Teh Seduh Ambu

PUKUL 3 dini hari, perempuan tua itu tertidur di kursi dekat pintu. Rumah sederhana dengan lampu redup itu sepi, hanya terdengar helaan nafas si perempuan tua, Ambu.

Sementara di jalanan masuk, seorang gadis dengan diantar 3 teman laki-lakinya melangkah. Masih dengan tawa dan renyah yang memecah malam. Walau bicara sang gadis tidak begitu jelas, tapi temannya mampu memahami setiap kata yang keluar.

“Brak!” Pintu dibuka dengan sekali tendang, gadis itu tanpa peduli raut wajah terkejut sang Ibu, langsung melempar tasnya begitu saja.

“Aku mau mandi,” wanita tua yang sedari tadi memang menunggu kedatangan sang gadis segera beranjak ke dapur, menyiapkan air panas untuk putri semata wayangnya. Tak lupa, ia menyeduh teh manis hangat kesukaan Nala.

“Nak, tolong berhenti ya? Ambu khawatir sesuatu terjadi sama kamu, nak. Bermainlah dengan teman sesama perempuan, jangan keluar sampai larut malam,” ucap sang Ibu ketika Nala sedang menyeruput tehnya. Anak remaja itu seketika melirik tajam ke arah sang Ibu.

“Ambu itu enggak khawatir, Ambu cuma mau ngekang aku. Dan teman-teman perempuan yang Ambu maksud itu, mereka juga mengekang bahkan mengatur cara hidupku!” Bentak Nala, suaranya tak jelas, tapi isyarat tangan dan sorot matanya menunjukkan kemarahan.

Sesaat kemudian dia berdiri dan menuju kamar mandi, meninggalkan Ambu dengan hatinya yang terluka.

Ambu berjalan tertatih, menuju kran kecil di pojok dapur, mengambil air wudhu, menggelar sajadah dan mengadukan segala pedih pada Sang Maha Kuasa.

Lagi, pada keesokan hari, jam 3 pagi, di jalan yang sama, 4 orang sama dan masih dengan tawa serupa, walau penyebab tawa kali ini berbeda.

“Tapi serius, Ibumu itu ganggu semua kesenanganmu. Janda tua enggak tau diri. Udah tau kamu punya kekurangan, bukannya berusaha bahagiain dan manjain malah nuntut macem-macem.” Lelaki dengan dua tindik di telinga kanan memberi validasi hebat pada ego Nala. Gadis itu merasa dibela, merasa dipeluk pengertian.

“Brak!” Kejadian seperti kemarin terulang, dan sang Ambu pun mengulang kegiatan kemarin pula.

“Tolonglah, kali ini dengarkan Ambu ya, Nak? Ambu bukan menghalangi apa yang kamu sukai, Ambu hanya ingin kamu…,” ucapannya terhenti ketika Nala melempar gelas teh yang ia pegang, pecah berantakan di lantai.

“Ambu tuh selalu aja ngomong enggak jelas, selalu aja menghalangi apa yang Nala suka. Ambu egois! Ambu cuma mikirin keinginan Ambu sendiri, Ambu juga selalu ngomelin semua hal yang Nala lakukan. Ambu terlalu cerewet dan banyak ngaturnya, pantes Bapak ninggalin kita. Pasti gara-gara Ambu banyak ngomong, kan?” Teriakan Nala memecah keheningan rumah tua itu. Ambu terdiam, matanya berkaca-kaca menatap putri kecilnya dengan tatapan tidak menyangka.

Dalam hati kecil Nala, ada rasa bersalah, tapi dia mengabaikan dan lebih memilih memberi makan egonya. Berjalan ke kamar mandi, mandi dengan air hangat bikinan Ambu, kemudian tidur, dan untuk kesekian kalinya dia melewatkan shubuh yang berharga.

“Gusti Allah, hamba-Mu ini sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk membimbingnya. Maka kuserahkan dia pada-Mu ya Allah. Tunjukkan kebesaran-Mu dan jadikanlah dia sebagai gadis yang tau kodratnya sebagai wanita muslimah,” isak tangis mengiringi doa yang terucap oleh wanita yang usianya sudah melebihi setengah abad itu.

Hari demi hari berlalu, seperti template yang tidak berubah, selalu mengulang kejadian di mana Nala mendobrak pintu, Ambu yang menunggu di kursi dekat pintu, dan air hangat yang harus disiapkan sepaket dengan teh manis hangat. Hanya Nala sekarang tidak harus mendengar ‘ocehan’ panjang sang Ibu. Ambunya kini diam, hanya menyediakan apa yang perlu disediakan, lalu meninggalkan Nala dalam sepi.

“Ya harusnya kamu lega dong Ambu sudah enggak gangguin lagi,” asap mengepul keudara menyertai ucapan lelaki itu.

“Tapi aku takut, nggak tau kenapa,” isyarat tangan Nala menyertai perkataan gadis itu. Menjelaskan kata yang tak begitu jelas keluar dari mulutnya.

“Abaikan aja, yang terpenting kamu bisa menjalani hidup dengan enjoy.” Lagi kepulan asap mengotori udara malam.

Setelah semua rutinitas yang terjadi, Nala berusaha memejamkan mata, tapi kali ini matanya tak mau diajak bekerja sama. Pikirannya kalut, dia tidak mengerti kenapa hatinya begitu resah.

Pelan dia beranjak bangun, perlahan melangkah ke arah kamar sang Ibu, sayup dia mendengar doa Ibunya.

“Allahku, sungguh hamba sudah menyerahkan segalanya pada-Mu, tidak ada yang hamba inginkan kecuali kebahagiaan dunia akhirat bagi Nala. Dia sudah banyak menderita di dunia ini ya Allah, sudah begitu banyak luka yang ia alami semenjak kecil. Bullying, sakit yang berkelanjutan dalam waktu lama, harta dan kemewahan yang tak bisa kuberikan padanya. Maka tolong ya Allah, jangan jadikan akhiratnya menderita juga, ini adalah doa seorang Ibu teruntuk putri yang ia cintai lebih dari dirinya sendiri, maka kabulkanlah ya Rabb.” Nala terduduk ketika mendengar doa indah itu.

“Tuhan, prasangkaku begitu jahat pada Ambu,” lirih ucapan gadis berambut pendek itu disertai air yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Tangis yang tadinya setenang malam, berubah menjadi isak yang menyesakkan. Ambu menoleh dan keluar dari kamar, terkejut melihat putrinya sekacau ini.

“Nak, ada apa? Ada yang melukaimu? Ceritalah sama Ambu.” keriput di wajah tua itu tidak bisa menutupi raut kekhawatiran, ia peluk erat sang putri berusaha menenangkan gadis itu. Berkali-kali Nala menggeleng, susah payah ia berusaha mengendalikan perasaannya sebelum kemudian sanggup berkata.

“Nala jahat sama Ambu, ya, selama ini? Nala banyak melukai hati Ambu. Nala juga udah durhaka sama Ambu, apa lagi satu bulan yang lalu, ucapan Nala jahat banget ke Ambu. Maafkan Nala Ambu, Nala udah berprasangka buruk pada Ambu,” hangat, hati Ibu yang mulai masuk usia masa senja itu mendengar ucapan gadis kecilnya. Air mata menitik dari ujung mata tua itu, untuk kali ini, air mata itu tanda bahagia karna doa yang mulai menampakkan hasilnya.

“Maaf Ambu akan selalu ada untuk Nala, apa pun yang terjadi di antara kita, Ambu selalu menerima sebagai bentuk ujian dan cobaan.” Nala semakin erat memeluk Ibunya, kini dia menyadari hati perempuan yang melahirkannya itu lebih indah dari bintang yang selalu ia lihat di malam hari.

“Nala sekarang kembali ke Allah, ya? Kita sama-sama meraih ridho-Nya agar kita bisa bersama lagi di syurga-Nya,” bisikan Ambu seakan air dingin yang menghilangkan dahaga Nala.

“Ambu, ajarkan lagi cara shalat pada Nala. Rasanya Nala sudah terlalu jauh dari Allah sampai Nala enggak inget caranya shalat.” Ambu mengangguk seraya tersenyum lembut. Dan dua manusia itu kemudian bersama merayu Tuhan untuk kehidupan yang akan dilalui kedepannya.

“Untuk terakhir kalinya, Ambu, Nala hanya keluar untuk berpamitan dengan teman-teman. Nala janji pulang sebelum jam 10 malam. Ambu tidur aja ya? Enggak usah nunggu Nala, nanti Ambu capek.” Nala berpamitan. Kali ini pakaiannya lebih sopan, dia memakai celana dan kaos panjang. Ambu melepas kepergian Nala dengan pelukan, menghangatkan dan menguatkan tekat gadis itu untuk meninggalkan pergaulan malamnya.

“Dih, kamu yakin mau dikekang dan dilarang ini itu sama Ambu? Padahal dikit lagi kamu bisa sebebas kita,” sinis ucapan si tindik dua. Nala mengangguk mantap, dia benar-benar tidak ingin mengingkari janjinya pada Ambu.

“Terserah, Nal, kita udah jagain dan nyenengin kamu selama ini, tapi kalo akhirnya kamu ninggalin kita, kita mah cukup tau aja, ” si rambut pirang menimpali.

“Aku minta maaf, tapi jujur aja selama sama kalian aku cuma seneng bentar doang. Aku nggak tau apa itu tenang. Tapi ketika shalat sama Ambu, aku merasakan ketenangan yang udah lama enggak aku rasain,” ucapan Nala memancing berbagai reaksi teman-temannya. Dalam hati ia sedikit sedih dan merasa bersalah harus meninggalkan teman-teman tempat ia berkeluh kesah, tapi di sisi lain dia sadar pergaulan ini sama sekali tidak sehat.

Malam kali ini tidak ada yang mendampingi Nala, sepi, tak ada canda tawa dan dia berjalan seorang diri menyusuri jalanan kampung. Tapi, yang menyambutnya banyak, rumahnya tiba-tiba ramai banyak orang, Nala mengernyit bingung. ‘Apa Ambu bikin selamatan karna aku udah mau jadi anak baik?’ Pikirnya polos.

Seorang wanita tergopoh-gopoh menyambut Nala, memeluk gadis itu erat-erat dan mengelus kepalanya penuh kasih sayang.

“Sabar ya, Nduk, sabar. Nggak apa-apa, semua wes takdirnya Yang Maha Kuasa,” perkataan wanita itu membuat pikiran Nala kacau, tiba-tiba ia merasa takut luar biasa.

Dan ketakutannya terbukti, Ambu, sang wanita penyabar dan terkasih itu terbujur kaku dan tak lagi bernafas. Seketika tubuh Nala lunglai, ia ambruk di pintu masuk rumahnya. Banyak orang yang berusaha menguatkan Nala, mengantarkan gadis itu ke dekat jasad sang Ibu.

“Ambu, kenapa Ambu bohong? Kan Ambu janji kita sama-sama cari ridho Allah. Ambu bukan tidur ini yang Nala maksud, bukan istirahat selamanya. Ambu kenapa beneran enggak nunggu Nala pulang.” Nala meraung, hatinya terasa benar-benar sakit. Beberapa orang berusaha keras menenangkan gadis itu sebelum kemudian dia pingsan dalam pelukan wanita yang menyambutnya tadi.

Pemakaman dilakukan dengan khidmat. Nala tak juga mau beranjak dari makam walau semua prosesi telah selesai dijalankan. Air matanya masih mengalir deras, tubuhnya masih bergetar menahan isak tangis.

“Nak,” sebuah suara disertai tepukan bahu membuat Nala mendongak, laki-laki yang selama ini tak pernah muncul di hadapannya tiba-tiba berdiri tegap di sampingnya dengan wajah muram.

“Bapak mau ngapain kesini? Mau mencaci maki Ambu kaya dulu?” Cecar gadis itu, beberapa orang yang masih di makam segera kembali menenangkan Nala. Sementara lelaki itu hanya menggeleng lemah.

Rumah sudah tenang, hanya tersisa bapak dan anak yang duduk diam ditemani teh yang rasanya hambar. Bapak menghela napas panjang, mempersiapkan diri menceritakan apa yang terjadi.

“Jujur, Bapak malu ketika menyadari kamu tumbuh tidak seperti normalnya anak-anak lain. Bapak menyalahkan Ambu atas keadaanmu, saking malunya Bapak nggak berani ngenalin kamu ke keluarga Bapak. Dan berakhir Bapak meninggalkan Ambu ketika kamu di-bully, dan Bapak merasa ikut terbully. Dalam pandangan Bapak, kamu anak pembawa sial,” helaan napas panjang menjadi akhir dari cerita yang menyesakkan itu.

“Jadi Bapak ninggalin Ambu karna Nala, ya? Semua luka yang dialami Ambu itu penyebabnya Nala?” Bapak segera menggeleng mendengar pertanyaan Nala.

“Bukan, Nak. Tidak seperti itu. Ini semua murni kebodohan Bapak yang sama sekali tidak bisa berpikir jernih. Keadaanmu adalah takdir dari Allah yang seharusnya bisa Bapak sukuri. Karena toh pada akhirnya kekuranganmu tidak menjadikan kamu tertinggal dari yang lain. Kamu tetap sekolah sampai lulus sama seperti teman-teman pada umumnya.” Lelaki itu tertunduk lesu, menyesali perbuatan yang telah lampau.

“Semua sudah lewat, Ambu juga sudah nggak ada. Anggap semuanya nggak pernah terjadi. Besok setelah 3 hari Ambu, kembalilah ke keluarga baru Bapak, Nala akan berusaha hidup dengan baik sendirian. Kasian anak-anak Bapak yang lain kalo Bapak di sini lama-lama,” ucapan Nala seakan memperdalam rasa bersalah lelaki itu. Dia, gadis kecilnya, hatinya sebersih mantan istri yang bahkan dia tinggalkan tanpa lafadz cerai.

“Bapak memang pernah menikah lagi, Nak. Tapi Bapak tidak pernah memiliki anak lain selain kamu. Dan sekarangpun, keluarga yang Bapak miliki cuma kamu.” Nala menatap ayahnya dengan terkejut, jadi dia anak semata wayang? Sesaat kemudian pelukan ia berikan pada lelaki yang terisak menyesali perbuatannya di masa lampau itu.

Dua tahun berlalu, pada jam 3 pagi. Nala menyeduh teh, lalu membuka diary-nya.

“Ambu lihat Nala sekarang, kan? Rambut Nala sekarang udah panjang dan enggak kaya laki-laki lagi, Nala juga udah berjilbab Ambu, Nala sudah kembali pada fitrah Nala sebagai wanita muslimah. Apakah Ambu bangga? Nala sekarang masih sering keluar malam, tapi tidak lagi nongkrong nggak jelas. Nala sekarang ikut kajian fikih di pondok yang terletak di kecamatan sebelah. Pulang dan perginya di antar Bapak. Ambu pasti udah lihat, kan? Bapak sekarang tinggal di sini nemenin Nala. Bapak selalu menyesali perbuatan Bapak ke Ambu dulu, sama seperti Nala yang selalu menyesali apa yang udah Nala lakukan ke Ambu. Ambu, Nala sekarang masih suka menyeduh teh, tapi rasa teh itu tak pernah bisa senikmat bikinan Ambu. Nala kangen teh manis hangat bikinan Ambu.” Nala menutup diarynya, tak sanggup meneruskan segala curahan hati kepada Ambu.

Lalu di sepertiga malam itu, ia melangitkan permohonan ampun dan sebaris doa panjang nan indah untuk Ambu. Dan sekali lagi, seperti setiap malam semenjak dua tahun lalu, dia berkata lirih di akhir doa, “Ambu, Nala rindu seduhan teh Ambu.”

Bagikan:

Penulis →

Yaya Khasea

Yaya Khasea adalah nama pena Masning Khadijah, lahir 31 Desember 1998. Tinggal di Ngablak, Magelang. Setelah menempuh pendidikan di pondok pesantren, saat ini berprofesi sebagai pengajar. Mulai menulis sejak usia 13tahun dan beberapa karyanya sudah terbit di beberapa situs maupun dalam bentuk cetak antologi cerpen.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *