SENJA jatuh tanpa suara, seperti kebiasaan yang tak pernah diingat orang. Langit berwarna jingga, memantulkan perasaan yang tak pernah selesai. Di tepi dermaga, Reva berdiri seperti bayangan, hampir tak terasa, kecuali angin laut yang sesekali menyapu rambutnya. Di tangannya, sebuah surat tua yang digenggamnya erat-erat. Surat itu sudah lama tersimpan dalam laci, terselip di antara tumpukan kenangan yang ia biarkan berdebu. Tertutup oleh waktu, terkubur dalam rutinitas yang ia jalani dengan setengah hati, berharap bisa melupakan apa yang pernah terjadi.
Namun, hari itu tanpa sengaja, surat tersebut kembali muncul di hadapannya, saat ia sedang membereskan barang-barang di rumah tua neneknya. Dan seperti luka yang tak sepenuhnya sembuh, keberadaan surat itu membangkitkan perasaan-perasaan lama yang selalu ia hindari. Sebuah surat dari masa lalu, dari seseorang yang tak pernah kembali.
Dia tahu, suatu hari dia akan menemukan surat itu. Dan hari itu tiba, meski tanpa ia kehendaki.
Sejenak, Reva menunduk, membuka lipatan kertas itu pelan-pelan, seolah takut setiap gerakan akan membuatnya hancur lebih cepat. Di sekelilingnya, hanya ombak yang bergulung malas, berbisik seperti kata-kata yang terlupa. Angin sore mulai membawa hawa dingin, tetapi Reva tetap berdiri di sana, diam, membiarkan waktu berjalan dengan caranya sendiri. Senja yang makin tua, seakan menunggu apa yang akan terjadi berikutnya.
Surat itu terlipat dengan rapi, seperti baru saja ditulis kemarin. Ia membaca kalimat-kalimat yang tertulis di atasnya, meresap ke dalam pikirannya perlahan-lahan.
“Untuk Reva, jika kau membaca ini, mungkin aku sudah tak lagi di sisimu. Jangan mencari aku, karena aku pergi untuk alasan yang hanya bisa aku simpan dalam dada.”
Kalimat pertama itu seolah menghantam dadanya, mengirimkan pukulan yang tak bisa dihindari. Reva diam, menatap langit yang makin temaram, membiarkan ingatannya hanyut seperti sampan yang terlepas dari tali. Tiba-tiba, semua kembali: suara Arga, tawa mereka, dan janji-janji yang terucap di tepi dermaga yang sama, bertahun-tahun lalu.
Sore-sore yang mereka habiskan bersama selalu terasa tenang. Mereka kerap memandang matahari tenggelam, tanpa perlu bicara apa-apa. Diam adalah bahasa mereka, seolah dunia tak perlu dijelaskan, hanya dirasakan. Laut menjadi saksi bisu, setiap percakapan yang tidak terucap menggantung di udara, menyusup ke dalam napas mereka.
Namun sekarang, semuanya telah berlalu. Reva hanya ditemani oleh secarik kertas, yang tiba-tiba berubah menjadi jembatan menuju masa lalu. Surat itu adalah yang tersisa dari semua kenangan yang dulu ia anggap sebagai pelindung dari kerasnya kehidupan.
“Aku tak pernah ingin pergi, tapi aku tak bisa tetap tinggal. Mungkin kau akan benci aku, tapi aku lebih takut jika kau tetap mengingatku sebagai seseorang yang tak bisa memberikan apa-apa selain rasa sakit.”
Arga selalu penuh misteri. Kalimat-kalimatnya seperti kabut yang menyelimuti segala kemungkinan. Selalu ada jarak di antara mereka, jarak yang tak pernah bisa diukur dengan kata-kata. Reva ingin marah, ingin menangis, tapi entah mengapa hanya kebisuan yang keluar dari hatinya. Hatinya kering, tak bisa lagi merasakan apa-apa selain kekosongan.
Waktu menggerogoti kenangan dengan cara yang paling halus, seperti senja yang diam-diam menelan hari.
Reva menghela napas, lalu menatap cakrawala. Senja terus bergerak, tanpa pernah bertanya apakah dia siap mengucapkan selamat tinggal. Sama seperti Arga, yang pergi tanpa sempat memberi alasan yang cukup. Pergi seperti sebuah adegan dalam film bisu—terasa, tapi tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Namun, hari ini, Reva tak bisa lagi menahan perasaan di dalam hatinya. Ia harus tahu. Mengapa Arga pergi? Mengapa semua janji dan mimpi yang pernah mereka buat bersama berakhir dengan sebuah surat usang?
Reva masih ingat jelas percakapan terakhir mereka. Arga terlihat gelisah kala itu, matanya terus menghindari tatapan Reva. Saat mereka duduk di bangku kayu di dermaga yang sama, Reva menyadari ada sesuatu yang berubah dalam diri Arga. Dan hari itu, ia mendengar kabar yang membuat hatinya hancur.
“Aku mengidap penyakit yang tak bisa disembuhkan,”kata Arga pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara deburan ombak.
“Aku tidak ingin kau melihatku perlahan-lahan kehilangan diriku sendiri. Aku tidak ingin kau merasakan sakit yang lebih besar daripada yang sudah kau rasakan.”
Saat itu, Reva menolak mendengar penjelasan Arga. Ia mencoba menyangkal, meyakinkan Arga bahwa mereka bisa melewati semua itu bersama. Namun, di hati kecilnya, Reva tahu bahwa Arga sudah membuat keputusan.
“Jangan tinggalkan aku,” ucap Reva, dengan air mata yang tak terbendung. Tapi Arga hanya terdiam. Diam yang mengisyaratkan sebuah perpisahan yang tak terelakkan.
Dan kini, surat di tangannya adalah penutup cerita itu. Arga memilih pergi bukan karena ia ingin, tetapi karena ia merasa harus. Baginya, cinta adalah melepaskan, meski artinya menyakiti.
“Jika ada satu hal yang ingin kuucapkan, hanya satu: maaf. Maaf karena aku tak pernah bisa menjadi lelaki yang kamu harapkan. Dan mungkin, aku tak pernah benar-benar pantas berada di sisimu.”
Lagi-lagi, hanya sepotong maaf. Kata yang sudah terlalu sering ia dengar, terlalu sering mengisi ruang kosong dalam surat-surat yang tak pernah sampai di hati. Maaf yang terlambat, seperti senja yang terus melaju menuju gelap tanpa menunggu siapa pun.
Kini Reva mengerti. Alasan Arga pergi bukanlah karena ketakutan akan cinta, melainkan ketakutan akan kehilangan dirinya sendiri. Ia takut menjadi beban, takut melihat Reva tersakiti oleh kondisi yang tak bisa ia kendalikan. Dan dalam keputusannya yang berat, ia memilih pergi, meninggalkan cinta mereka di tepi dermaga ini.
Surat itu kini tak lagi ia baca, tapi ia biarkan saja terbang bersama angin laut. Di atas air, sepotong kertas melayang-layang, hanyut bersama ombak, meninggalkan jejak terakhir yang akan segera hilang ditelan laut. Kenangan tentang Arga adalah sesuatu yang tak lagi ingin ia bawa. Ia sudah lelah memikirkannya, lelah menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi di balik semua keheningan yang ditinggalkan Arga.
Reva menatap kosong ke arah laut. Tidak ada lagi yang tersisa di sana, kecuali dirinya sendiri. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa bebas—bebas dari bayangan masa lalu, dari perasaan yang dulu menahannya di tempat yang sama. Kini, ia siap melangkah pergi.
Malam mulai datang, perlahan tapi pasti. Bintang-bintang mulai bermunculan di langit, satu per satu, seolah mengingatkan Reva bahwa hidup akan terus berjalan, meskipun segalanya telah berubah. Dermaga itu tetap sunyi, tetapi hati Reva tak lagi dipenuhi kebisuan. Ia melangkah menjauh, meninggalkan masa lalu di tempat yang seharusnya—di belakang.
Reva melangkah menjauh dari dermaga, tapi dalam setiap langkahnya, ada gema dari masa lalu yang tak bisa sepenuhnya ia tinggalkan. Arga memang sudah pergi, namun kenangan itu tak pernah benar-benar bisa dihapus, seperti debur ombak yang terus berulang di tepian laut. Waktu mungkin telah membawa Arga jauh, namun waktu juga menyimpan bayangan-bayangan yang tak mudah hilang.
Ia berpikir, mungkin suatu hari nanti, saat senja lain menyentuh dermaga ini, ia akan kembali. Bukan untuk mengenang Arga, tapi untuk merasakan kedamaian yang dulu pernah ia rasakan di sini. Ia sadar bahwa melupakan tak selalu berarti menghapus; kadang melupakan adalah menerima bahwa ada bagian dari diri yang memang tak bisa diubah.
Saat malam semakin merangkak naik, Reva memandang bintang-bintang di langit, menyadari bahwa meski dirinya kini sendirian, ia tidak merasa benar-benar kesepian. Di balik perginya Arga, di balik rasa sakit yang pernah ia rasakan, ada ruang kosong yang mulai terisi dengan penerimaan. Mungkin cinta memang tidak selalu tentang bersama. Kadang cinta juga berarti melepaskan dengan hati yang ikhlas.
Reva berbisik kepada dirinya sendiri, “Akan ada senja lain, akan ada cerita lain.”
***
Kuningan, 24 September 2024