~ Mengenang Jokpin
“TUHANKU yang merdu, terimalah kicau burung dalam kepalaku.”
Gegara deretan huruf yang syahdu itu, langkah kakiku seperti digerakkan untuk datang menuju timur. Kedatanganku ke rumah itu disambut helai daun monstera yang mirip jemari tangan, menyapaku di depan pintu. Keinginanku hanyalah ingin belajar. Itu saja. Serupa seorang murid yang ingin diajar mengaji pada pak ustaz atau kiai, pun aku begitu. Atau seorang bocah yang tak pandai matematika lalu tiba-tiba, karena atas dasar keinginannya yang dalam untuk menajamkan ilmu berhitungnya, ia datang sendiri ke rumah gurunya. Tentu, dengan sebungkus cemilan kacang, gula, kopi, lalu beberapa bungkus indomie goreng. Aku tak mau dianggap orang tak tahu diri.
Namun, guruku yang pertama kali kutemui ini sungguh aneh menurutku. Datang ke Jogja, beliau sedikit kecewa kenapa aku tak membawa dodol Garut dan moci Sukabumi. Padahal yang kutahu, di kota ini yang banyak dijual tentu saja bakpia. Duh, enggak nyambung sama sekali. Maka, buru-buru sebelum aku belajar, aku bergegas keluar dulu dari rumahnya, mencari toko oleh-oleh. Dodol Garutnya ada, mocinya tidak ada. Entah kenapa, barang atau sesuatu jika sedang dicari mendadak tak ada. Ketika tak dibutuhkan, malah ada terus di depan mata.
“Jadi, gara-gara sebaris kata itu kau datang jauh-jauh ke sini? Gimana ya, aku juga enggak merasa bagus-bagus amat perasaan. Mungkin nanti aku sarankan kamu ke kawanku saja kalau mau belajar. Beliau tak kalah hebat.”
“Aku ingin berguru padamu. Sudah lama aku kirim puisi ke berbagai media massa enggak tembus. Kadang frustrasi, Kang. Bingung harus bagaimana. Tak tahu puisi yang bagaimana yang disukai redaktur. Sudah ikut kelas menulis puisi juga. Belum berhasil.”
“Dodol sama moci pesananku mana?”
“Mocinya tidak ada. Susah, Kang, carinya.”
“Berapa warung atau toko makanan yang sudah kamu tanya? Belum-belum sudah putus asa. Bagaimana mau jadi penyair. Gagal sekali malah malas lagi.”
“Maaf, Kang.”
“Baiklah. Maaf belum membuatkanmu kopi. Sudah duduk dari tadi. Sebentar ya.”
“Aku enggak ngopi, biasa nyusu, Kang.”
Kulihat ia tersenyum ketika mengangkat pantatnya. Ingin beranjak. Mungkin geli juga melihat pipi dan perutku yang gembul. Namun, ia masuk ke dalam dan keluar membawa semangka dan sebutir kelapa muda.
“Wah, panas-panas begini seger, Kang.”
“Jangan ke-pede-an dulu, Bro. Katanya kamu mau belajar menulis puisi bukan?”
Aku mengangguk antusias ketika dua buah itu diletakkan di atas meja. Buah berair dengan loreng merah di kananku dan buah dengan kulit keras hijau muda mengilat di sebelah kiriku.
“Kira-kira kamu tahu berapa jumlah biji semangka di dalamnya? Atau jika saya ambilkan gelas kosong ini, apakah isi air kelapanya ini akan tumpah, atau malah sedikit dan tak mengisi penuh isi gelasnya?”
Alisku mengerjit. ”Pertanyaan macam apa ini?”
“Loh, katanya mau belajar puisi, memahami makna intuisi saja kamu belum bisa. Kamu harus pandai membaca dan mengira tanda-tanda alam. Apa yang kamu lihat di sekitar dan kamu merasa sesuatu bakal terjadi, itulah intuisi. Memang tak pasti dan selalu tepat, tetapi oleh Tuhan, manusia telah dibekali insting dan naluri. Di sanalah manusia meramalkan yang bakal terjadi, menjawab pertanyaannya sendiri. Jika tes yang ini kamu tidak bisa menjawab, mohon maaf kamu cari guru lain saja.”
Aku menelan ludah. Kecewa. Namun, bagaimanapun, Kang Jokpin begitu baiknya ketika tiba-tiba ia menyerahkan tiga kartu nama padaku. Ada nama yang tak asing di sana. Karyanya sering kubaca.
“Yang dua ini teman baikku. Sayang, Tuhan lebih sayang kepada mereka. Di negara ini siapa yang tak kenal W.S. Rendra? Siapa yang tak kenal Sapardi? Temanku yang satu lagi ini kudengar sering menulis naskah drama dan mengajar di teater. Bayangkan, beliau sering menulis drama, menulis cerpen, tetapi beliau butuh 20 tahun untuk belajar menulis puisi. Nah, kamu bisa belajar dengan beliau berbagai kegagalan itu untuk pembelajaran. Aku tak tahu sekarang dia sedang di Jakarta atau di Jogja. Beliau orang sibuk. Ini nomor teleponnya. Hubungi saja. Kamu kenal?”
“Pemetik Air Mata, itu judul cerpen beliau yang kukagumi, Kang.”
Kang Jokpin mengangguk. Tersenyum. Lalu berkelakar karena aku tak kunjung pergi. Malah seperti orang bingung.
“Apa aku harus mengusirmu dengan sebaris puisi? Indomie ini untukku ‘kan? Masa tamu makan bawaannya sendiri?”
Buru-buru aku menutup mulutku dengan telapak tangan. Menawan tawa. Menyalaminya dengan sangat erat. Mohon pamit setelah berterima kasih banyak padanya.
Menuju tempat mas Agus Noor, aku naik ojek. Beliau langsung menerima teleponku dan disuruh mampir saja. Kebetulan sedang tidak berkegiatan. Beruntung sekali diriku ini. Kudengar karena kesibukannya, beliau kadang susah ditemui. Hingga sampai di teras rumahnya, aku sudah disambut dengan sepiring onde-onde dan dua gelas teh hangat di atas meja. Barangkali, Kang Jokpin sudah konfirmasi dulu jika aku mau main ke tempatnya. Aneh sekali. Tidak ada kopi. Pikiran sastrawan memang susah ditebak. Maka, ketika dipersilakannya aku duduk, ia kuncir rambut gondrongnya ke belakang, tersenyum renyah.
“Piye Mas? Jauh enggak ke sini? Monggo diminum dulu.”
Aku mengangguk sungkan. Mengambil satu gelas, menyesap sedikit teh di meja. Harum teh melati menguar menembus hidung. Nikmat sekali. Kubayangkan setelah ini beliau pasti menyuruhku untuk memakan onde-onde yang sudah dihidangkan di depanku. Dan benar saja, mas Agus menyuruhku untuk memakannya, tetapi lagi-lagi tebakanku salah. Aku disuruh mengambil untuk menghitung biji wijennya. Duh, apa lagi ini?
“Kesabaran adalah definisi puisi itu sendiri. Ada tisu di depanmu, letakkan biji wijennya di sana. Selesai kamu hitung, baru nanti kamu boleh memakan onde-ondenya. Aku mau ngasih makan burung dulu. Aku tunggu sepuluh menit dari sekarang. Bisa kan?”
Aku mengangguk. Merasa konyol. Kukira dua penyair dan sastrawan hebat ini sedang mengerjaiku. Namun, aku harus ikhlas. Toh, aku datang untuk meminta ilmunya. Gratis lagi. Apa susahnya menuruti kemauan mereka. Barangkali setelah ini aku diberi tahu tips dan trik menulis puisi. Kapan lagi?
Sepuluh menit berlalu dan mas Agus melihat biji wijen yang begelimpangan di atas tisu, ia tak pernah mengatakan apakah hitunganku salah, kurang, atau lebih. Ia tersenyum saat kukatakan angkanya. Kemungkinan dia pun tak tahu jumlahnya karena tak ikut menghitung bersamaku. Namun, beliau malah membawaku ke dapur. Memperlihatkan bulatan telur ceplok di piring putih ceper dan menyalahkan pembuatnya.
“Lihat, kuning telur ceplok ini tidak pas di tengah-tengah. Tidak estetis bukan? Kalau telur ceplok ini untuk dimakan sendiri kemungkinan tidak masalah. Bagaimana jika telur ceplok ini akan dihidangkan untuk orang lain? Akan dinilai keindahannya? Presisinya? Seninya? Jika kamu bisa membuat kuning telur bisa pas di tengah, kamu kunyatakan lulus dan bisa jadi muridku. Gampang bukan?”
Aku mengangguk. Mulai menyiapkan teflon, spatula, dan sebutir telur. Menyalakan kompor. Sungguh, ujian apa lagi ini? Namun, aku merasa bahagia bisa mendapat sedikit gambaran ilmu dari para master. Diam-diam aku tahu semua yang mereka katakan adalah pembelajaran dari puisi itu sendiri. Kesabaran? Wah, aku tentu saja bisa melakukannya.
“Telur buatanmu terlalu cokelat, sedikit gelap. Itu akan dipandang tak menarik di mata orang. Menurunkan nafsu yang ingin menikmatinya. Aku tahu kamu sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi bukan telur warna begitu yang kuinginkan. Begini, sesuai contoh, warna putih terang dengan bulatan kuning presisi di tengah.”
“Maaf, barangkali apinya sedikit kebesaran tadi, Mas.”
“Tidak ada kata maaf untuk puisi. Yang ada perbaiki. Belajar lagi. Perbaiki. Belajar lagi. Perbaiki lagi.”
Aku mengangguk. Sungguh, aku merasakan ada sesuatu yang masuk dari rongga telinga menuju ujung kepala. Namun, keluar lagi dari lubang telinga yang sebelah. Belum begitu paham maknanya. Memang bebal dan lemot otakku ini.
“Bagaimana? Sudah bisa memaknai puisi?”
“Entahlah. Aku merasa sedang ikut penjurian acara memasak di TV.”
Mas Agus terbahak. Menepuk pundakku. Mohon pamit mau ngajar drama jam dua. Meminta maaf tak bisa lama-lama. Aku balas mengangguk. Meletakkan telur ceplok buatanku yang gagal. Lalu gegas pamit pulang.
Setelah bertemu mereka, aku seolah malah makin bebal dan terpuruk. Puisi-puisiku tak kunjung tayang di media yang kuincar. Sudah kutelepon teman baikku, mas Muhammad Daffa dan mas Yuris Julian. Penyair muda yang karya puisinya sering berseliweran di media massa. Namun, mereka hanya memberiku saran dan tips-tips saja. Jarak yang jauh membuat aku tak bisa ke tempatnya sekarang. Satu di Surabaya, satu lagi di Jakarta.
Pesan dari mas Daffa agar aku sering mendengar suara kesunyian, atau suara angin, entah di halaman atau di kamar. Nanti ilham puisi bisa tiba-tiba muncul. Namun, saat bermeditasi, berusaha mendengar suara kesunyian itu, yang terdengar malah suara keroncongan dari perut yang lapar. Atau suara ledakan kentut yang menggelegar karena semalam kebanyakan makan ubi. Aku malah kliyengan mencium aroma kentut sendiri. Entah aku harus bagaimana lagi.
Merasa belum puas, aku menelepon mas Juris Yulian. Lalu beliau bilang akan memperbaiki tiga puisi yang kukirim untuk direvisi. Nanti jika sudah selesai, biar bisa langsung dikirim ke redaktur. Hanya saja, aku dilarang membuka file revisi itu. Biar kalau dimuat jadi kejutan. Aku manut saja.
Malam hari jam sembilan malam, kukirim puisi untuk redaktur koran itu. Dengan basa-basi kalimat pengantar di badan surel. “Bersama ini saya kirimkan tiga puisi agar bisa diterbitkan di media Anda. Terima kasih. Salam.” Telah kulampirkan puisi itu di attachment surel. Tinggal menunggu mas redaktur membukanya. Aku tak tahu isinya apa. Itu revisi dari mas Yuris Julian. Beliau bilang semoga bisa dimuat.
Subuh hari, jam lima pagi, tumben sekali ada notifikasi balasan surel di ponsel. Sebuah pop-up muncul di layar. Kugeser. Lalu sebuah deretan kata dalam nada aneh, entah marah entah guyon. “Jeruk makan jeruk. Bercanda aja lo, Bro.”
Dahiku makin berkerut. Balasan surel dari mas redaktur sungguh di luar perkiraan cuaca. Aku penasaran seperti apa isi file puisi yang kulampirkan. Setelah di-klik, aku menggeleng. Sial. Aku dikerjai. Ingin marah. Ingin tertawa juga. Isinya berubah total dari file yang pernah kukirim. Isinya begitu singkat, padat, dan membuatku tertawa.
“Mas Muhary Wahyu Nurba, i love you.”