CCTV

Dewi pusing sekali. Pemandangan di layar ponselnya membuat wanita berumur tiga puluh enam tahun itu geram. Itu adalah rekaman CCTV di ruangan dapur rumahnya. Tampak ibu mertua Dewi tengah membuang roti ke dalam lubang wastafel cuci piring.

“Aduh, Bu. Kok tega sekali membuang makanan ke dalam lubang wastafel. Kan bisa buntu saluran pembuangannya! Kalau ditegur nanti tidak mengaku. Tapi kalau kutunjukkan rekaman CCTV ini takutnya malah pura-pura nangis di depan Mas Seno dan membuat kami berdua bertengkar. Ah, pusing…pusing….”

Benci sekali Dewi pada ibu mertuanya. Sejak tinggal di rumahnya selama enam bulan terakhir, wanita tua itu selalu saja membuat masalah. Entah itu membuat sisa makanan ke dalam wastafel cuci piring atau kloset kamar mandi, menyapu halaman rumah lalu membuangnya begitu saja di halaman rumah tetangga, menyimpan makanan begitu lama di dalam kamar sampai bau, mengorek-ngorek tempat sampah lalu tanpa cuci tangan langsung membuka tudung saji untuk mengambil makanan, dan lain sebagainya.

Sesekali Dewi menegur ibu mertuanya. Memang ditanggapi dengan baik, namun perilaku buruk perempuan berusia tujuh puluh empat tahun tersebut tetap saja berulang. Sampai lelah sang menantu menegur hingga kemudian dibiarkan saja.

Tapi akibatnya wanita itu jadi makan hati. Pagi, siang, sore, dan malam dia selalu menonton rekaman CCTV di ponselnya. Memantau gerak-gerik sang ibu mertua di segala penjuru ruangan rumah, kecuali kamar tidur dan kamar mandi.

Seno, suami Dewi, tak pelak sering menjadi tempat sampah wanita itu mencurahkan kekesalan hatinya. Pria itu sendiri berusaha menegur ibunya secara halus. Namun mungkin karena daya ingat wanita itu mulai melemah akibat usia tua, teguran itu seolah lewat sambil lalu tanpa hasil.

“Aku tak tega menegur ibu terus-terusan, Wi,” ucap pria itu menyerah. “Raut wajahnya kelihatan sedih, seolah-olah dia menjadi orang yang tak berguna karena usia tua. Melakukan ini-itu tak ada yang benar.”

“Memang begitu kan, kenyataannya!” semprot Dewi geram. “Ibu selalu sok-sokan menyapu lantai dengan alasan mau membantuku melakukan pekerjaan rumah tangga. Tapi aku malah semakin capek karena harus mengulangi pekerjaannya yang tak beres. Menyapu lantai rumah kok pakai sapu halaman. Tambah kotor dan berdebu. Lagipula penglihatannya kan sudah tak setajam dulu.  Tidak kelihatan mana debu, mana bukan waktu  menyapu. Pokoknya sapu diayun-ayunkan atau didorong saja menyentuh lantai.”

“Sudahlah, Wi. Cobalah bertenggang rasa. Ibu itu sudah tua. Tujuh puluh tahun lebih umurnya. Masa kamu tidak merasa kasihan?”

Dewi menjadi berang. “Kasihan katamu, Mas? Kalau aku tidak kasihan pada Ibu, sejak awal sudah kutolak usulmu membawa dia tinggal bersama kita. Akan kubiarkan dia tinggal bersama keluarga adikmu di Purwakarta. Aku takkan peduli istri adikmu susah payah merawat suaminya yang kena tumor usus dan ibu mertua yang sangat merepotkan!”

Seno menatap istrinya dengan sabar. “Kamu tahu sendiri kan, Wi. Adikku dan istrinya tak pernah mengeluh selama tinggal bersama Ibu di Purwakarta. Mereka menampung Ibu semenjak Ayah meninggal dunia. Sudah dua tahun, lho!”

Emosi Dewi memuncak. Wanita cantik berambut ikal pendek itu berkacak pinggang. “Jadi kamu banding-bandingkan aku dengan mereka yang lebih sabar menghadapi perilaku Ibu? Ya sudah kalau begitu, aku mengaku kalah. Kalah total! Kembalikan Ibu pada anak dan menantu tersayangnya itu. Aku merelakannya dengan senang hati!”

Giliran emosi Seno yang tersulut. Tangan pria itu naik ke atas hendak menampar istrinya. Tapi air mata Dewi menyadarkan Seno. Dia tak boleh menyakiti istrinya. Bagaimanapun Dewi adalah ibu kandung dari ketiga anaknya. Wanita itu juga setia mendampingi dirinya dalam suka dan duka.

Lalu bagaimana caraku menyelesaikan masalah ini? batin Seno kebingungan. Dia tak mau disebut anak durhaka yang tak bersedia menampung ibu kandung sendiri. Tapi kalau tetap seperti ini keadaannya, keharmonisan rumah tangganya dengan Dewi jadi terancam.

***

“Maafkan aku, Joyo. Bukannya aku bermaksud menyusahkan. Tapi maksudku seandainya penyakitmu sudah membaik, bisakah Ibu tinggal di tempatmu lagi untuk sementara waktu? Yah, dua bulan gitu misalnya. Supaya Dewi bisa beristirahat sejenak. Dia kelelahan karena pekerjaan rumah tangga jadi bertambah banyak semenjak ada Ibu.”

“Kondisiku sudah membaik, Mas. Operasi pengangkatan tumornya berhasil. Sekarang tinggal pemulihan saja. Tapi aku sudah bisa beraktivitas seperti semula, kok. Cuma tidak boleh kecapekan saja.”

“Syukurlah kalau begitu, Joyo. Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu? Toko online masih jalan?”

“Lumayan, Mas. Karyawan-karyawanku sudah bisa mandiri mengerjakan job desc masing-masing. Aku tinggal memantau saja.”

“Istrimu apa tidak keberatan Ibu kembali ke rumah kalian?”

“Susi sudah biasa menghadapi perilaku Ibu, Mas. Ini sudah istirahat dari Ibu selama enam bulan cukuplah untuk mengisi tenaganya kembali. Hehehe….”

Seno tersenyum. Setidaknya Susi lebih tabah menghadapi Ibu ketimbang Dewi. Dua tahun versus enam bulan. Ah, hebat kamu, Susi.

***

“Ibu sekarang baik sekali padaku, Mas,” cetus Susi pada suaminya.

“Masa?”

“Iya. Ibu sekarang tak pernah menyindirku ini-itu seperti dulu waktu belum ikut Mas Seno tinggal di Jakarta. Aku mau ngapain saja di rumah, Ibu tak berkomentar. Aku menyiapkan menu apa saja buatmu, Ibu tak ikut campur. Bahkan dia sekarang kalau menyapu lantai sampai diulangi berkali-kali. Takut rambutnya ada yang rontok dan tak ikut tersapu. Hihihi….”

Joyo mengernyitkan dahi. Dia tahu ibunya dulu tak menyukai istrinya. Susi dianggap tak becus mengurus suami dan anak. Berbeda dengan Dewi, kakak ipar Joyo, yang lebih cantik dan sering memberi Ibu uang. Hal itu tentu saja karena penghasilan Seno jauh lebih besar dibandingkan adiknya.

“Jadi Ibu sudah berubah, Sus?” tanya Joyo menegaskan.

Sang istri mengangguk. Ekspresi wajahnya berseri-seri. “Aku juga heran, Mas. Apa ya, yang menyebabkan Ibu berubah? Apakah dia tidak suka tinggal di rumah Mas Seno jadi takut kalau jahat sama aku lagi nanti bakal dikembalikan ke sana?”

Joyo mengangkat bahu. Dia memang tak menceritakan perilaku ibunya selama tinggal di rumah Seno. Supaya suasana tidak memanas. Joyo cuma bilang bahwa ibunya tak terbiasa tinggal di kota besar seperti Jakarta. Susi yang pada dasarnya bukan orang yang kepo, juga tak bertanya lebih jauh.

Dikecupnya lembut dahi istrinya. “Yang penting sekarang Ibu sudah baik sama kamu, Istriku Sayang. Mungkin selama di Jakarta, dia merasa kesepian karena asing dengan lingkungannya. Jadi dia sangat menghargai bisa kembali lagi ke Purwakarta. Ibu mungkin juga menyadari bahwa kamu adalah menantu yang baik.”

Susi tersenyum lega. Dipeluknya Joyo penuh kasih sayang.

Pasangan suami istri itu tak menyadari bahwa di balik pintu kamar mereka ada sepasang telinga tengah asyik menguping. Pemilik telinga itu tersenyum puas mendengarkan pembicaraan Susi dan Joyo. Dialah ibu kandung Joyo.

Betul katamu, Joyo, kata sang ibu dalam hati. Selama ini Ibu telah bersalah pada Susi, merendahkannya dan bahkan mengunggul-unggulkan Dewi. Ternyata istrimu jauh lebih baik dibanding kakak iparmu itu. Ibu pernah mendengar Dewi mengeluh tentang Ibu di depan Seno. Ternyata di segenap penjuru rumah mereka dipasang kamera CCTV supaya Dewi bisa memata-matai Ibu! Ah, Ibu tak betah tinggal di sana. Dewi juga menghasut anak-anaknya untuk menjauhi Ibu. Akhirnya Ibu sengaja melakukan hal-hal buruk supaya terlihat oleh Dewi di CCTV. Harapan Ibu dia menjadi tak tahan sehingga mengembalikan Ibu ke rumah ini. Ibu berdoa setiap hari agar hal itu terwujud. Dan Ibu berjanji jika bisa kembali ke sini lagi, akan bersikap baik pada Susi dan memperlakukannya seperti anak Ibu sendiri.

***

Dewi menghela napas lega. Akhirnya ibu mertuanya diantar Seno kembali ke Purwakarta. Wanita itu mulai merasakan home sweet home lagi. Pekerjaan rumah tangga dilakukannya kembali dengan normal, tak perlu mengulang-ulang akibat ulah mertuanya yang tidak higienis. Puas sekali rasanya rumah tercinta kembali bersih dan rapi sesuai kriterianya. Mengambil makanan juga tidak ragu-ragu karena takut bekas disentuh tangan ibu mertua yang tidak higienis.

Tapi rupanya sukacita Dewi tak berlangsung lama. Seminggu kemudian dia merasa ada yang hilang. Apakah itu?

Ternyata Dewi merindukan kebiasaan memata-matai ibu mertuanya lewat kamera CCTV! Tak diduganya kebiasaan itu membuat hidupnya lebih berwarna. Setiap hari dia bangun dengan semangat karena rasa ingin tahu yang besar tentang apa yang akan dilakukan ibu mertuanya hari itu.

Tak jarang Dewi merasa kecewa, jengkel, bahkan benci pada ibu kandung suaminya itu. Tapi ada kalanya dia juga tertawa geli menyaksikan tindakan-tindakan wanita tua itu yang dianggapnya lucu. Misalnya waktu ibu mertuanya membuka tudung saji dan melihat ada sambal goreng ati kentang dan tumis sayur terhidang di atas meja. Tangan wanita tua itu meraih sedikit makanan tersebut lalu mencicipinya. Kemudian diaturnya sedemikian rupa seolah-olah tak pernah disentuh orang.

Dewi yang menyaksikan kejadian itu lewat rekaman CCTV merasa geli sekaligus jijik. Begitu pulang ke rumah, langsung dibuangnya makanan dalam tudung saji. Wanita itu kini tersenyum mengenang peristiwa tersebut. Kemudian dia mendesah pelan. Sekarang hidupnya terasa hambar. Tak ada lagi tingkah mertua yang bisa diolok-oloknya.

Tiba-tiba Dewi mendapat inspirasi. Lalu diteleponnya. toko penjual CCTV. Wanita itu bermaksud memasang kamera CCTV yang sangat kecil dan letaknya tersembunyi di kamar kerja suaminya.

Dewi penasaran kenapa Seno selalu berlama-lama di ruangan itu setelah makan malam. Senyuman lebar merekah di bibir wanita itu. Tak lama lagi dia akan punya obyek baru untuk dimata-matai. Jadi hidupnya tak terasa membosankan lagi.

~Selesai~

Bagikan:

Penulis →

Sofia Grace

Sofia Grace adalah nama samaran Syanee Wibisono. Lahir di Surabaya, 11 Juli 1979. Cerpenis dan seorang ibu rumah tangga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *