Kobrat dan Teman-temannya



KOBRAT masih menunggu di tepi jembatan gantung itu meski telah setengah jam Kapra telat. Kepada setiap orang yang lewat, telah dia tanyai pula, “Apakah kalian melihat ada Kapra di belakang?” Namun kebanyakan orang yang ditanyainya lebih banyak menghasilkan gelengan kepala sebagai jawaban. Ada pula yang menjawab, “Alah, kau macam tak tahu Kapra saja, Brat, dia pasti raun-raun dulu dengan Honda Astrea Grand itu.”

Itu sebenarnya sudah jadi rahasia umum. Tak ada perai-nya Honda Astrea Grand itu ditunggangi Kapra. Tidak siang, tidak malam. Ke sekeliling kampung, ke kampung tetangga. Dengan tingkah lucu dan sedikit pongah, Kapra  akan me-klakson siapa saja yang berpapasan dengannya. Baik yang dikenalinya, maupun yang bukan.

Semenjak mengendarai Honda itu, Kapra memang selalu datang terlambat jika janjian dengan Kobrat. Padahal dulunya Kapra amat berdisiplin waktu. Belum selesai kokok ayam jantan, belum selesai para jamaah subuh zikir di masjid, keduanya telah sama-sama pergi jika ada yang meminta untuk jadi buruh upahan di ladang.

Hari itu memang keduanya punya jadwal menyiangi ladang sawit Haji Kasmir. Jaraknya cukup jauh. Jika harus berjalan kaki, bisa-bisa matahari sudah tinggi baru akan sampai. Kalau tahu Kapra lambat begini atau tak jadi pergi, Kobrat mungkin lebih memilih jalan kaki sendiri sedari tadi. Capek sikit tak apa, dari pada kena semprot Haji Kasmir. Betapa Haji Kasmir amat menghargai waktu, terlambat sedikit dia tak segan memaki. Dan itu menambah keheranan Kobrat, mengapa Kapra belum juga datang.

“Awas saja! Jika dalam lima menit lagi dia tak sampai, aku tinggalkan dia. Kawan macam apa itu. Sudah jelas-jelas dia janji akan memboncengiku ke ladang Haji Kasmir hari ini.” Kobrat masih mengomel. Dari tepi jembatan, matanya terus menatap dan berharap raungan Honda Astrea Grand yang sudah dihafalnya itu bakal terdengar. Tapi sampai rombongan terakhir yang biasanya melintasi jembatan itu tiba, Kapra tak juga kelihatan batang hidungnya.

Kobrat tak punya pilihan lain. Dia berjalan secepat yang dia bisa pagi itu, meski hatinya tengah dilingkupi perasaan kesal. Matanya berair. Di kepalanya tetiba berputar nostalgia lama yang panjangnya mungkin separuh usianya: tentang Kapra, dan juga Kirpit.

***

Kirpit adalah teman Kobrat yang lain, teman Kapra juga. Mereka tiga sekawan. Ke mana pun mereka hampir selalu bersama. Mungkin karena ketiganya para duda yang tak lagi memiliki banyak keluarga. Pekerjaan mereka seragam: motong gotah; menyadap karet kalau tak hujan. Namun jika ada permintaan menyiangi ladang, ketiganya akan memilih jadi buruh upahan seharian. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang bikin kebun sawit, banyak pula yang menginginkan jasa mereka.

Namun jangan pernah pisahkan ketiganya. Jika salah satu saja tak diajak, dua lainnya juga tak mau ikut, meski dibayar sedikit lebih mahal. Biasanya, para pemilik ladang kurang suka jika Kirpit diikutkan sebab dia banyak akalnya. Hasil kerja Kirpit dinilai tak serapi kedua kawannya itu. Jika ada semak setinggi pinggang, dia potong setinggi lutut. Jika ada belukar yang sulit ditangani, dia akan mengelak dengan bergeser beberapa depa agar menemukan semak yang agak jarang. Perkara itu diamini Kobrat maupun Kapra. Tentu sudah hafal sekali mereka akan perangai Kirpit. Tak jarang, Kobrat dan Kapra harus turun tangan membantu bagian Kirpit agar hasil kerja mereka tetap memuaskan pemilik ladang. Namun mereka tetap bersetia. “Jika Kirpit tak diajak, maka kami akan berjalan kaki. Nanti kalau kami datang kesiangan, pemilik ladang juga yang rugi.” Begitu biasanya Kobrat atau Kapra beralasan. Memang, di antara mereka hanya Kirpit-lah yang memiliki Honda.

Ya, Honda yang sedang ditunggu Kobrat di tepi jembatan gantung itu sebetulnya milik Kirpit. Kini Honda itu jatuh ke tangan Kapra. Semenjak itu pula Kapra berubah di mata Kobrat.

“Kau berubah, Pra.” Pernah secara terang-terangan Kobrat berkata begitu pada Kapra pada awal-awal Honda Astrea Grand itu berpindah tangan dari Kirpit ke Kapra.

“Maksudmu, gayaku yang berubah?”

“Bukan cuma gayamu, tapi sikapmu juga berubah.”

Ketika itu mereka sedang dalam perjalanan pulang. Seperti biasa, Kapra memboncengi Kobrat. Jalan yang menurun, memaksa Kobrat harus memegang pundak Kapra agak kuat agar tak tercampak.

“Itu perasaanmu saja, Brat. Aku tetap kawanmu yang dulu.” Kapra menjawab usai jalan menurun itu berganti jalan yang agak datar.

“Kau mentang-mentang sekali sekarang, Pra. Mentang-mentang kalau aku membutuhkanmu sehingga kau selalu datang sesukamu ketika kita ada jadwal menyiangi ladang orang. Andai dulu aku bisa bawa Honda, belum tentu Honda Kirpit ini akan jatuh kepadamu.” Gegara itu Kapra tersinggung, mereka sempat tak bertukar sapa agak sepekan.

Namun perkara kenapa Honda itu sampai ke tangan Kapra, Kobrat ada benarnya juga. Kirpit tak lagi punya keluarga dekat ketika meninggal. Kirpit memang punya satu anak, tapi menikah dengan seorang perempuan di kampung yang jauh dari kampung mereka. Maka pilihan orang terdekatnya jatuh pada Kobrat atau Kapra yang sudah seperti saudara dengan Kirpit. Karena Kobrat tak punya kemampuan mengendalikan Honda, maka otomatis Honda Astrea Grand itu jadi milik Kapra.

Sesuatu yang akhirnya disesali Kobrat bukan karena Kapra mewarisi Honda itu, tapi karena Honda itulah Kapra berubah. Kobrat tidak iri. Dia terlahir seperti untuk berjalan kaki. Setengah abad lebih umurnya, dia menghabiskan hari dengan berjalan kaki. Dia tak punya Honda, diberi pun dia tak akan mau. Dulu, ketika Honda baru masuk ke kampung, bukannya tak ada keluarganya yang ingin membelikan atau memberinya Honda. Kobrat menolak, dia lebih memilih menjadi pejalan kaki, dia merasa menemukan kebebasan ketika jalan kaki, melihat dan menikmati alam secara langsung. Saat kini roda-roda telah melintasi setiap jengkal tanah hutan yang dulu hanya bisa dijamah dengan tapak kaki, Kobrat memilih bertahan menjadi generasi tua yang disebut orang muda ketinggalan zaman. Dia tetap berjalan kaki, meski sesekali, tersebab usianya yang telah renta, dia juga melewati hari dengan kepenatan.

 Kobrat hanya menyayangkan sikap Kapra. Sebab, apa yang mereka miliki bertiga tak ubahnya kepunyaan bersama. Dari dulu begitulah mereka berkawan. Mereka saling melengkapi, saling membantu jika salah seorang lemah dalam suatu urusan. Selama ini banyak orang yang heran, kenapa Kobrat dan Kapra tak mempermasalahkan kebiasaan Kirpit yang banyak akal ketika menyiangi ladang, bukannya itu merugikan mereka berdua sehingga harus bekerja berlebih? Sebab mereka tahu, dalam urusan lain pula Kirpit akan menguntungkan  mereka. Misalnya, Kirpit jago memanjat. Batang setinggi apa pun akan dengan mudah dia taklukkan. Sering kali, orang-orang meminta jasanya jika pohon petai yang dulu ramai ditanam saat program HKm* sedang berbuah, atau saat musim buah-buah hutan tiba. Dan hasil pembagian Kirpit, akan dia peruntukkan pula buat Kobrat dan Kapra sama banyaknya.

Barangkali karena itulah perkawanan mereka awet. Sekencang dan serumit apa pun perselisihan di antara mereka bertiga, akan hilang dengan sendirinya. Pertengkaran mereka, tak lebih macam keributan anak-anak yang mendebatkan mana permen yang lebih enak. Lalu kini, saat mereka tinggal berdua, Kobrat merasa perbedaannya dengan Kapra semakin jauh. Dunia Kapra tak mampu lagi dikejarnya. Dia bukan lagi Kapra yang sering mengunjungi rumahnya dan tidur di sana. Sebaliknya, Kobrat juga merasa percuma menyambangi rumah Kapra, sebab saban malam Kapra pasti raun-raun dengan Honda Astrea Grand itu.

Intensitas pertemuan keduanya makin rumpang, Kobrat makin kecewa pada Kapra, hingga puncaknya ketika Kapra tak datang-datang pagi itu.

Kobrat pun bekerja sendirian sepanjang hari. Haji Kasmir yang mendapatinya sedang mengayunkan sabitnya ke tengah rumpun resam setinggi dagu keheranan. Ladang Haji Kasmir dua hektare lebih. Tentu saja dia berpikir, jika Kobrat cuma seorang diri bekerja, bisa-bisa rencana pemupukan yang dijadwalkannya awal bulan akan berantakan. 

“Mana kawanmu itu?”

Itu hari ketiga mereka bekerja seharusnya. Itu hari Senen, dua hari sebelumnya; Sabtu dan Minggu, Kobrat dan Kapra masih bekerja berdua. Sedianya, mereka akan terus bersama sampai hari Kamis tiba. Begitulah biasanya jadwal buruh upahan, hari Jumat libur, sebab hari pasar. Itulah masa dimana uang hasil pencarian sepekan akan dibelanjakan.

“Saya tak tahu, Ji.” Kapra menjawab sesingkat-singkatnya. Beruntung, Haji Kasmir tak bertanya lebih jauh, barangkali sedikit banyak perihal perangai Kapra akhir-akhir ini juga telah sampai ke telinganya.

Pada kenyataannya, sampai hari Kamis tiba, Kobrat memang hanya bekerja sendiri di ladang Haji Kasmir. Dia tak mencari orang lain sebagai pengganti. Haji Kasmir pun tak berusaha menambah anggota pekerjanya, meski ia tahu risiko pemupukan yang mungkin akan sedikit lebih lambat itu.

Kobrat semakin terbiasa bekerja tanpa Kapra. Kobrat bahkan nyaris tak lagi pernah bertemu Kapra selain melihatnya dari kejauhan, di warung-warung atau di simpang desa. Kobrat cuma sesekali berpikir, kerja apa Kapra sekarang? Sebab sudah sangat lama dia tak lagi pergi motong gotah dan jadi buruh upahan ke ladang. Kerjanya hanya raun-raun, entah dapat uang dari mana dia.

Lewat beberapa pekan dengan kesendiriannya, Kobrat masih sering ditanya, “mana Kapra?” Namun seperti biasa, ia hanya menanggapi dengan gelengan singkat dan pendek. Jika terlalu sering ditanyai begitu, Kobrat akan menunjukkan ekspresi muka yang menyiratkan bahwa apa yang berkaitan dengan Kapra bukan lagi urusannya sekarang. Kadang-kadang orang justru sengaja bertanya hanya untuk menggodanya.

Namun pagi itu seseorang yang menyusul Kobrat dengan Honda dari belakang bukan hendak menanyakan keberadaan Kapra, orang itu justru memberitahu bahwa Kapra sedang sakit. “Semalam badannya panas, sering muntah-muntah.” Kabar itu tak membawa langkah Kobrat kembali ke belakang. “Kenapa kau memberitahuku?” Kobrat malah berlalu, orang yang memberitahunya pun kembali menyusul Kobrat setelah tadi sempat mematikan mesin Hondanya begitu sampai di hadapan Kobrat, pastilah dia mengira Kobrat akan sedikit bertanya lebih jauh apa yang terjadi pada Kapra, sehingga butuh waktu agak lama untuk menjelaskannya. “Aku kira kau pantas mengetahuinya. Bukannya kau temannya Kapra? Aku tahu hubungan kalian sedang tidak baik-baik saja. Tapi aku rasa tak ada salahnya kau tahu tentang keadaan Kapra sekarang. Jika menurutmu itu tak penting, abaikan saja.” Orang itu benar-benar berlalu, menyisakan raungan mesin motor dan asap knalpotnya yang menderu-deru dan melayang-layang di telinga Kobrat.

Benar saja, sepanjang hari itu setiap orang yang berpapasan atau menyusulnya dari belakang selalu menyampaikan Kapra sedang sakit. Bahkan pada ambang petang yang sudah membayang, saat Kobrat telah sampai di rumah usai seharian bersiang di ladang, tetap saja ada yang menjenguknya untuk sekadar menyampaikan berita yang itu-itu juga. “Tidakkah kau ingin menjenguknya?” Kobrat menggeleng pelan. “Aku sedang penat sekali, kurang enak badan juga, mungkin esok atau lusa.”

Tentu saja Kobrat berbohong, agaknya, orang yang mengajaknya juga tahu Kobrat tak jujur, tapi orang-orang tak punya kuasa buat memaksanya.

Kobrat tidur cepat sekali malam itu, dan menjelang tengah malam, membawanya pada sebuah mimpi pendek:

Bertiga mereka sedang menaiki Honda Astrea Grand. Kirpit yang mengendarainya, Kobrat di tengah, dan Kapra di belakang. Ketiganya tertawa riang. Pada sebuah persimpangan, Kapra terjatuh dan terjerembap dalam kubangan lumpur. Semakin lama, lumpur malah makin membenamkan tubuh Kapra. Tangan Kapra menggapai-gapai sesuatu yang mampu menahan tubuhnya agar tak tenggelam, lalu hilang tertelan seutuhnya.

Kobrat terbangun. Nafasnya sesak. Dia menangis membayangkan mimpi itu. Begitukah ikatan batin seorang kawan? Ketukan yang tergesa-gesa dan terburu-buru terdengar dari pintu rumahnya tak lama sesudah itu. Kobrat tahu, pasti yang datang adalah orang yang memberitahunya tentang keadaan Kapra. Namun tanpa diberi tahu pun, Kobrat tahu bahwa Kapra telah tiada. ***

Catatan: *HKm merupakan kependekan dari Hutan Kemasyarakatan. Program yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat dengan tujuan untuk memberdayakan masyarakat sekitar. Program ini mulai dilaksanakan tahun 1995 pada masa Presiden Suharto.

Tanjung, September 2023

Bagikan:

Penulis →

Romi Afriadi

dilahirkan di Desa Tanjung, Kampar, Riau. Alumni Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suska Riau. Buku perdananya yang terbit berjudul Darah Pembangkang (Interlude, 2022).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *