kami buat dirinya duduk di bangku dewan. Tapi soal kami akan diberangkatkan haji, janji tinggallah janji. Janji manisnya saja yang dia berikan pada kami saat sudah sepah akhirnya dibuang pula. Begitu saja melupakan janji-janjinya pada kami.
Enam bulan kami menunggu janjinya ditunaikan. Ternyata bohong belaka! Kami dipermainkan oleh caleg yang sudah kami angkat ke langit.
Kami saat itu mengetahuinya sungguh sangat kecewa. Apalagi di saat istriku menghampiri rumah caleg itu untuk meminta menunaikan janjinya. Namun belum sampai di teras rumahnya, para pengawal kediamannya mengusir istriku saat itu. Hatiku seperti teriris sembilu melihat pemandangan seperti itu.
“Maaf, Bapak tidak terima tamu jika tanpa janji lebih dulu. Sekarang ibu silakan pergi atau kami lepas anjing penjaga rumah ini!” tukas petugas keamanan rumah caleg yang kami usung saat itu mengultimatum istriku.
Istriku langsung pucat! Dia lunglai. Mukanya tampak suram. Aku pun langsung tergopoh-gopoh membawanya langsung ke motor. Dan seketika itu… tiba-tiba istriku pingsan.
***
Sejak itu istriku mengurung diri di rumah selama bertahun-tahun. Bukan hanya karena caleg yang kami usung itu mengingkari janji. Tapi ia juga malu pada para tetangganya karena ia sudah sesumbar bila kami nanti akan pergi ke baitullah. Tapi itu hanya isapan anak kecil saja. Semua hempas bagai kapas. Tinggallah malu yang ia tanggung selama itu.
Dan sekarang istriku sudah seperti biasa, tidak lagi mengurung diri. Sudah menerima apa pun risikonya. Dia mencoba menatap kehidupannya lagi kembali. Itu pun tidak lupa atas turun tangan kerabat jauh kami yang menyembuhkan mental dan penguatan hati istriku agar bisa kembali menyatu pada warga di tempat kami tinggal.
Sebenarnya aku tahu istriku masih menyimpan rasa malu yang amat dalam hingga sekarang. Kadang aku masih melihat istriku ketika sedang seorang diri, dia masih meracau dan menyumpahserapahi caleg yang kami usung itu bila mengingat kejadian itu.
***
Maaf aku baru memberitahukan kamu, Jim! Aku sudah kirim ke rekening kamu. Aku hanya bisa memberikan 70 juta saja. Bila nanti kamu berhasil membuat caleg yang aku usung bisa naik panggung politik, aku dan timses yang lainnya akan memberikan kamu hadiah untukmu bersama istrimu naik haji. Maka dari itu aku minta kerja sama kamu sungguh-sungguh untuk pemilihan kali ini. Buatlah berita yang mengangkat dan menarik simpati masyarakat untuk caleg yang aku usung. Pintar-pintar kamu sajalah dan aku percaya itu! Kutunggu tulisan-tulisanmu di media apa pun mengenai caleg yang aku usung. Terima kasih atas kerja samamu!
Sebuah pesan singkat menghampiri ponselku saat aku berada di ‘tempat kerja’. Pesan itu mendadak membuat aku terpaku saat membacanya. Seketika itu aku langsung mematung. Ternyata pesan itu datang dari Ha.
Bagai durian jatuh. Aku pun begitu bahagianya bahkan mataku berkaca-kaca lantaran pesan itu memberitahukan jika kami akan diberangkatkan haji seperti impian istriku sejak lama. Sungguh aku tak mempercayainya jika apa yang menjadi keinginan istriku terkabulkan. Sedangkan perjanjianku diterima oleh. Ha. Dia tunai memberikan aku uang yang cukup menggiurkan.
Sebab, jika aku tidak begitu. Aku tidak ingin kedua kalinya melakukan kesalahan kembali. Apalagi pekerjaan yang aku jalani lebih murni dan suci ketimbang aku ikut-ikutan politik. Karena bagiku politik tai kucing. Politik obral janji. Politik omong kosong!
Tapi jika kalian sudah membaca apa pun yang aku ceritakan padamu ini semua. Bila kalian menganggap aku tidak ada bedanya dengan mereka karena sudah menjual idealisme, demi uang dan impian istriku, aku menodai pekerjaanku— kata munafik kalian boleh saja kalian sematkan padaku. Silakan. Aku dan istriku tidak ingin mati kelaparan.
Apakah kalian mau dan ingin seperti itu, ah![]