SUDAH dua tahun saya membeli rumah yang saya tempati sekarang. Dibayar tunai, setelah beberapa bulan bolak-balik ke notaris untuk urusan balik nama. Karena pemilik sertifikat rumah sudah meninggal, maka seluruh ahli waris yang berjumlah empat orang—istri dan ketiga anaknya—mesti menandatangani berbagai berkas. Secara bertahap. Kami jadi sering bertemu. Tapi begitu urusan beres, praktis tak lagi ada komunikasi. Maka di sore yang kering itu, saya sedikit terkejut ketika istri pemilik rumah lama berdiri di depan pintu. Wajahnya beku.
“Tiga anak saya perampok semua.”
Mendengar kalimat pembukanya, saya semakin kaget. Demi kesantunan, saya mempersilakan ia masuk dan duduk di ruang tamu.
Ia tampak gelisah. Wajahnya yang beku perlahan mencair, namun pucat. Meski begitu, ia masih terlihat cantik di usia yang lewat dari enam puluhan. Karena istri saya sedang menjemput kedua anak kembar saya les, saya pamit sebentar untuk menyeduh teh hangat. Saya sajikan bersama setoples kue bawang, cemilan favorit yang selalu ada untuk menemani saya menulis. Ia tak lekas mencicipinya. Justru menyambung kata-katanya yang sempat terpotong.
“Uang rumah yang kamu bayar waktu itu, dipinjam anak-anak saya. Saya hanya bisa menahan sedikit untuk membeli perhiasan. Selebihnya mereka bagi,” ia menghela. Di jeda ini, saya memintanya minum teh dan makan kue bawang.
“Uang yang dipinjam sama Ijal, eh, kamu ingat Ijal, kan?”
Tentu saya masih ingat. Saya mendapatkan informasi penjualan rumah ini dari Ijal. Lewat iklannya di grup jual beli di medsos. Lelaki paruh baya itu juga menjadi tempat saya negosiasi harga rumah.
“Dasar anak durhaka. Uang yang dia pinjam ternyata dipakai buat kawin lagi. Kini dia kabur sama istri mudanya entah kemana. Istri tua dan anaknya ditinggal. Saya benar-benar tidak tahu kalau dia mau nikah lagi. Pantas saja dia bujuk saya untuk menjual rumah dan tinggal di rumahnya. Saya kira dia tulus. Agar saya ada teman dan tidak lagi sendirian karena bapaknya sudah meninggal. Ternyata, dia butuh uang buat modal kawin lagi. Aduh, melihat kelakuan anak saya itu, saya jadi malu sama menantu. Kasihan dia,” wajahnya berubah sendu. Bola mata dengan kelopak yang telah kendur dan mulai turun itu berkabut.
“Saya tidak sanggup lagi tinggal di rumahnya. Saya pindah dan tinggal sama anak perempuan saya. Rini,” ia melanjutkan setelah mengerjap, mengusir kabut di matanya.
Melihat wajah tua yang sedih itu membuat saya prihatin. Ingin saya rengkuh tangannya seperti ketika saya mencoba menenangkan ibu saat resah memikirkan anak-anaknya di perantauan. Tapi kegelisahan membuat saya urung melakukannya.
Bagaimana tidak? Sampai detik ini, saya tidak tahu sama sekali maksud kedatangan tamu saya ini. Apakah ia datang hanya untuk curhat? Setelah jual beli rumah, saya tidak pernah lagi berjumpa dengannya, juga anak-anaknya. Saya pikir saya bukanlah orang yang tepat baginya untuk curhat masalah pribadi.
“Rini, anak kedua saya. Kamu juga ingat kan, sama dia?”
Saya mengangguk. Tentu saja saya masih ingat. Sebab, ia satu-satunya anak perempuannya. Rini dan keluarganya tinggal di RT sebelah. Meski masih satu kelurahan, tapi kami tak pernah bertemu setelah jual beli itu.
Tiba-tiba, bayangan wajah Rini muncul di kepala saya. Ia cantik, mirip seperti ibunya. Hanya saja, badannya lebih tinggi dan langsing. Kulitnya sawo matang. Dari KTP yang diminta notaris waktu itu, saya tahu usianya empat puluh tahun. Lebih tua dua tahun dari saya.
“Sudah dua tahun kamu beli rumah ini. Berarti, sudah dua tahun juga dia pinjam uang saya. Sampai sekarang belum dikembalikan.”
Tamu saya itu kembali sedih. Wajahnya semakin pasi. Beberapa kali ia menghela, mencoba menenangkan diri.
Lagi-lagi saya memintanya mencicipi teh yang asapnya tak lagi mengepul. Kali ini ia menurut. Dihirupnya teh manis itu seteguk. Lalu seteguk lagi. Ia sedikit lega.
“Dia dan suaminya jual mi ayam dan bakso. Ada gorengan juga. Macam-macam pokoknya. Jualan setiap hari. Dari pagi sampai sore,” suaranya melambat. Napasnya seperti habis lomba lari. Namun ia terus melanjutkan kata-katanya, “Tinggal sama Rini, capeknya bukan main. Saya membantunya beres-beres, mengurus cucu, dan menyiapkan dagangan. Tapi kalau saya istirahat, dia ngomel. Apalagi kalau sedang banyak pembeli dan anaknya rewel. Menyakitkan sekali rasanya.”
Kali ini air matanya jatuh. Sebagian mengenai pipinya yang keriput, sebagian jatuh di kerudung yang menutupi dadanya. Lekas dilapnya dengan tangannya yang kusam dan berkerut. Saya mengambil kotak tisu dan meletakkannya di atas meja. Ia menariknya sehelai, lalu membersihkan sisa air di pipinya.
“Saya sudah tua. Sering sakit-sakitan pula. Jangankan membayar utang, keringat saya saja tak dihargai,” air matanya kembali tumpah. Tapi ia terus bicara meski terbata, “Kalau ngupah karyawan, berapa bayarnya coba?”
Lagi-lagi ia mengambil tisu untuk membersihkan mata sekaligus hidungnya. Suaranya serak dan melemah. Gegas saya ke belakang mengambil segelas air putih. Begitu kembali ke ruang tamu, ia ingin bercerita lagi. Tapi saya memotongnya, “Sebaiknya ibu minum dulu.”
Diambilnya gelas air di tangan saya, lalu diminumnya.
Beberapa kejap setelah itu, suasana hening. Terlihat berkali-kali ia menarik dan membuang napas, berusaha untuk kembali tenang. Bongkahan tisu basah diletakkannya di alas gelas teh.
“Saya tidak sanggup lagi tinggal dengannya. Saya pindah ke rumah anak bungsu saya. Sejak rumah ini dijual, saya tak punya rumah lagi. Dasar nasib. Justru ketika tua, saya malah numpang sama anak-anak saya,” katanya setelah mereda. Namun terlihat, kesedihan masih mengepungnya.
“Dia baik sama saya. Tapi keadaannya sedang susah. Sangat susah. Dia di PHK. Gara-gara Covid-19. Sampai sekarang belum dapat kerja lagi. Uang penjualan rumah yang dipinjamnya dulu, tak dapat dikembalikan. Bahkan kadang-kadang, saya pakai simpanan saya untuk memenuhi kebutuhan hidup anak dan istrinya.”
Tamu saya mengambil sehelai tisu untuk membersihkan ingus di hidungnya. Begitu selesai, dengan gemetar diremasnya kertas tisu itu hingga tak berbentuk, lalu disatukannya dengan gumpalan tisu kotor lain di alas gelas teh. Wajahnya semakin pias. Keringat dingin yang jatuh berbulir-bulir di sela-sela kerudungnya, dihapusnya dengan jari,
“Ibu baik-baik saja?” tanya saya cemas. Ia mengangguk lemah.
“Rumah yang Ibu tempati sekarang dekat sini juga?” Saya melihat-lihat ke pekarangan, tak ada kendaraan. Berarti ia jalan kaki, tebak saya.
“Di timur kota.”
Saya terenyak. Lumayan jauh perjalanan dari timur kota ke rumah saya. Naik kendaraan bisa lebih dari satu jam. Lalu, bagaimana ia datang kesini?
“Ibu ke sini sendirian?”
“Iya. Naik ojek online. Menantu saya yang pesankan.”
“Oh,” saya mengangguk. Kata-katanya menjawab pertanyaan saya. Tapi tidak untuk pertanyaan yang sedari tadi merimbun di kepala saya. Mengapa ia datang ke rumah saya—rumahnya dulu—sesore ini? Apakah hanya ingin curhat? Atau apakah ia rindu rumah ini? Atau ada maksud yang lainkah?
Jeda beberapa kejap.
“Saya ke sini, mau minta tolong. Antarkan saya ke rumah Rini. Saya mau nagih utang,” ucapnya memelas. Seketika dada saya lapang. Jadi, ini tujuannya datang ke sini? Namun mendadak, saya dilanda cemas.
“Waduh, gimana ya, Bu? Gak enak kayaknya kalau saya menemani Ibu nagih utang. Sama anak Ibu sendiri pula,” tolak saya perlahan, sedikit tak enak hati.
“Saya mau ditemani kamu. Soalnya saya takut nanti Rini atau suaminya ngamuk. Saya mau nagih utang. Yang mereka pakai kan uang dari kamu. Tak apa-apa kalau kamu tahu. Kalau sendirian ke sana, saya takut disembelih. Banyak berita pembunuhan antarkeluarga yang saya dengar sekarang. Saya tidak mau itu menimpa saya,” katanya cepat, yang entah membuat saya ingin tertawa atau gerimis.
“Saya minta tolong, Nak. Kalau ada kamu, barangkali Rini malu. Jadi, dia mau bayar utangnya. Idul adha sudah lewat tiga kali. Padahal, ingin sekali saya berkurban atas nama suami saya. Tapi selalu gagal.”
Ia menatap saya dengan wajah memohon. Dan pucat. Matanya masih merah. Sisa tangisan masih membayang di sana. Rasa iba membuat saya mengangguk.
Saya mengantarnya dengan sepeda motor. Saya belum tahu persis rumah anaknya. Ketika sampai di RT sebelah, ia menjadi pemandu jalan.
Ia meminta saya berhenti ketika tiba di sebuah rumah, yang di depannya ada warung makan. Kedai itu beratap seng. Setengah dindingnya terbuat dari papan, selebihnya dibiarkan terbuka. Cat kayunya berwarna putih. Sebagian besar mengelupas, menampakkan warna coklat yang samar. Ada gerobak makanan di salah satu sudutnya.
Anak perempuannya melirik sekilas ke arah kami. Terlihat perempuan itu tengah melayani seorang pembeli—entah miayam atau bakso atau apa—yang berdiri di dekatnya, menunggu pesanan untuk dibawa pulang. Tak ada senyum, apalagi sambutan untuk ibunya. Ia pun menjawab salam saya dengan enggan.
Saya berdiri kikuk, sementara tamu saya itu mengajak saya masuk ke dalam rumah, melewati kedai anaknya. Ia berjalan dengan tertatih. Saya menawarkan bantuan, namun ia menolak. Begitu memasuki rumah, ia lekas duduk di sofa yang agak usang, lalu mengatur napasnya yang sedikit megap. Wajahnya berkeringat. Perlahan dihapusnya dengan ujung kerudungnya.
Tak lama kami duduk, anak perempuannya masuk ke dalam rumah. Tak ada cium tangan—seperti yang saya lakukan jika bertemu ibu saya—juga sapaan atau basa-basi menanyakan kabar. Wajahnya kusut.
“Mana suami dan anak-anakmu, Rin?” tanya ibunya sambil melongok ke bagian dalam rumah yang terlihat kosong.
“Sedang antar pesanan,” jawab Rini sambil duduk di hadapan ibunya. Sedikit ketus. Ia tak melihat ke arah saya. Tampak sekali ia terganggu dengan kehadiran saya yang tiba-tiba datang bersama ibunya. Saya gelisah.
“Mana janji kamu mau bayar utang? Sudah tiga tahun,” ucap tamu saya itu sambil menatap anaknya.
Rini tak menjawab. Wajahnya merah padam. Barangkali marah karena ditagih utang. Atau ia malu pada saya. Mendadak kerongkongan saya terasa kering. Saya menelan ludah.
“Ibu macam rentenir saja. Nagih utang bawa-bawa orang. Mau bikin malu saya, kan? Kalau begini, semua orang bakalan tahu kalau saya punya utang sama ibu. Sementara utang Bang Ijal atau Adi tidak pernah ibu tagih. Ibu tidak adil.”
Saya ingin berdiri dan keluar, tapi tamu saya itu memberi isyarat agar saya tetap di dalam. Saya membeku. Berada di antara dua beranak yang tengah konflik, bukan situasi yang menyenangkan. Saya berdoa semoga secepatnya ini berakhir.
Saya melirik ke arah Rini. Matanya merah. Bibirnya bergetar. Ditatapnya wajah ibunya lekat-lekat, seakan hendak melumatnya dengan sekali telan.
“Saya mau kamu bayar utang saya. Tidak dicicil. Lunas,” tamu saya itu menjawab sedikit keras. Mereka bertatapan. Wajah mereka sama-sama terbakar.
“Iya. Saya akan bayar. Secepatnya. Lunas.”
“Jangan janji-janji terus, Rin. Kemarin kamu bilang kalau tanahmu laku, kamu bayar utang. Tapi sudah laku, belum juga kamu bayar. Malah kamu pakai buat nambah usaha.”
“Iya, iya. Saya akan bayar utang saya. Ibu tunggu saja.”
“Ibu tunggu, Rin. Ayo, Nak, kita pulang,” ia menoleh ke arah saya.
Saya merasa salah tingkah.
Perempuan tua itu berdiri, lalu berjalan perlahan-lahan keluar rumah. Di pintu ia berhenti. Sambil memegang bingkai pintu, ia berbalik untuk memastikan apakah saya mengikutinya.
Saya pamit pada Rini yang hanya dibalas dengan anggukan. Saya keluar, lalu membonceng tamu saya pulang ke rumah saya.
Turun dari sepeda motor, saya temukan wajah perempuan tua itu seputih lantai keramik rumah. Saya memapahnya. Ia tak menolak. Tangan dan jari-jarinya dingin. Sebelum memasuki teras rumah, ia berhenti. Dipandangnya rumah saya dengan tatapan kosong. Memang, rumah ini masih seperti rumahnya dulu. Tidak banyak perubahan, kecuali perabot dan warna rumah. Saya mengubah warna dinding menjadi kuning gading.
“Saya mau pulang, Nak. Tolong pesankan ojek online,” desisnya.
Saya tak menjawab. Saya khawatir melihat kondisinya yang tampak memburuk. Ia terlihat lemas. Napasnya pendek-pendek.
“Dulu, waktu suami saya meninggal, saya membayangkan, saya pun mati di rumah ini. Bersama kenangan lama di rumah kami. Di mana-mana, kebanyakan orang tua ingin mati di rumahnya sendiri. Tapi…, ah, saya mau pulang, Nak,” katanya perlahan. Terbata-bata. Lalu ia menghela. Panjang. Wajahnya yang memudar kembali dipenuhi keringat. Beberapa kejap setelahnya, ia jatuh terkulai.***
One Response
Keren sekali Dinda Rum, ditunggu karya berikutnya