AKU mengamatinya saat dia berjalan, penuh gaya. Dia adalah seorang pria muda; tampak sombong, cuek, dan tidak bertanggung jawab. Dia tidak peduli berapa lama benda itu melolong: beberapa menit, berjam-jam, sehari, atau bahkan berhari-hari. Aku melihat pakaiannya. Dia mengenakan celana chino biru dan jas olahraga putih. Dalamannya kemeja kotak-kotak. Dia berhenti sejenak, mencari gantungan kuncinya. Aku keluar dari tempat persembunyianku dan kutodongkan pistol ke arahnya.
“Diam kau!” Perintahku.
Dia menatapku, berkedip kaget. Tangannya gemetar. Gantungan kuncinya jatuh ke tanah. Aku menekan ujung pistol ke pelipisnya.
“Ambil, cepat!”
“Dengar, kawan, tolonglah…”
“Diam! Dan matikan mobilmu!”
Dia membungkuk, dan melakukan apa yang aku perintahkan. Aku perhatikan dia memejamkan matanya. Dia mungkin sedang berdoa.
Dia menekan tombol yang salah. Alarm terus berbunyi. Aku mengambil pistol pada larasnya dan memukul kepalanya dengan gagangnya. Dia terjatuh ke belakang sambil mengerang kesakitan. Dia sedang mabuk dan juga ketakutan. Orang bodoh yang malang.
Aku mengambil gantungan kunci dan menghentikan keributan itu sendiri.
“Sekarang kau buka pintunya,” kataku padanya, “dan jangan meraba-raba lagi.”
Dia mengangguk dan menggumamkan sesuatu yang tidak aku pahami. Aku berpikir bahwa postur tubuhku seharusnya mencerminkan tekad yang kuat. Sebutlah semacam keyakinan moral. Pria itu tidak mencoba menawariku uang, atau mengeluarkan dompetnya atau melakukan hal-hal bodoh lainnya yang mungkin diharapkan dari seorang pria dalam situasi seperti ini. Hal ini membuatku sangat percaya diri.
Terdengar dua bunyi bip, lalu bunyi klik yang menandakan bahwa mekanisme penguncian terpusat telah terbuka. Aku mengarahkan pistol ke arahnya lagi dan memberi isyarat kepadanya untuk masuk. Aku masuk ke kursi belakang, dengan sedikit tidak nyaman. Pakaian berserakan di kursi: kemeja, celana panjang, satu atau dua jaket. Aku lemparkan semuanya ke jalan. Mobil ini masih berbau baru, sandaran kepalanya dilapisi plastik transparan. Semua yang ada di dalamnya tampak baru, kecuali pengemudinya.
“Aku bisa mencium rasa takutmu, bajingan. Apa kau takut?”
“Kawan, tolong jangan sakiti aku. Aku akan memberikan apa pun yang kau inginkan.”
“Aku ingin kau menyetir. Nyalakan mesin dan langsung ke jalan. Jangan lebih dari tiga puluh, atau kutembak kau.”
Dia patuh. Mungkin dia akan menolak jika dia tahu bahwa aku tidak pernah menggunakan pistol sebelumnya. Lampu pada panel menyala. Interior dipenuhi dengan lampu hijau dan kuning yang berkedip-kedip. Jam di dasbor menunjukkan pukul 04.30. Mobil dinyalakan dengan tenang.
“Apakah kau tahu sekarang jam berapa?” Aku bertanya kepadanya.
Dia mencoba menjawab tapi terbata-bata. Aku tidak mengizinkannya berbicara:
“Sekarang masih pagi di hari Senin. Mobilmu sudah berteriak-teriak sejak Sabtu malam. Rongsokan ini berjalan sepanjang hari kemarin. Aku pikir itu akan berhenti pada suatu saat. Aku berkata dalam hati: ‘Bersabarlah, pemiliknya pasti akan segera datang untuk menghentikannya.’ Tapi ternyata tidak. Kau baru saja muncul. Dengar: Aku harus mengoreksi ujian untuk besok. Banyak ujian. Aku seorang guru dan aku memiliki tanggung jawab, aku tidak dapat mengerjakannya jika aku harus mendengar suara yang mengerikan, menggelegar sepanjang hari dan malam. Aku harus berkonsentrasi, menjaga pikiranku tenang. Aku butuh keheningan, mengerti kau? Belok kanan di sini.”
Orang itu melakukannya. Dia juga menghela napas. Mungkin dia merasa lega karena dia tidak berurusan dengan seorang pencuri. Mungkin dia berpikir bahwa situasinya tidak terlalu buruk sebab orang yang mengancamnya dari kursi belakang adalah seorang profesional: seorang pria dengan gelar sarjana pendidikan dan bukan seorang penjahat.
Mobil mulai menuruni bukit. Itu adalah risiko yang tak terelakkan: kami harus menuruni salah satu jalan. Orang itu bisa saja mencoba melepaskan rem, menginjak pedal gas dan menabrak sesuatu. Atau mungkin kegugupannya mulai menguasai dirinya, terutama karena dia masih cukup mabuk. Aku sudah peringatkan dia tentang hal ini dan kemungkinan lainnya. Dia memiliki akal sehat untuk melakukan hal-hal yang benar dan tidak melakukan hal bodoh selama tiga blok yang harus kami lalui.
“Sekarang arahkan mobilmu ke pantai,” kataku padanya. “Jangan melaju di atas tiga puluh.”
Kami terus berjalan dalam keheningan hingga kami mencapai tujuan kami: sebuah tikungan di jalan di mana sebuah dermaga tua menjulur ke air. Kami tidak berpapasan dengan siapa pun dalam perjalanan singkat kami.
“Sekarang, keluarlah,” kataku, setelah kami memarkir mobil di bahu jalan yang keras. Aku terus memperhatikannya. Aku melambaikan pistol ke arah dermaga tua. Dia memejamkan matanya dan berdoa.
“Hentikan! Aku tidak ingin melihat air matamu atau mendengar rengekanmu. Kamu akan berperilaku seperti laki-laki. Bertanggung jawablah atas tindakanmu!”
“Tolong, aku… aku tidak tahu! Aku berada jauh di sana! Jika aku mendengar alarm, aku akan pergi untuk melihat apa yang salah, aku akan mematikannya. Tolong jangan sakiti aku. Aku punya anak laki-laki…”
“Dari mana saja kau?”
Mungkin dia tidak mengharapkan pertanyaan itu.
“Aku… ada sesuatu yang harus aku lakukan… jauh, tidak terlalu jauh, tapi hanya beberapa blok dari tempat itu…”
“Mengapa kau tinggalkan mobilmu di depan rumahku?”
“Aku tidak tahu kalau itu rumahmu, kawan!”
“Aku bukan kawanmu! Coba kau ucapkan itu lagi, kulubangi kakimu dengan peluru.”
“OK.”
“Tidak! Tidak OK! Kau tidak tahu itu rumahku, kau sama sekali tidak tahu siapa aku. Kebetulan saja itu rumahku, tapi bisa saja milik seseorang yang terbaring di tempat tidur, milik sebuah keluarga dengan anak-anak yang butuh tidur, yang butuh istirahat, atau hanya seseorang yang menikmati kesunyian dan tidak bisa memilikinya karena ulah orang bodoh yang tidak bertanggung jawab, orang tolol yang ceroboh, orang yang mengacaukan istirahat dan kedamaian dan ketenangan orang lain. Dan semua itu karena dia minum! Betul bukan?”
“Tidak… Maksudku, ya, aku minum sedikit, tapi…”
“Berapa umurmu?”
Kami sampai di dermaga. Dia mengencingi dirinya sendiri.
“Dua… dua puluh tujuh.”
“Kerjamu?”
“Aku mahasiswa… manajemen kehutanan.”
“Kehutanan ya? Kenapa? Supaya kau bisa memperlakukan lingkungan dengan cara yang sama? Hanya memikirkan diri sendiri, tidak peduli dengan kesejahteraan orang lain? Aku tidak terkejut. Seluruh generasimu berpikir dengan cara yang sama. Kalian orang yang egois. Kau bilang kau punya anak. Berapa umurnya?”
Dia menelan ludah.
“Lima tahun,” katanya, hampir menangis.
“Anakmu pasti tidak tahu kalau sebentar lagi dia akan jadi yatim piatu, kasihan sekali.”
Dia menangis. Ia berlutut dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Aku melarangnya berteriak dan menyuruhnya merangkak menyeberangi dermaga. Aku mengambil seutas tali dan mengikat kedua tangannya ke sebuah tiang di salah satu sisinya. Aku sedikit kikuk membuat simpul, aku tidak punya banyak pengalaman dengan tali, tapi itu tidak masalah. Ingus mengalir di bibirnya.
Aku kembali ke mobil, yang masih memiliki kunci kontak. Aku lepaskan rem tangan dan mendorongnya ke tepi landasan kayu yang rapuh, sedikit berderit. Ujungnya terlihat miring, dua puluh atau dua puluh lima derajat.
“Tolong, aku akan bayar berapa pun yang kau inginkan, aku akan berikan kompensasi. Aku mohon.”
Aku hantam wajahnya lagi. Saat itulah dermaga itu ambruk dan runtuh. Dermaga itu menggantung di bagian sungai yang dangkal, sehingga mobil itu jatuh di atas bebatuan dan sampah dengan suara benturan yang memekakkan telinga. Sekelompok tikus berlari keluar dari dalam bayang-bayang. Alarm mulai berbunyi.
“Ini supaya kau tahu,” kata aku kepadanya, ”bahwa saat kau benar-benar membutuhkan alarm, tidak ada yang akan menyadarinya.”
Aku tinggalkan dia di belakang dengan suara mendengus dan suara mengerikan itu. Aku berjalan dua blok hingga sampai di tempat truk tuaku parkir: di sebuah gang, tidak terlihat. Aku masuk ke dalam mobil dan pulang ke rumah. Aku masih memiliki sekitar tiga puluh ujian yang harus dikoreksi. (*)