air yang mengalir
dari hulu ke muara katamu
awalnya adalah air dari dalam tanah
ia begitu cinta pada langit dan berdoa
agar matahari mengurainya jadi uap
lalu menerbangkannya ke langit menjadi awan
menjadi mendung karena ia amat senang
pada ketinggian
ia lupa pada asal dan gravitasi
bahwa bumi adalah tempat untuk kembali
saat gelegar guntur mengagetkannya
jutaan butir air berguguran lepas dari pelukan awan
terhisap gravitasi bumi yang segera menguburnya
ke dalam tanah
kini air kembali ke tanah
meresap ke dalam pori-pori bumi
menjadi sumur tanpa dasar tanpa tahu
diri akan terkubur selamanya
setelah itu menuju ke laut
melalui sungai-sungai bening
sebelum matahari menghukumnya
mengisapnya lagi ke langit
dan menjatuhkannya berulang kali
ke sumur, ke sungai, ya ke sungai-sungai
sebagai takdir terakhirnya
yang selalu setia
mengantarnya
ke haribaan
Laut
***
Di sebuah perkampungan kecil di sebuah lembah di balik pegunungan tempat kami hidup bertetangga selama puluhan tahun, kami menggantungan hidup pada air jernih yang bersumber dari pegunungan sebelah timur yang menjadi pelindung alamiah bagi perkampungan kami itu. Kami hidup di sana sebanyak sepuluh rumah tangga. Dan saya didapuk oleh Kepala Desa sebagai Kela Dusun yang bertanggungjawab atas segala sesuatu di dusun kecil itu.
Mata air yang ingin saya ceritakan ini muncul dari celah batu-batu gunung itu dan telah menjadi sumber kehidupan kami selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Mata air yang tak pernah kering itu dialirkan secara sederhana menggunakan parit-parit yang digali secara berliku-liku hingga sampailah ke perkampungan kami di lembah gunung itu. Di pinggir lembah itu kami membuatkan sebuah penampungan sederhana atau bendungan sederhana dengan membuat benteng batu karang sebagai bendungan. Dan dari bendungan itulah kami membagi-bagi saluran itu ke beberapa areal persawahan atau perkebunan. Dan hasilnya, Alhamdulillah sawah atau kebun-kebun kami tak pernah berhenti memberikan hasil walau di musim kemarau panjang sekalipun melanda perkampungan. Drainase kami akan terus berjalan secara otomatis tanpa harus dikontrol secara terus menerus.
Tapi belakangan kira-kira lima tahun yang lalu seorang tokoh masyarakat dan pengusaha terkenal dan dermawan pula membangunkan lagi saluran air yang permanen dari hulu sumber mata air di gunung itu. Ia membuat sumur besar dengan dengan garis tengah kira-kira lima meter dengan kedalaman kira-kira empat meter sebagai penampuangan sumber mata itu jernih. Dari sumur induk di gunung itu kemudian airnya dialirkan dengan menggunakan pipa-pira paralon yang tebal sebesar tiang listrik yang ditanam lurus menuju lembah perkampungan kami. Di pinggir perkampungan kami dibangunnya pula sebuah bak air besar dengan diameter hampir sama dengan sumur induk, kira-kira empat setengah meter dan ketinggian yang nyaris sama. Pada dinding melingkar bak ini dipasangi saluran-saluran air sebesar lengan dengan piupa-pipa menuju ke perkampungan tanpa menggunakan pengunci atau kran. Pokoknya air yang keluar dari pipa itu akan mengalir terus sepanjang waktu dan tak ada yang boleh menutupnya. Bak ini khusus digunakan untuk hajatan mandi, memasak, membersihkan alat-alat rumah tangga dan lain-lain. Jadi tidak untuk area persawahan atau perkebunan seperti yang dibangun masyarakat sebelumnya.
Airnya selalu jernih, seakan mencerminkan ketulusan alam yang tiada habisnya. Salah satu dari mereka yang menggantungkan hajat hidup dari air bersih tersebut adalah keluarga saya. Setiap hari, air jernih dari sumur itu mengalirkan kesejukan. Bagi kami, sumur di atas gunung itu benar-benar menjadi penyejuk sekaligus penyelamat. Apalagi airnya tidak pernah kering walau di musim kemarau panjang sekalipun.
Namun, ada satu hal yang kami perlu sepakati bersama agar sumur ini, terutama sumur yang mengalirkan air bersih dan disumbangkan oleh tokoh dermawan tadi pada warga masyarakat di lembah kampung kami terus terjaga, adalah bagaimana merawatnya setiap bulan. Bagi sumber air untuk kebutuhan persawahan atau pertanian mungkin tidak ada masalah. Air yang berlumpur sekalipun tetap dapat dimanfaatkan untuk menghidupi tanaman di sawah atau di kebun. Tapi bagi bagi air untuk dikonsumsi langsung tertu saja butuh pemeliharaan tiap bulan agar airnya tetap bersih, bening, sejuk dan terutama layak untuk dikonsumsi. Lumpur dan lumut batu yang tumbuh dan mengendap di dasar sumur, perlahan mengancam kejernihan air. Jika tak dibersihkan, air akan keruh, dan pipa yang menyalurkan air ke penampungan jadinya bisa tersumbat. Padahal dalam keheningan kampung kami, sumur itu adalah nyawa—dan setiap nyawa harus dirawat, harus dijaga secara bersama.
Itulah sebabnya Aku yang merasa diri bertanggungjawab selaku Kepala Dusun, tanpa diminta, mengambil tanggung jawab sebagai pemimpin yang membersihkan sumur. Kegiatan membersihkan induk mata air di atas gunung sebelah timur lembah perkampungan kami dilakukan sekali dalam sebuan. Dengan demikian air terus mengalir dengan sejuk dan jernih sepanjang tahun, membuat orang-orang kota yang datang ke lembah perkampungan kami jadi iri melihat air bersih terbuang-buang saja ke selokan atau ke kolam ikan karena berlebihan. Mana lagi tak ada yang mau membeli kran untuk menghentikan air yang terus mengalir.
Memang bukan sekadar pekerjaan fisik. Membersihkan sumur adalah cara bagiku untuk terhubung dengan sesuatu yang lebih besar. Setiap kali menyibak lumpur, dan bersama-sama dengan masyarakat membersihkan sumur pada sumber mata air itu aku merasakan hubungan yang tak terucapkan antara manusia dan alam. Antara kehidupan yang sederhana dengan makna yang mendalam. Air yang mengalir bukan hanya untukku atau untuk keluargaku saja, tapi untuk tetanggaku, untuk anak-anak yang bermain di halaman, dan untuk orang tua yang menanti secangkir kopi hangat di sore hari.
Suatu hari, di tengah pekerjaan membersihkan sumur, kudengar kabar bahwa pemilihan bupati akan segera berlangsung. Salah satu calon yang akan maju menjadi calon Bupati adalah Pak Rizal. Tokoh masyarakat yang dulu sering datang ke kampung kami. Dialah tokoh masyarakat dermawan yang membangun sumber mata airbersih dari gunung itu dan mengalirkannya ke perkampungan kami lewat pipa-pipa paralon yang ditanam di dalam tanah sepanjang lebih kurang sepuluh kilometer itu. Semua itu dibangunkan untuk masyarakat secara gratis. Dulu, ia dekat dengan masyarakat di lembah perkampungan kami. Ia sering menyambangi kami tanpa banyak protokol, sekadar berbagi cerita dan mendengarkan keluhan dan harapan-harapannya. Tapi belakangan, desas-desus beredar bahwa dukungan masyarakat di sini mulai bergeser ke calon lain. Mereka disusupi oleh money politic. Saya tentu saja kelimpungan. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Perkampungan kami sendiri sesungguhnya bukanlah dihuni oleh orang-orang berkerabat, tapi mereka dulunya kebanyakan pendatang baru yang terdampar karena tidak memiliki lahan atau tempat untuk berumah. Itulah sebabnya Kepala Desa kami menunjuk lembah yang dulu kurang subur itu untuk menjadi perkampungan bagi siapa saja yang datang mengungsi ke desa kami. Dan saya, sebagai seorang yang dianggap berpendidikan diminta pula oleh Kepala Desa tua untuk membangun rumah pula di sana dan sekaligus memintaku sebagai Kepala Dusun mereka.
Sejak isu money politic menyusupi perkampung di lembah kami itu Pak Rizal jarang lagi terlihat mendatangi kampung kami. Padahal biasanya sekali sebulan ia datang dengan anak buahnya sekadar membeli kacang tanah, gula aren, atau apa saja hasil-hasil panen masyarakat untuk ditampungnya sehingga tak ada pengusaha lain yang masuh ke lembah kampung kami. Biasanya ia memang menghubungi saya selaku Kepala Dusun. Tapi sudah dua tahun ini ia tidak pernah datang lagi berkunjung ke lembah kami. Terlebih saat-saat terakhir ini menjelang pilkada karena ia mendengar isu ada calon lain yang menyatroni lembah kami dengan iming-iming dan money politic yang diselundupkan secara diam-diam.
Saya sendiri memang susah untuk melacaknya. Karena kalau sekadar datang, ya siapapun yang mau datang tak akan ada halangan. Para penjual, tukang reparasi, tukang kredit, dan banyak lagi yang belakangan datang dengan maksud untuk melakukan transaksi dengan masyarakat tak ada masalah. Warga masyarakat juga sudah bebas melakukan kegiatan jual-beli hasil sawah dan pertanian mereka secara langsung karena pasar desa memang agak jauh dari lembah kami dan transportasi belum begitu lancar.
Saya mendengar bahwa Pak Rizal yang dianggap telah berjasa pada lembah kampung kami tidak pernah datang karena kecewa pada warga masyarakat. Sudah tentu pula ia kecewa pada saya yang dianggapnya tidak bisa mempersatukan masyarakat di lembah itu.
***
Sore itu, di tengah keriuhan kampung, aku kembali mengajak beberapa warga untuk membersihkan sumur. Walau banyak yang enggan ikut serta akhirnya ada sekirat sepuluh orang yang masih bersedia. Saya pun berpikir jika semuanya sudah enggan ikut serta bergotong royong aku akan mengenakan iuran bulanan sebagaimana PDAM dalam mengelola air bersih. Mereka pasti akan memasangi kran pada ledeng-ledeng mereka untuk menggunakan air secukupnya saja agar terhindar dari iuran yang banyak. Tapi itu masih dalam pikiran saya dan belum dikonfirmasi dengan Kepala Desa maupun Kepada Pak Rizal yang membangun dan menghibahkannya dulu pada kami.
Suara ember yang bergantian jatuh ke dasar sumur memecah keheningan, namun tiba-tiba kurasakan ada sepasang mata yang memperhatikanku dari kejauhan. Aku melanjutkan pekerjaanku, berpikir mungkin itu hanya salah satu tetangga yang ingin mengambil air. Tapi bayangan itu semakin mendekat, dan saat dia berdiri di pinggir sumur bersama anak buahnya, aku mengenalinya.
“Pak Rizal?” tanyaku dengan sedikit heran dan hormat.
Ia tersenyum tipis sambil mengangkat topinya sehingga wajahnya diterpa matahari pagi. Ia bergeser sedikit di bawah lindungan pohon besar. Lalu berkata dengan nada datar, “Kamu tahu, sumur ini dulu aku yang bangun. Aku pasang pipa-pipanya di bawah tanah kira-kira sepanjang hampir sepuluh kilomerer hingga sampai ke lembah perkampungan kamu. Aku bawa airnya sampai ke sana.”
Aku tertegun. Selama bertahun-tahun, kami memang memaklumi siapa yang membangun sumur ini. Sumur ini selalu ada, seperti sebuah anugerah dari alam. Tapi tetap tak dapat kami nikmati tanpa ada seorang konglomerat yang berbaik hati membantu kami. Karena kami sendiri mana mungkin bisa bergotong royong mengalirkan air melalui pipa-pipa permanen di bawah tanah sampai air bersih tersebut bisa tiba ke lembah perkampungan kami. Orang-orang tua kami dulu dan para masyarakat hanya dapat bergotong royong membuat saluran airuntuk persawahan dan perkebunan yang tetu kebersihannya tidak dapatterjamin karena hanya melalui parit-parityang tidak tertutup sepanajang sepuluh kilometer. Taka da yang bisa menjamin hewan-hewan liar akan minum, kencing atau buang airsepanjang parit yang telah dibuat oleh masyarakat.
Tapi dengan bantuan Pak Rizal, pengusaha sukses yang dermawan serta sekarang menjadi calon Bupati ini maka kemustahilan itu telah kami nikmati bertahun-tahun lamanya. Sayangnya, masyarakat seperti tak tahu berterimakasih, bahkan seperti melupakan orang-orang yang telah berjasa membangun fasilitas umum karena ia sudah menikmatinya.
“Mereka sudah lupa,” katanya sambil memandang sumur itu dengan tatapan kosong. “Masyarakat di sini sudah melupakan aku. Ada pilihan lain, calon baru yang menjanjikan banyak hal. Tapi apakah mereka ingat, tanpa sumur ini, tanpa aku, mungkin mereka tidak akan bisa bertahan di lembah itu?”
Aku melihat bukan sekadar kekecewaan di wajahnya, tapi ada luka yang dalam, luka dari rasa diabaikan oleh orang-orang yang pernah memujanya. Pak Rizal yang dulu dielu-elukan, kini merasa tak lagi berarti. Kegigihannya membangun sumur, kini seperti hilang di balik kabut politik yang penuh janji.
“Tapi kamu tahu,” lanjutnya, suaranya lebih tenang, “aku tetap datang. Tapi di sini, di bukit ini. Bukan di lembah perkampungan kamu. Karena apa yang aku bangun di sini bukan sekadar alat untuk meraih kekuasaan. Sumur ini bukan untuk memenangkan hati mereka, tapi untuk memberi mereka kehidupan. Sama seperti aku tidak akan membiarkan lumpur menutupi air, aku juga tidak akan membiarkan dendam menutupi hatiku.”
Tanpa banyak kata lagi, Pak Rizal turun ke dalam sumur. Dengan cekatan, ia mulai menggulung celananya, turun bersama anak buahnya. Lumpur-lumpur dan lumut yang selama ini memenuhi dasar sumur diangkat satu persatu melalui timba yang ditarik keatas. Aku hanya bisa terpaku, menyaksikan seorang yang pernah menjadi tokoh besar, dan sesungguhnya masih tokoh besar, kini bekerja diam-diam, tanpa pamrih, tanpa berharap sesuatu, tanpa ada masyarakat yang tahu kecuali yang ada di tempat itu.
Sumur itu kembali jernih. Dan saat kran besarnya dilonggarkan, air mengalir deras, memancar keluar dengan kecerahan yang baru. Pak Rizal naik, mengusap peluh di dahinya, lalu menemuiku.
“Hidup ini bukan soal dipilih atau tidak dipilih, tapi tentang apa yang kita berikan untuk orang lain,” ucapnya pelan.
Lalu ia pergi bersama anak buahnya, meninggalkan aku dengan pikiran yang berkecamuk. Mobil pikap yang ditumpanginya sampai ke gunung itu melaju pelan di jalanan yang berbatu-batu, menyisakan jejak yang samar. Namun di dalam diriku, kata-katanya menggema, seolah air dari sumur itu kini mengalir ke dalam hati, membawa pesan bahwa kemanusiaan adalah tentang memberi, bukan tentang menerima.
Di siang yang tenang itu, aku berdiri bersama beberapa masyarakat yang masih setia ikut bekerja di pinggir sumur, dengan hati yang tiba-tiba terasa penuh, seperti sumur yang baru dibersihkan. Akupun berteriak lantang bagaikan Tarzan, “Ahouiiiii masyarakat lembah kampung kami, dengarkanlah….!”
Barru, 2024