DI DUSUN yang sempat kutinggali, rujak cingur menjadi primadona santap siang Idulfitri. Sejak pukul sebelas, antrean di warung gedek itu sudah mengular. Rupa-rupa pembeli berjajar: remaja, tua, anak ingusan, yang masih betah memamerkan baju hari raya terbaik, yang sudah berdaster, bocah-bocah yang berbalut kaus kutang, yang duduk di bangku kayu, yang di lincak di bawah pohon kenitu, atau yang berdiri.
Semua tertib menunggu giliran memboyong pulang rujak masing-masing. Tak ada yang menyerobot. Lebih tepatnya, tak ada yang berani. Sebab konon di suatu lebaran, Wak Yu Marni—sang juru masak sekaligus pemilik warung—pernah meraupkan bumbu rujak cabai sepuluh ke wajah seorang pembeli. Tak tanggung-tanggung, pembeli itu istri Pak Carik. Perkaranya, wanita itu dengan tanpa sungkan memotong antrean dan menghadap Wak Yu Marni.
“Pak Camat mau ke rumahku. Yo moso disuruh tunggu. Aku duluin ya, Yu,” kata dia.
Wak Yu Marni yang kala itu baru rampung menggilas racikan bumbu, menurut cerita orang-orang, seketika dengan kedua tangan menciduk isi layah tanah liat di depannya. Sejurus kemudian dilaburkan bumbu itu ke mulut Bu Carik. Dengan ucapan sedingin es batu, dia menukas, “Muliho. Aku gak jual rujak buatmu.”
Bisa ditebak, lebaran bahkan belum berganti hari kedua, kejadian itu telah menyebar ke sepenjuru dusun. Di sela setiap jabat tangan halalbihalal hampir selalu terselip, “He, Wak Yu Marni tadi …,” atau saban dipersilakannya tamu mencicip kerupuk rambak, ditambahlah bumbu, “Bu Carik sama Wak Yu Marni tadi ….”
Begitulah berita itu cepat betul merebak, dengan berbagai tambahan bumbu tiap berganti pintu: yang Yu Marni menyimpan dendam lantaran tak jadi berbesan dengan keluarga Bu Carik-lah, yang mereka berdua musuh bebuyutan sejak perawanlah. Penyedap itu persis petis udang yang melipatgandakan daya pikat rujak.
Lantaran itu pula di kalangan pelanggannya warung itu akhirnya punya julukan: Cingur Lampir. Entah siapa yang memulai. Namun, barang tentu Wak Yu Marni tak menjadikan itu nama warungnya. Ia sama sekali tak ambil pusing dan terus menyajikan puluhan porsi saban hari.
Jadilah, selain rujaknya, keangkeran Wak Yu Marni turut melegenda. Namun, seangker-angkernya wanita paruh baya itu di mata orang dewasa, tak begitu bagi bocah-bocah. Justru di warungnya aku dan kawan-kawan dulu menghabiskan waktu selagi menunggu orang tua kami bekerja. Warung Wak Yu Marni memang berada di pinggir jalan menuju Kali Wetan—sebuah lokasi galian di sebelah dam tempat orang tua kami menambang sirtu.
Bagi orang tua kami, warung Wak Yu Marni tak ubahnya tempat penitipan anak teraman. Sudah gratis, tak perlu pula mereka mendengar omelan ‘anakmu kok begini anakmu kok begitu’ seperti bila dititipkan tetangga. Bapak ibuku tak akan khawatir anak badungnya bakal tergilas roda montor jomplangan alias dump truck. Tidak mungkin pula anaknya bakal tenggelam di dam ditilap alap-alap.
Sementara aku sendiri dengan senang hati membantu Wak Yu Marni di warungnya. Entah itu memasukkan bungkusan rujak ke kantong plastik, mencuci mentimun, krai, dan pisang batu, atau mengusir lalat-lalat yang hendak hinggap di rebusan kangkung atau bengkuang. Serasa sedang bermain warung-warungan tetapi dengan tempat dan bahan sungguhan. Hanya satu yang enggan kulakukan: mengambilkan petis.
“Ambu.” Bau, protesku suatu waktu.
Wak Yu Marni terkekeh. Satu hal yang kuperhatikan, ia tak pernah tertawa terbahak-bahak. Apalagi seperti cekikikan Mak Lampir di televisi. Aku yang kala itu belum paham muasal penyebutan Cingur Lampir hanya bisa berkubang dalam pertanyaan, ‘Mananya yang mirip nenek seram itu? Apa cuma gara-gara rambutnya yang sudah abu-abu?’
Sambil dengan cekatan melumat gula merah, kacang tanah, pisang batu, bawang putih, garam, dia lantas menceritakan padaku soal petis saat mulai menambahkannya ke dalam campuran bumbu.
“Ngerti petis ini terbuat dari apa?” pancingnya.
Aku mengacungkan tangan, untuk sekejap kubayangkan warung ini adalah sepetak ruang kelas, dan aku sedang berebutan menjawab pertanyaan bu guru.
“UDANG!”
Seorang sopir truk yang menunggu muatan sembari ngopi mendengkuskan tawa. Barangkali suara cemprengku yang melengking menggelitiki gendang telinganya. Entahlah. Tapi kulihat ia turut menyimak dongengan Wak Yu Marni.
“Pinter, udang,” pujinya. “Tapi, Nduk, jaman Londo dulu, pernah ada petis daging juga, lho. Sampai dipromosiin di koran mereka.”
Saat itu tersisa aku saja bocah yang masih merecoki warung Wak Yu Marni. Dua bocah lain sudah masuk SD. Aku memang yang terkecil di antara kawan mainku. Sementara satu lainnya diboyong orang tuanya beralih menambang peruntungan ke ibu kota. Meski begitu tak masalah, sebab artinya aku bisa mendengar cerita-cerita Wak Yu Marni seorang diri.
Ia sungguh tak pernah kehabisan cerita. Mulai beragam hikayat serupa alasan siul kedasih dianggap pengabar kedatangan Izrail, hingga informasi-informasi remeh-temeh soal sesuatu. Seperti perihal petis ini. Entah, ia tahu dari mana. Saat itu aku hanya menganggap Wak Yu Marni adalah seorang penjual rujak yang sangat amat pintar. Pengetahuannya bagiku bisa disandingkan dengan Pak Modin yang tahu banyak risalah para nabi dan rasul.
“Hmm … kalau rujak Wak Yu Marni pakai petis daging, yaa aku doyanlah.”
Celotehku cukup untuk mengundang tawa sopir truk di meja seberang. Dia lantas berseloroh, “Lho, main setiap hari ke warung rujak kok ndak doyan rujak iki.”
Aku hanya meringis sembari memilin ujung kaus. Jujur saja, saat itu aku memang masih tak begitu suka rujak karena baunya. Bukan karena cingurnya seperti kejijikan salah seorang kawanku. Tetapi ada kalanya saat orang tuaku membungkus pulang, aku menjajal tempe atau tahu, atau irisan buahnya, tidak dengan sayur-mayurnya.
Aku masih tidak begitu menyukai rujak kala itu. Sampai di suatu siang, tak berselang lama selepas aku naik kelas dua SD, serampung penguburan bapak.
Wak Yu Marni menyodorkan masing-masing sepiring rujak ke depanku dan ibu. Rupanya saban hari ia mengamati. Wanita itu paham betul bahwa sejak longsor galian pasir merenggut bapakku, sepanjang pencarian dilakukan, dan hingga bapakku dikebumikan, kami tak makan dengan benar.
Meski kukunyah rujak itu dengan berurai air mata, sepiring rujak itu tandas licin. Seolah ini penganan terlezat yang pernah dirasakan lidahku. Entah sebab kepalang lapar, hidungku tersumbat ingus, atau karena Wak Yu Marni yang menghidangkannya, tak kucium bau petis yang selama ini membuatku enggan mencoba.
Itulah pertama dan terakhir kalinya kujajal seporsi utuh rujaknya. Sebab tak lama setelahnya, kami hengkang dari sana. Ketiadaan bapak membuat ibu yang janda mati itu memboyongku ke pulau seberang. Hari menjelang bulan dan bulan bersalin tahun. Ibuku kawin dengan lelaki lain dan mereka memberiku seorang adik.
Hidup berjalan dan masa lalu terlelap di sudut ingatan paling tersembunyi. Hingga belasan tahun kemudian, kenangan ngelilir dari tidur panjangnya. Setelah diterima di sebuah universitas negeri di Surabaya, suatu hari ingatan akan Wak Yu Marni mendadak menyeruak. Saban kulewati penjaja tahu tek, lontong balap, dan terlebih rujak cingur, ingatan itu terus menempeli ujung hidungku serupa bau petis tanpa sanggup kutepis.
Pada akhirnya, di suatu lebaran yang tak mengizinkanku untuk pulang, dengan menempuh perjalanan sejam dari kos, kudatangi kembali kampung lamaku. Alih-alih sowan ke pusara bapak, aku terlebih dahulu mendatangi lokasi warung Wak Yu Marni. Kelok jalanannya tak banyak berubah. Hanya saja kondisinya yang dulu aspal berhias lubang kini telah rata dicor dan lebih lebar.
“Ah, tak sabar kujajal makan rujaknya di siang lebaran, seperti kebiasaan di sini dulu.”
Kendati aku tak yakin apakah di usianya sekarang, yang pasti telah teramat renta, Wak Yu Marni masih sanggup melindas bumbu dengan ulekan.
Benar saja, keinginanku pupus sebatas angan.
Di tempat warung Wak Yu Marni dulu berdiri, kini adalah lubang menganga. Ke mana? Bagaimana bisa? Panas matahari tengah hari menyengat ubun-ubun. Namun, itu tak mengalahkan pedas yang kian menyengat mataku, ketika akhirnya seorang lelaki memberi jawaban perihal ketiadaan warung rujak Wak Yu Marni. Rupanya bego telah mengeruk Kali Wetan hingga ke belakang warungnya.
“Longsor menyeret warung beserta Yu Marni di dalamnya. Jasadnya baru ditemukan tiga hari kemudian.”
Keterangan:
Layah : cobek
Muliho : pulanglah
Ngelilir : terjaga
One Response
Cerita yang menarik dengan humor segar. Saya tertawa, terhibur oleh peristiwa Wak Yu Marni meraupkan bumbu rujak cabai sepuluh ke wajah istri Pak Carik. Mantap!