Orkes Ringsek Negeriku



Puncak Muak

Kami muak, pada kebijakan tak berpihak, untuk khalayak
Ingin kami berontak, mencaci dan berteriak, pada para pelawak
Korupsi beranak pinak, bebas tak terindak, bikin sesak

Kami ingin keadilan tegak, tanpa memihak, sesuai hak
Biarkan kami bergerak, canangkan tonggak, tikam kawanan perusak
Atas nama akhlak, kami kompak, basmi perompak

Kami muak, jangan membentak, jiwa kami menyalak
Meski tanpa tombak, hati telah tergerak, demi orang banyak
Demi hidup layak, kami tak peduli dampak, akan mengoyak

Kami ingin berdiri tanpa jarak, satukan konak dalam pijak
Bukan sekadar gertak, kami akan ciptakan ombak
Saat muak memuncak
Melabrak

Blitar, 2024




Kakus

daun aspirasi kering luruh ke bumi
            dihempas angin demokrasi penebar imitasi
                        akar kerakyatan membentur batu-batu keserakahan
                                    nilai kebenaran tercampak dalam tong sampah karatan
                        di sini kemakmuran membusuk dalam kakus
            dikerubuti lalat asyik bercanda dengan para tikus
bersama kecoak kantor makan dengan rakus
            aroma busuk meruar dari balik jeruji besi
                        bersatu dengan bau mulut para koruptor sok suci
                                    bicara soal moral seolah dirinya manusia paling bersih
                        karena koruptor busuk itu kakus negara menganga
            tebarkan aroma bangkai terhirup napas masyarakat
menggelepar menunggu mau datang mendekat
            pada lubang kakus kebijakan palsu terbungkus
                        pada mulut kakus duit negara disikat barisan tikus
                                    penuh aroma kakus birokrasi digulirkan orang-orang rakus
                       bersoraklah kaum pengerat melihat rakyat mampus
            berpestalah para curut sebab aksinya tak terendus
pesta berbau kakus agar rekam jejak buruk terhapus
            kini aroma melati tak lagi mewangi
                        kalah bersaing dengan aroma timbunan tai
                                    tai demokrasi sarang aman bendera partai
                        jika nanti rakyat telah mabuk bau kakus
            institusi akan digiring secara lurus
kau akan terguling dijerat kasus
            hingga mampus di dasar kakus

            Blitar, 2024




Tuli

Di pinggir dinding kota yang hampir roboh oleh kesewenangan
Pengemis tua meratap memegang selembar undang undang
Yang isinya tak berpihak pada nasip orang pinggiran
Terlebih pada pengemis tua yang kelaparan

            Pekik jeritmu membelah lalu lalang kendaraan
            Yang berhenti di bawah lampu merah suatu perempatan
            Tangan kurusmu dengan penuh harap tengadah
            Mengiba pengendara agar melempar sedekah

Jerit laparmu terbakar panas matahari
Lolong hausmu tak mampu ketuk pintu hati
Aturan memaksamu harus rela menyingkir
Seolah di negerimu tak ada tempat untuk kaum fakir

            Aku dengar jeritmu dari sini aku dengar
            Aku lihat deritamu dari sini aku lihat
            Namun aku hanya mampu mendengar dan melihat
            Tanpa ada yang bisa aku perbuat

Tubuh kering kerontang terbungkus pakaian usang
Berjalan gontai dari kumpulan orang terbuang
Kemanakah larinya pasal 34 yang menyatakan
Bahwa orang miskin negara punya tanggungan

            Kebijakan demi kebijakan bergulir tanpa pernah berpihak
            Pada kepentingan rakyat kecil yang lebih punya hak
            Haruskah menunggu hingga orang pinggiran pada mati
            Layaknya tikus yang mati di lumbung padi

Teruslah menjerit kawan sampai kuping-kuping tuli itu
Mau mendengar dan peduli pada nasipmu

            Blitar, 2024




Jancuk!

Saat pejabat menjelma jadi kapal keruk
Segenap kekayaan negara disikat secara maruk
Hingga dalam waktu singkat kekayaan menumpuk
Rakyat yang melarat hanya bisa mengumpat, Jancuk!

Proyek besar disulap jadi ladang empuk
Tanda tangan dikomersilkan selaris kerupuk
Tak peduli kehidupan rakyat makin terpuruk
Sambil batuk-batuk rakyat misuh, Jancuk!

Saat pejabat bersikap layaknya beruk
Bersikap acuh meski langit hendak ambruk
Orang orang kecil tak pernah tahu nikmatnya lauk
Makan nasi campur garam melontar geram, Jancuk!

Jika kau nanti sudah tak lagi duduk
Tiada seorang jua yang mau tunduk
Saat itulah sikap pongahmu mulai takhluk
Kau terdiam terima umpatan, Jancuk!

Cepat tinggalkan kursi empuk
Atau kau tunggu kami main timpuk
Kami terlalu bosan dengan segala akal busuk
Biarkan kami berteriak, Jancuuuk!

Blitar, 2024




Linglung

Pemulung meraung hidup tak beruntung
Bermodal karung tantang matahari tanpa payung
Pungut barang bekas tanpa rasa canggung
Kumpulkan puntung rokok agar hidup tersambung

            Jika hari mendung hujan turun tak berlindung
            Berjalan terhuyung kepala telanjang tanpa tudung
            Kadang langkah terhenti saat kaki tersandung
            Hanya pada Allah hidupnya bergantung

Tapi lihatlah di sebuah gedung
Pejabat bingung harta setinggi gunung
Istri muda merajuk minta sebuah kalung
Langsung diajak ke mall paling agung

            Persetan atas nasip rakyat yang terkungkung
            Sebab penderitaan rakyat bisa jadi lumbung
            Ciptakan pemasukan besar tak terhitung
            Sekadar tutupi hati terkatung-katung

Pemulung bertemu pejabat di sebuah warung
Muka sang pejabat tertunduk murung
Kontradiksi hidup sepertinya memang mengapung
Dekat tak berbatas layaknya lobang hidung

            Pemulung tersenyum lihat pejabat jadi linglung
            Tinggal tunggu waktu pejabat bakal masuk karung
            Tergulung oleh ombak kontradiksi
            Yang mustahil untuk dihindari

Blitar, 2024




Dalih

Kepulan asap dupa dari pure-pure yang berdiri di tanah dewata
Lantunan mantra terucap di bibir pemuja klenik sepulau Jawa
Takbir dan sholawat dari penghuni tanah rencong ujung Sumatra
Semua khitmad bermunajat kepada satu dzat

Untuk keberkahan negeri yang sedang sekarat
Sebab di sini para penguasa sudah tak ingat
Pada aspirasi rakyat yang dikantonginya sebelum menjabat
Dengan suara lirih mereka berdalih
Jumlah anggaran negara belum pulih
            Ke mana kini masyarakat harus merintih
                        Atas persoalan hidup yang datang tumpang tindih
                                    Jika tahu begini rakyat tak akan sudi untuk memilih
                                                Lebih baik jadi golongan putih biarpun tersisih
Tak seharusnya pejabat berlaku pilih kasih
Jika tak ingin membuat hati rakyat bersedih
Janganlah anggaran yang jadi hak rakyat diambil alih
Dengan beribu dalih untuk sembunyikan pamrih
            Bukankah sudah terlalu lama perjalanan rakyat tertatih-tatih
                        Di atas berbagai kesewengan yang kau timpakan secara pedih
                                    Nanti jika waktunya rakyat datang menagih
                                                Jangan lagi kau berdalih

                                                            Blitar, 2024

Bagikan:

Penulis →

Heru Patria

Nama pena dari Heru Waluyo seorang guru di UPT SDN Beru 03 Kec. Wlingi, sekaligus novelis dari Blitar yang juga gemar menulis cerpen dan puisi. Selain termuat dalam 50 lebih antologi bersama, karya puisi dan cerpennya dimuat di berbagai media cetak dan online. Buku puisinya yang sudah terbit adalah : Berita dari Kolong Tol (Intishar, 2017), Senyawa Kopi Sekeping Hati (IA Publisher, 2022), Orasi Anak Negeri (LovRinz, 2023), Rapsodi Dua Hati (IA Publisher, 2024)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *