Saga dari Ratih Kumala

Judul Buku   : Saga dari Samudra
Penulis      : Ratih Kumala
Penerbit     : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan      : Mei, 2023
Tebal Buku   : 200 halaman
ISBN         : 978-602-06-7097-3


MEMBUKA halaman pertama buku Saga dari Samudra (Gramedia Pustaka Utama, 2023) karya terbaru Ratih Kumala seperti membuka lembar soal ujian. Bagaimana tidak? Cerita belum dimulai, tetapi Ratih sudah menguji pembaca dengan pertanyaan filosofis dan dilematis, “Apakah durhaka itu? Sepakatkah Kisanak, jika kubilang durhaka bukanlah saat seorang anak ingkar dari (perintah Tuhan untuk mematuhi bapak dan) ibunya. Namun durhaka adalah ketika seorang ibu membuang anaknya.” (Halaman 1) Ratih berhasil memancing rasa penasaran sekaligus mengusik dan memantik saya untuk memikirkan arti lain dari durhaka di luar arti yang kita tahu; tidak patuh kepada orang tua, atau menurut KBBI, ingkar terhadap perintah (Tuhan, orang tua, dsb.).

Saga dari Ratih Kumala menghadirkan kisah berlatar tanah Jawa pada abad ke-15. Ratih rupa-rupanya senang mengajak kita menapaki kejadian, kalau bukan jalan-jalan, di masa lampau. Seperti pada novel Gadis Kretek (2012) yang berlatar periode penjajahan Belanda hingga kemerdekaan. Kalau novel Gadis Kretek membawa kita pada sejarah perkembangan industri kretek di Indonesia, lain lagi dengan novel Saga dari Samudra. Ratih membawa kita pada sejarah penyebaran agama Islam di Jawa dan sekitarnya—terutama riwayat hidup dan perjalanan dakwah Jaka Samudra. Selain itu, keduanya juga mengangkat topik yang sama, yaitu pencarian jati diri.

Kisah Jaka Samudra dimulai dengan kepedihan, kesedihan, dan keterpaksaan seorang ibu melarungkan anaknya ke lautan. Kita tidak bisa menghakimi pilihannya. Di sisi lain, kita juga tidak bisa menyalahkan tindakannya. Sebagai pembaca, juga perempuan, saya dapat memahami pilihan yang diambil dan dilema yang dirasakan oleh Dewi Sekardadu, ibu Jaka Samudra. Nakhoda Sobir, pemimpin kapal sekaligus awak kapal kepercayaan Nyai Ageng Pinatih, syahbandar di Gresik, menemukan Jaka Samudra di dalam peti saat kapal dagang Nyai menuju Bali, lantas diangkat anak oleh Nyai.

Semakin bertambah usia, semakin kita sadar dan suka mempertanyakan tentang diri. Pemicunya pun bisa beragam. Entah faktor dari luar entah dari dalam. Tak terkecuali Jaka Samudra. Perkataan Aryo Wajendra, anak saudagar kapal Aryo Rekso, perihal ketidakjelasan asal-usul berhasil mengusik hati dan pikiran Jaka Samudra. Beragam pertanyaan berkecamuk dalam benaknya, bahkan ketika dikirim ke Padepokan Ampeldenta untuk berguru kepada Sunan Ampel. Jaka yang tidak pernah mempertanyakan tentang asal-usulnya pun berkeinginan menghapus semua kebimbangan dengan menemukan kebenaran dan jawaban.

Keinginan itu kian besar ketika ia mengetahui kebenaran asal-usulnya sepulang dari Ampeldenta. Kekacauan hati Jaka begitu terasa dan tampak dari perubahan sikapnya. Kendati berat, Nyai Ageng Pinatih yang menyadari hal itu pun mengizinkan dan merelakannya untuk melaut dan berniaga. Bersama Nakhoda Sobir perjalanan Jaka mencari kebenaran dan jawaban yang tepat untuk segala pertanyaan mempertemukannya dengan beragam jenis orang. Tak hanya itu, ia juga mengalami banyak kejadian yang mendatangkan kesadaran akan diri, hidup, dan manusia, serta menemukan keinginan atau panggilan hidup yang selama ini dicari.

Ratih lagi-lagi menguji dan mengajak kita untuk berkontemplasi. Pertanyaan soal nama pada halaman 89, “Jika nama adalah identitas, maka apakah berarti dirimu orang yang berbeda jika namamu diganti?” dan perenungan Jaka juga membikin kita turut bertanya pada diri. Kelihaian Ratih menciptakan latar yang detail pun membikin kita tanpa perlu waktu lama hanyut dalam semesta Jaka Samudra. Saya dengan suka hati berubah menjadi awak kapal yang menyaksikan sendiri perjalanan Jaka mencari jati diri. Mengikuti Saga dari Samudra ibarat menyusuri sejarah perkembangan penyebaran agama Islam di tanah Jawa sekaligus menapak tilas perjalanan dakwah para sunan.

Gaya Penceritaan dan Penyatuan Dua Dunia

Dalam novelet Wesel Pos (2018), Ratih menggunakan selembar wesel pos sebagai—kalau boleh dianggap—jembatan yang menghubungkan pembaca dengan pelakon. Kalau dalam novel setebal 200 halaman ini, Ratih tidak lagi memakai benda sebagai penghubung, tetapi beralih profesi menjadi pendongeng. Bayangan Ratih lagi mendongeng di depan pembaca seketika muncul di benak saya. Gaya penceritaan seperti pendongeng memberikan kesan lampau kian terasa dan menghanyutkan. Kita tidak bisa mengalihkan perhatian, apalagi menolak menyimak saga dari Ratih.

Saat bercerita, Ratih kerap berinteraksi dengan pembaca. Ia cukup sering menguji dan menggoyahkan keyakinan pembaca lewat pertanyaan-pertanyaan filosofis. Misalnya pada halaman 124, “Kisanak, apakah kau percaya dengan keajaiban yang kuceritakan barusan? Jika kau tak percaya, tak apa. Memang tak semua orang punya keyakinan yang cukup untuk bisa menerima keajaiban, sekalipun itu terjadi di depan mata.” Kadang, mengingatkan perihal bagian cerita pada halaman atau jilid sebelumnya seperti pada halaman 190, “Dari sini, Kisanak pasti sudah tahu kelanjutan ceritanya, bukan? Jika lupa, Kisanak bisa membaca kembali Jilid 1 dari novel ini.”

Di jilid lain, Ratih menceritakan secara singkat beberapa karakter yang ada sangkut pautnya dengan Jaka Samudra. Pada halaman 129, misalnya, “Baiklah Kisanak, untuk sekarang cukup tentang riwayat singkat Sunan Bungkul.” Bagi saya, gaya penceritaan semacam ini membikin kita lebih dekat dengan cerita dan membangun keintiman dengan Ratih sebagai penulis merangkap pendongeng. Rasanya tidak seperti membaca buku, tetapi duduk berhadapan dan mendengarkan langsung Ratih bercerita. Selain itu, penggunaan panggilan Kisanak pun menarik dan khas sesuai latar. Membikin kita seolah-olah termasuk karakter dalam cerita; karakter yang diam-diam mengikuti Jaka Samudra bersyiar.

Eksplorasi dan penyatuan dua dunia, sejarah dan laga, dalam buku ini memunculkan ingatan acara The Writers Club 4 bertajuk “Ramuan Menulis Cerita bersama Ratih Kumala” yang diadakan oleh Klub Buku Narasi bekerja sama dengan Gramedia Pustaka Utama pada 26 Agustus 2022. Selaras dengan ucapan Ratih kala itu, “Sebuah karya tidak akan berkembang kalau tidak menggabungkan beberapa genre. Jangan takut mengeksplor diri di genre yang lain.” Upayanya mengeksplorasi diri tampak dari perkelahian dan konflik yang disajikan meski perkelahiannya tidak sebanyak yang saya duga saat pertama kali mengetahui karya terbarunya adalah novel laga.

Saya teringat pula oleh ucapan Ratih perihal genre dan konflik di acara tersebut, “Sejarah digunakan sebagai latar belakang tempat dan waktu. Problem ketemu problem jadinya konflik. Kalau mau bikin novel fiksi sejarah, cari konflik dan problem yang bisa terjadi di zaman itu.” Saya pikir perkelahian dan konflik yang ditampilkan porsinya tepat dan tidak berlebihan sesuai dengan latar waktu dan tempat. Di lain sisi, berpatutan dengan tujuan Ratih dalam berkarya yang ingin pembaca membaca dengan senang. Bagi saya, tujuannya tersampaikan dengan baik, khususnya bagi penyuka genre laga—apalagi disatukan dengan dunia sejarah—seperti saya.

Di luar itu, saya mendapati satu hal paling menarik dan boleh dibilang pemikat yang membikin kita membayangkan jalan cerita lain. Ratih menawarkan pilihan cerita pembuka kedua yang jauh lebih memilukan. Selayaknya pendongeng, ia pun memberikan pertanyaan terbuka menyangkut selera pembaca perihal dua pilihan cerita pembuka yang bertolak belakang. Konflik batin, sosial, dan keluarga yang dihadirkan tidak begitu pelik, namun selipan isu relasi kuasa, perisakan, pelecehan seksual, dan pencabulan yang diangkat mampu menggenapi keseluruhan cerita.

Sebagai novel laga karya perempuan penulis, kontribusi Ratih dalam memberi warna pada genre yang jarang disuguhkan oleh penulis perempuan patut diapresiasi meski cukup minim adegan laga dan belum mencapai kepuasan saya sebagai penyuka genre laga. Setidaknya bagi saya, sebagai percobaan pertama untuk genre di luar zona nyaman Ratih, novel Saga dari Samudra bisa dikatakan cukup berhasil memikat. Hati saya gembira dan penuh selepas membaca kisah Jaka Samudra. Kekecewaan yang timbul atas nasib Taksa, salah satu orang kepercayaan Nyai Ageng Pinatih, di tengah-tengah cerita lantaran terlalu menyukai karakter Taksa pun berganti menjadi kesadaran dan penerimaan. Begitu pun dengan perasaan saya pada novel ini.

Bagikan:

Penulis →

Launa  Rissadia

Blogger dan peresensi buku. Selain di blog bukunya, resensinya juga tersebar di web Koran Jakarta, Magrib.id, Bacapetra.co, dan Omong-Omong Media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *