Di Balik Mata Cokelat Selomita

AKU ingat pertama kali menemukanmu di pinggir jalan Trans Sulawesi. Kau sedang menata potongan-potongan kopra di atas terpal. Pipi putihmu dikerubungi keringat serupa kue biapong yang baru diangkat dari kukusan. Memanglah matahari terasa begitu dekat di kampung ini. Masih pukul setengah sembilan. Tapi panasnya dengan cepat melelehkan bedak foundation di wajahku.

Aku hendak ke Dinas Pendidikan untuk mengurus sesuatu pagi itu. Karena motor matikku tak sempat kubawa ke bengkel, alhasil indikator jarum pengisian bensin di speedometer selalu menipuku. Motorku kehabisan bahan bakar tepat di depan rumahmu.

Engkau hanya tersenyum saat kutanya, “Kenapa tidak sekolah?”

Kau menatapku dengan mata cokelatmu. Aku menanti harapan di baliknya. Kau akhirnya menegakkan badan setelah beberapa lama jongkok di antara potongan kopra yang berserakan. Aku memarkirkan motor di bawah pohon kersen. Aroma daging kelapa menguar.

Namamu Selomita. Tapi kau tidak suka aku panggil “Mita”. Kau lebih suka “Selo”. Aku memilih memanggilmu “Sel”. Senyummu mengiyakan. Umurmu hampir menginjak sembilan tahun. Namun bagiku, itu belumlah terlambat untuk seorang anak duduk di kelas satu SD.

“Ibu guru mo tunggu besok di sekolah ti Selo. Bilang sama ti mama deng ti papa,” kataku.

Setelah seminggu menanti, aku berkunjung kembali ke rumahmu. Aku sampaikan keinginanku atau sebenarnya keinginanmu untuk bersekolah kepada mamamu. Beliau hanya diam. Aku tahu dari balik mata cokelatmu, pasti kau sudah bosan mendengar suara lantang mamamu setiap pagi menyuruhmu mengusir anjing atau ayam yang mencuri kopra. Kau lebih suka mendengar suaraku menyebutkan huruf-huruf di papan tulis. Iya ’kan, Sel?

Aku tak melihat papamu. Kata mamamu, dia bekerja di tambang. Dari perbincangan kami, aku tahu ternyata dia bukan papa kandungmu.

Akhirnya, setelah dua minggu berlalu, kau muncul di depan pintu kelas dengan kemeja putih dan rok lipit merah yang seperti dipaksakan untuk muat di tubuhmu. Kau sangat cantik sekaligus lucu, Sel.

Aku telah menyediakanmu bangku khusus di depan. Malah kau duduk di bangku belakang. Namun, kubiarkan kau memilih sesuai keinginanmu. Untungnya, kepalamu masih terlihat jelas karena kau yang paling tinggi di antara tujuh orang siswa yang duduk di kelas satu. Kau tersenyum. Senyummu menular kepadaku. Dan sejak saat itu, aku merasa ada ikatan di antara kita.

Ah, teman-temanmu sungguh ribut dan mengganggu, Sel. Selalu begitu. Kau tak peduli. Kau sibuk sendiri menghitung lembaran uang dua ribuan lecek hasil jualan kue biapong di sekolah saat jam istirahat. Aku membeli empat. Isinya terbuat dari kelapa parut dan gula merah. Manis. Semanis senyummu saat mengatakan kau ingin menjadi guru sepertiku.

Kau lebih cepat pandai membaca daripada teman-temanmu. Itu karena usiamu jauh melebihi teman-temanmu. Namun, kau memang suka membaca, Sel. Di saat jam istirahat dan pulang sekolah, kau masih duduk tenggelam dalam buku-buku di perpustakaan.

Tak terasa, kau sudah naik ke kelas dua. Artinya sudah tiga tahun aku mengabdi di sekolah ini. Dan aku tidak mengajarmu lagi. Ibu Erlin yang akan mengajar di kelasmu. Tak perlu bersedih, karena Ibu Erlin juga baik, tidak suka bersuara tinggi. Kecuali kau melakukan sesuatu yang membuatnya marah. Walaupun begitu, kita masih tetap bersama, Sel. Bahkan kau masih bisa bercerita denganku sepulang sekolah tentang buku yang kau baca. Aku sering memintamu menemaniku di rumah dinas guru. Kau telah kuanggap seperti adik. Hampir seperti anak. Ya. Mungkin jika aku menerima lamaran itu, aku telah memiliki anak seusiamu. Dan pastinya tidak menjadi guru di kampung ini.

Aku berjalan menuju rumahmu di bawah sinar matahari yang mematuk ubun-ubun sepulang sekolah hari itu. Demi kau, Sel. Aku cemas. Sudah empat hari aku tidak melihat senyum dan mata cokelatmu. Kata teman-temanmu, terakhir kali kau pulang sambil menangkupkan tangan di wajahmu. Teman-temanmu merasa teganggu dengan aroma tubuhmu. Seperti bau kelelawar, ejek mereka.

Aku jelaskan kepadamu tentang apa yang terjadi pada tubuhmu.  Secara biologis, kau telah memasuki fase remaja. Kadang kala, kau akan merasakan seolah-olah sesuatu mengiris-iris dalam perutmu setiap kali siklus itu datang. Dan aroma tubuhmu akan berubah.

Engkau memelukku erat setelah paket perawatan tubuh kuberikan. Sabun cair, deodoran, sampo dan sabun wajah kubeli ketika aku ke kota. Engkau tersenyum tapi aku tahu air matamu berlinangan saat kau menghapusnya dengan punggung tanganmu. Ah, betapa cepat waktu berjalan. Tahu-tahu kau bukan anak kecil lagi, Sayang.

Saat itulah pertama kali aku melihat papa tirimu. Aku menangkap kesan lain dari raut wajahnya. Entahlah. Aku tak ingin berpikir yang tidak-tidak.

Setiap hari, aku melihat engkau diantar dan dijemput dengan motor oleh papamu. Aku bersyukur tapi engkau tidak bisa lagi bersama-sama denganku di perpustakaan atau di rumah dinas. Bahkan, ia terlihat memaksamu untuk pulang ketika kita sedang ngobrol di bawah pohon ketapang di depan perpustakaan.

Terlihat jelas dari balik matamu, Sel, aku tahu kau tak ingin pulang. Setiap hari seperti itu. Ibu gurumu ini bisa apa?

Aku ingat hari itu, Sel. Dadaku begitu panas, menjalar hingga ke kepalaku. Bukan karena matahari yang begitu dekat dengan kampung ini. Tapi karena pengakuanmu yang terlihat susah payah kau katakan di sela-sela tangismu saat menemuiku di perpustakaan. Katamu, papa tirimu telah ‘menyentuh’mu. Aku mencengkeram kedua bahumu. Oh, dadaku begitu panas. Aku memelukmu untuk meredakan tangis. Malah tubuhku berguncang karena tangis yang juga ikut pecah.

Apa lagi yang dia (laki-laki bejat itu) lakukan padamu, Sel? Ngana pe mama so tau?

Kau menangkupkan kedua telapak tangan di wajahmu. Dengan berbisik kukatakan, aku akan melindungimu. Aku janji, Sel. Aku tahu kau takut. Katamu, si bangsat itu tidak sempat menodaimu. Ia hanya melecehkanmu ketika mamamu belum pulang dari kebun. Sudah beberapa minggu ini papa tirimu hanya berdiam diri di rumah karena tidak lagi bekerja di tambang.

Setiap kali ia datang untuk menjemputmu, aku menahanmu di sekolah dengan alasan mengerjakan tugas, dan alasan-alasan lain. Kau menatapku dengan mata cokelat yang mulai berlapis air mata. Hal-hal buruk terbayang dalam benakku. Manusia bejat itu pasti akan melakukan sesuatu yang lebih buruk dari yang telah kau ungkapkan, Sel. Tapi aku bisa apa? Ia menarik lenganmu ke motornya. Dan kau berlalu. Hilang ditelan jalan Trans Sulawesi yang bisu.

Beberapa hari ini kau tidak datang ke sekolah, Sel. Aku semakin khawatir. Aku tahu aku harus berbuat sesuatu. Perlakuan buruk papa tirimu harus kuceritakan kepada kepala sekolah dan Ibu Erlin. Hal itu tidak bisa dibiarkan.

Sebagai kepala sekolah dan warga asli yang dihormati di kampung ini, Pak Jerom seharusnya menanggapi dengan serius kasus ini. Nyatanya, ia hanya tersenyum dan menyuruhku untuk tenang. Tak jauh beda dengan Bu Erlin, ia meyakinkanku bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Oh, apa yang sedang terjadi di sini?

Aku kembali berjalan menantang sinar matahari yang tak berhenti mematuk ubun-ubunku. Aku tak peduli. Mungkin kepalaku sudah sama panasnya. Rumah kepala desa hanya berjarak tiga rumah dari sekolah, melewati jalan Trans Sulawesi yang sunyi.

Baru kali itu aku bersuara tinggi saat menanggapi jawaban kepala desa yang bernada sama dengan kepala sekolah. Aku tanyakan (masih dengan suara tinggi), mengapa tidak ada yang peduli dengan keadaan Selomita? Mengapa kalian semua menjadi bisu?

Kali ini jawaban yang kuterima lebih meremukkan dadaku, Sel. Kata kepala desa, papa tirimu masih keturunan bate (pemangku adat yang dihormati). Bahkan, sekolah ini berdiri di atas tanah keluarga papa tirimu dan ia sewaktu-waktu dapat mengambil kembali haknya. Melapor kepada Babinsa hanya akan membuat heboh, mencemari kampung dan memperburuk keadaan katanya.

Oh, betapa malangnya nasibmu. Nasib kita, Sel. Dulu, aku bercita-cita menjadi guru untuk menyelamatkan lebih banyak anak dari kebodohan, ketertindasan. Nyatanya, aku tidak bisa menyelamatkan dirimu seorang, Selomita.

Ingin aku memeluk dan membawamu pergi dari rumah itu.  Aku menangis sejadi-jadinya di kamar. Karena aku peduli denganmu. Lebih dari itu, karena aku menyayangimu. Aku merasakan yang engkau alami. Aku merasakannya, Sel. Aku pernah mengalami perlakuan buruk yang sama saat seusiamu. Sungguh aku telah mengubur dalam-dalam memori itu. Kini ia berdesakan keluar melalui air mata yang menderas.

Sabarlah, Sayang. Aku punya teman di kota yang mungkin bisa membantu kita. Ia bertugas di Dinas Perlindungan Anak. Ia mengatakan akan mengirimkan tim kemari. Benar ‘kan kataku, selalu ada harapan bagi orang yang bersabar.

Mereka akan datang dua hari lagi, kata teman ibu. Namun, menanti hari itu sungguh terasa lama, Sel. Seharian itu, aku membayangkan: kami datang menjemputmu sebelum malapetaka itu terjadi, dan  mengeluarkanmu dari rumah itu. Aku akan memelukmu dan kita pergi bersama-sama. Aku ingin melihat kembali binar mata cokelatmu, dan senyummu yang khas itu.

Engkau harus tegar, Sel. Walaupun itu berat. Lebih berat dari yang aku rasakan saat membaca surat dari Dinas Pendidikan hari ini. Aku berdoa agar kau selalu dalam perlindungan-Nya. Semoga kita bisa bersama di kota suatu hari nanti, di tempat tugas baruku yang tertera di SK Mutasi.

            Ibu Guru Masita.

Gorut, Oktober 2023

Bagikan:

Penulis →

Ridwan Hasan Pantu

Menulis cerpen, puisi, esai, resensi, dan novelet. Tulisannya terbit di Fajar Makassar, Harian Rakyat Sultra, Gorontalo Pos, bacapetra.co, magrib.id, madrimpos, wacaku.id, YMPAI.org, lokerkata.com. Penulis saat ini mengajar di SMPN 4 Monano, Gorontalo Utara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *