KAWASAN pinggiran kota telah berubah menjadi semacam lorong berkabut. Ketika melewati kawasan itu, seorang gadis ingin menangis. Meski begitu, di sepanjang trotoar yang masih basah dan becek, dia terus berjalan dengan terburu-buru, melompat dari satu batu konblok ke konblok lainnya.
Dari kejauhan, bentuk tubuhnya yang langsing menjadikannya begitu anggun. Bahkan, pergelangan kakinya, yang indah dengan sepatu kecil nan mengilap serta hak persegi yang pas, turut memberinya kesan modis. Gaunnya yang lurus panjang kian menegaskan lekuk tubuhnya yang aduhai. Apalagi, topinya yang berbentuk seperti alat pemadam lilin juga tak berhasil memadamkan rambut pirangnya yang dikucir di balik lehernya.
Namun, saat berada di dekatnya, gadis itu tidak lebih dari cantik. Gaunnya kekecilan. Topinya penuh dengan lubang-lubang jarum. Korsasenya juga sangat tipis sehingga orang-orang bisa melihat detak jantungnya dengan jelas.
Walaupun berjalan dengan terburu-buru sudah memberinya waktu sedikit mungkin untuk berpikir, kenyataannya dia masih teramat sangat sedih. Dia ingin menangisi semua hal—kehidupan yang membosankan, masih muda, tapi sudah tidak ada masa depan; selalu kerja keras; dan tak pernah bersenang-senang. Bahkan, rumah tempat tinggalnya pun menjadi rumah paling tidak nyaman dibandingkan rumah-rumah lainnya. Satu-satunya rumah dengan segala kegilaannya yang sampai kapan pun tidak akan pernah hilang—ayahnya suka mengejar-ngejar ibunya di sekitar kompor sambil menyeret kursi; bau dari peralatan makan berminyak, yang bisa membuat siapa saja mual setelah makan malam, atau bau dari masakan yang bahkan belum sempat dimakan sudah merasa jijik; cermin kotor yang harus dibersihkan setiap pagi; dan tepat di tangga, dekat wastafel dapur, seorang pria asing dengan penampilan awut-awutan dan mengerikan suka duduk-duduk di sana, dan biasanya segera setelah dirinya muncul dengan membawa teko, orang itu akan menampilkan tatapan cabul dan senyuman mesum, mirip seseorang yang punya obsesi.
Seluruh kesedihannya kian diperburuk dengan suasana pagi hari ini. Gelap dan berkabut bak malam hari. Kehidupan yang terus-menerus monoton, seperti air sungai yang dingin sepanjang hari, dari anak sungai hingga induk sungai. Penyakit-penyakit musim gugur juga telah merebak, dan yang paling menyedihkan, embusan angin yang kasar dan kencang telah membuat gaunnya menjadi sangat lusuh dan memalukan.
Tidak ada satu pun orang di dunia ini yang dilarang hanya sekadar untuk bersenang-senang.
Tidak ada satu orang pun? Ya, kecuali segelintir orang. Tepat pada saat itulah, seorang pemuda dengan tubuh bungkuk muncul dari teras bengkel pandai besi. Dia seumuran gadis itu. Dan, baginya, bengkel tempatnya bekerja selama ini tidak ubahnya hanyalah sebuah penjara, begitu pula si gadis yang bekerja di bengkel jahit.
Dia menengok ke kanan dan ke kiri. Wajahnya agak kebiruan, wajah yang sebenarnya sangat menawan bila saja tidak terlalu tirus dan kurus. Dia menghirup angin yang berembus cukup kuat, dan setelahnya hanya membiarkan angin itu membawa tubuhnya pergi menyusuri trotoar yang masih basah dan becek. Selangkah demi selangkah, dia menapakkan sepatu bot besinya, sepatu yang akan sedikit bergetar saat terkena angin. Dia tidak ingin memikirkan apa pun. Dia hanya takut–terutama memikirkan kehidupannya sendiri dan segala hal yang dilakukannya di dunia ini.
Sekarang, si pemuda berjalan melawan angin yang menerpanya tanpa belas kasihan, sebagaimana orang-orang memperlakukannya selama ini. Pada saat bersamaan, dari arah yang lain, si gadis, yang sudah kehilangan senyumnya akibat cuaca buruk dan gaun yang lusuh tidak karu-karuan, juga sedang berjalan mendekatinya.
Mereka pernah bertemu dua kali, secara kebetulan; dan kali ini, saat tempat kerja mereka sedang beristirahat pada tengah hari, keduanya pun mencoba kembali bertemu (secara kebetulan) untuk yang ketiga kalinya, meski tanpa harus saling menyapa ataupun berbicara basa-basi.
Benar saja, mereka makin mendekat. Gadis itu masuk ke sebuah gang, dan tepat dari ujung gang yang lain, pemuda itu juga masuk. Seperti peri di dalam dongeng, gadis itu muncul tiba-tiba di hadapan pemuda itu.
Si pemuda seketika berhenti, dan mengangkat kepalanya yang sebelumnya hanya tertunduk menatap sepatu botnya yang besar. Bahunya serta punggungnya gemetar. Kedua matanya terbelalak begitu melihat wajah yang tidak asing. Dia terkejut tak percaya, seolah ada satu hadiah besar di depannya.
Si gadis juga berhenti. Seperti dua orang pengemis, mereka saling mengulurkan tangan dengan malu-malu. Mereka saling berjabat tangan, bukan untuk berkenalan, tetapi hanya untuk berpegangan tangan—sebab tidak semua orang tahu bagaimana cara memulainya.
Sejenak mereka termenung, ke arah mana mereka akan pergi bersama. Selanjutnya, tanpa berpikir panjang, mereka akhirnya pergi dengan teguh menembus angin yang sangat kencang itu. Hidung si pemuda sudah merah, sementara kedua mata sang gadis juga sudah berubah menjadi merah muda. Meski begitu, mereka justru kian mempererat genggaman tangan di antara mereka, dan tidak ada yang ingin melepaskannya.
Gadis itu kemudian membuka percakapan. “Aku hanya punya waktu sampai jam satu siang. Kau?”
“Sama,” jawab si pemuda. “Kalau kita lewatkan saja makan siang kita, bagaimana?”
“Tak masalah! Itu bukanlah ide yang buruk!” seru sang gadis, menyambut rencana laki-laki itu dengan semangat.
Mereka berdua tertawa—meski sempat ragu-ragu pada awalnya, tapi paling tidak mereka sedang mencobanya. Begitu semuanya hening, wajah keduanya tampak masih menunjukkan raut yang berseri-seri.
Dengan setiap langkah yang mereka ambil, seluruh dunia pun ikut berubah. Berubah.
“Lihat,” ucap laki-laki itu, “hujannya mulai reda!”
“Syukurlah!”
Gadis itu bertepuk tangan karena senang. Meski begitu, hujan belum sepenuhnya berhenti di kawasan jalanan yang tampak lebih rindang dan lenggang.
“Sekarang, hujannya baru benar-benar berhenti, kita duduk-duduk saja dulu di situ sebentar.”
“Oh. Tunggu!” Dengan memberi isyarat, pemuda itu menahan si gadis agar tidak duduk terlebih dahulu, dan mengeluarkan selembar koran dari dalam sakunya. Dia membuka lipatannya, lalu meletakkannya di atas bangku yang basah.
“Ah,” kata si gadis, tersentuh dengan sikap laki-laki itu yang penuh perhatian, “kau baik sekali!”
Gadis itu duduk dan menatap si pemuda kagum. Dia merasa tersanjung karena diperlakukan selayaknya seorang putri kerajaan. Pemuda itu kemudian duduk di sampingnya, dan si gadis mengangguk tanda mempersilakannya.
“Ayahku akan memukuliku jika aku ketahuan berada di sini.”
“Kalau aku, ibuku yang akan seperti itu,” balas si pemuda.
Bayangan demi bayangan tentang hukuman seperti apa yang akan mereka terima justru memberi hiburan tersendiri. Karena posisi duduk mereka yang berdekatan, keduanya hanya bisa tersenyum, dan tidak berani untuk tertawa.
Namun, tatkala angin berembus meniup daun-daun pepohonan yang beradadi atas mereka, titik-titik sisa air hujan jatuh membasahi mereka. Seraya membersihkan dan merapikan kembali kondisi mereka, tawa mereka pun pecah begitu saja.
Semuanya berwarna sangat gelap. Awan-awan hitam terlihat lebih menakutkan—makin banyak makin menyelimuti langit, seolah-olah sedang menenggelamkan seluruh bumi.
“Lihat semua pemandangan ini! Benar-benar luar biasa!” ucap si gadis.
Gadis itu menunjuk halaman-halaman rumah yang menggenang seusai hujan reda, atap-atap rumah yang basah, trotoar-trotoar yang menghitam karena menyerap banyak air hujan, dan kilauan-kilauan air di jalanan yang memiliki banyak bekas roda kendaraan karena sering dilintasi.
“Y-ya,” ucap si pemuda tergagap.
“Ya.” Tanpa mengalihkan pandangannya pada sang gadis, dia kemudian menambahkan, “Kita masih punya waktu mungkin setengah jam.”
Si gadis masih ingin berjalan-jalan, dan si pemuda pun menurutinya. Itu bukanlah pilihan yang buruk, pikirnya. Mereka berdiri dan berjalan lurus ke depan. Saat pria dan wanita berjalan bersama, secara ajaib, mereka akan semakin dekat, begitu pula hubungan keduanya. Menit demi menit, perasaan kesepian mereka pun mulai terobati.
Mereka melewati sebuah jendela yang setengah terbuka di lantai dasar. Melalui celah itu, mereka bisa melihat ruangan terbengkalai—kotor, seram, kosong, dan pengap. Bergidik mereka membayangkan saat tempat itu mereka tinggali. Namun, ketika melewati jendela-jendela lain, yang daun jendelanya tertutup, mereka justru memikirkan ruangan terbengkalai itu, yang entah bagaimana lebih menyenangkan.
Pada saat itu pula, mereka memejamkan kedua matanya. Mereka tidak melihat apa-apa, hanya saling bergandengan dan bergantung satu sama lain.
Mereka berjalan dan terus berjalan. Rumah-rumah makin jarang terlihat, begitu pun orang-orang yang berlalu-lalang. Jalan utama telah berubah menjadi jalanan yang dipenuhi dengan pepohonan di kedua sisinya. Mereka menghirup udara segar, hingga seluruh rongga paru-paru mereka terisi penuh. Selama ini, hanya ada kepulan-kepulan asap dari bengkel-bengkel para pekerja yang membumbung ke langit. Semua itu menciptakan tanah-tanah berbau lembap dan tidak sedap. Mereka sangat menikmati udara seperti saat ini, seperti udara hari Minggu saat orang-orang tidak pergi bekerja.
“Tadi awan-awannya hitam, tapi sekarang sudah berwarna abu-abu mutiara,” ucap salah satu suara kecil mereka.
Setelah mereka berjalan lebih jauh, tiba-tiba di salah satu sisi jalan, bangunan tembok putih yang sangat besar muncul, seperti sesosok penampakan. Di atas tembok itu, tampak pucuk-pucuk pohon cemara yang masih baru.
Dengan tangan yang masih saling bergandengan, mereka berjalan sembari mengagumi pepohonan di sekitarnya yang masih memiliki daun-daun berwarna hijau. Mereka mendekati gerbang masuk bangunan itu, dan menuju jalan utamanya.
“Ini pemakaman,” kata si gadis.
“Kau benar. Sungguh menakjubkan!” balas si pemuda, dengan nada yakin.
Mereka menyusuri tempat ini, dari satu jalan utama ke jalan yang lain, lalu duduk di sebuah bangku. Mereka begitu terpesona dengan kemegahan dan kemewahan tempat ini sampai-sampai tak terasa genggaman tangan mereka sudah terlepas.
“Lihat! Lihat di sana!”
Sebuah iring-iringan pemakaman muncul dan berlalu meninggalkan keduanya. Kereta jenazah itu berwarna putih. Sesaat setelah tersadar, mereka saling mencari tangan satu sama lain, dan kembali saling bergandengan. Bak mengeluarkan letupan keajaiban dari genggaman tangan itu, mereka seketika membayangkan iring-iringan yang lain; iring-iringan yang indah, iring-iringan yang sakral dan juga penuh haru, bahkan iring-iringan yang harus mereka urus sendiri—pemuda itu menjadi pengantin pria dan gadis itu menjadi pengantin wanita.
Itu terjadi begitu saja, tanpa dibuat-buat, untuk mengganti iring-iringan yang baru saja berlalu dengan iring-iringan lain yang mereka impikan. Dan, mereka sama-sama tidak ingin mengungkapkan impian itu sebelum semuanya bisa menjadi kenyataan. Lantas, ketika berdiri, mereka mengambil langkah pertama: berjalan berdampingan, pelan dan penuh cinta, selayaknya sepasang pengantin yang sedang berjalan menuju altar pernikahan.
Dengan wajah sukacita, mereka meninggalkan area pemakaman, dan menyusuri hingga ujung bangunan tembok putih itu. Tak jauh dari situ, di dekat sebuah tugu pal, seorang pria sedang duduk di depan piano organ. Ketika pria itu mulai memainkannya, mereka berjalan menghampirinya.
Ini iring-iringan pemakaman yang sangat megah. De Profundis menjadi lagu paling menyahat hati yang pernah dimainkan oleh kesedihan duniawi, atau ratapan paling memilukan dan mengerikan, yang bahkan bisa mencampuradukkan antara orang-orang yang hidup dan yang mati, lalu mengoleskannya ke wajah, seperti masker dingin.
Pasangan muda-mudi itu berhenti, dan terpukau dengan alunan lagu itu. Mereka saling memberikan tatapan yang berbunga-bunga.
“Lagunya romantis sekali!” bisik gadis itu melalui sela-sela gigi kecilnya. Seluruh perhatian orang-orang kemudian tertuju kepadanya.
“Ayo, pergi,” gumam pemuda itu pada akhirnya.
Mereka kembali melangkah, dengan perasaan bahagia dan tanpa beban. Bersama iringan lagu yang paling menyahat hati, mereka menghabiskan sisa waktu yang ada untuk kembali bersenang-senang. Mereka saling melontarkan senyuman, berceloteh, dan mengutarakan hal-hal yang menyenangkan di atas semua hal yang menyedihkan—tanpa sadar seperti ucapan polos anak-anak, atau mungkin tanpa sadar seperti ulah anak-anak yang hanya memiliki kehangatan di hatinya. []