Kelokan Berujung Kejutan

hidup dan kehidupan berlari mengejar kematian.

—Syarifuddin Dea.

*

Setiap kita hendak melewati sebuah tikungan, seringkali terbersit rasa ingin tahu dan bertanya-tanya: ada apa di seberang kelokan sana?  Sebuah keliku –apakah itu berupa belokan di jalan atau perubahan alur dalam perjalanan hidup—dapat merupakan set up atau persiapan kemunculan kejutan.

Hal serupa terjadi dalam karya sastra. Sastrawan bisa saja berkerja men-set up sebuah suspense alur berliku dari sebuah gagasan agar berujung kejutan. Gagasan akhirnya menjadi lebih bernas tersebab dikemas menjadi perihal baru atau temuan mengejutkan.

Seorang sastrawan, terutama penyair, memiliki banyak peluang melakukan kejutan melalui pembelokan susunan kata dari yang lazim menjadi tidak familiar. Sebuah teknik penulisan dalam sastra yang banyak dikenal sebagai defamiliarisasi dari Viktor Shklovsky. Setelah menuliskan sebuah kata, maka ada banyak pilihan kata berikutnya yang berpeluang dituliskan menjadi frasa maupun kalimat dan menghasilkan makna berbeda.

Setiap kata merupakan pilihan (paradigmatik) dari banyak kata yang sinonim atau secara assosiatif berpeluang membentuk makna dalam lajur kalimat (sintagmatik). Kurang lebih seperti itulah pandangan linguis Ferdinand de Saussure. Pilihan kata itulah –semisal bukan kata yang lazim— dapat menghasilkan makna baru atau mengejutkan.

Marilah menyimak sebuah puisi penyair Syarifuddin Dea dari Madura di bawah ini:

Selamat Tinggal

tinggal, tinggal kota berdebu berwajah kelabu
tinggal, tinggal kota tua yang bercerita
tentang manusia dan segala dosanya
di kepalamu cinta dan benci pernah kulemparkan
di atasnya duka bagai pulang dan tiba
selamat tinggal kotaku, kota tua
di perutmu aku berlari, mencari dan bercerita
di perutmu aku temukan dari dalam bui atau penjara
di perutmu akrabnya sahabat kutinggalkan
di perutmu pahitnya cinta tanpa penjelasan

selamat tinggal kotaku, kota berdebu
ke tanah pedusunan, aku pergi karena ibu
di mana duka bagai juga pulang dan tiba
hidup dan kehidupan berlari mengejar kematian

Bangkalan, 1965

Judul puisi di atas menunjukkan bahwa aku lirik mengucapkan selamat tinggal ke kota yang berwajah kelabu. Menariknya karena penyair memulai puisinya menggunakan kata tinggal darifrasa selamat tinggal untuk menggambarkan keadaan kotanya: tinggal, tinggal kota tua berwajah kelabu.

Kata tinggal bisa saja diganti dengan kata belaka, hanya, semata, namun karena hendak menggunakannya dalam frasa selamat tinggal, maka penyair memilih kata tinggal.  Kata tinggal bahkandipertegas dengan teknik repetisi yang membuatnya terasa tidak lazim: tinggal, tinggal kota berdebutinggal, tinggal kota tua yang memperkuat rasa jemu dan kesepian.

Sebuah kota tua yang bercerita tentang manusia dan dosanya, di kepalanya aku lirik melemparkan cinta, serta di perutnya merasakan pahitnya cinta. Terlihat bahwa penyair dengan lihai membangun set up dengan strategi mempersonifikasi si Kota. Penyair mengassosiasikan kota  memiliki wajah, kepala, perut, dan berusia tua.

Siasat personifikasi itu kemudian membuka peluang bagi penyair untuk berdialog dengan si Kota. Aku lirik menyebut dirinya ku dan aku sertakau lirik dibilangnya mu.

di kepalamu cinta dan benci pernah kulemparkan
di atasnya duka bagai pulang dan tiba
selamat tinggal kotaku, kota tua

Lantas siapakah si Aku? Sangat mungkin ia bagian dari kaum urban yang terasing.  Seseorang yang pernah melemparkan (bukan meletakkan, menawarkan, atau memberikan) cinta dan benci ke kepala si Kota. Seseorang yang mengenaskan.

Aku lirik mengucapkan selamat tinggal ke kotanya untuk pergi ke tanah pedusunan karena ibu. Jadi pembaca dapat menduga kalau aku lirik pulang kampung. Akan tetapi, setali tiga uang, apa yang terjadi di kota, berlangsung pula di pedusunan.

Keadaan itu diungkap dalam kalimat repetisi dari bait kedua: duka bagai pulang dan tiba dengan tambahan penegas kata juga. Sebuah kondisi tragis.

selamat tinggal kotaku, kota berdebu
ke tanah pedusunan, aku pergi karena ibu
di mana duka bagai juga pulang dan tiba

Kejutan –meski terasa perlu disayangkan— adalah penyair terlalu cepat mengakhiri puisinya. Mungkin dimaksudkan untuk  memperkuat kejutannya. Hanya saja, sebab penyair telah memberi banyak alasan untuk meninggalkan kota, terasa tak seimbang karena tidak mengadakan dalih ketika menyebut pedusunan dengan kesimpulan sama.

Bait terakhir di atas segera ditutup dengan kalimat: hidup dan kehidupan berlari mengejar kematian.  Struktur sintagmatik hidup dan kehidupan maupu berlari mengejar masih lazim. Apabila kelaziman hendak dilanjutkan, maka sambungan berlari mengejar bisa saja rezeki, waktu, maupun mimpi. Menariknya karena justru penyair memilih kata yang tidak lazim, kematian.

Walau demikian, ketaklaziman dari kata kematian tetap tidak keluar dari jalur kemungkinan untuk dipahami pembaca sebab telah di-set up dengan memulainya dari kata hidup. Hidup berantonim dengan mati atau kehidupan manusia berujung ke kematian. Makna di dalam jarak antara hidup dan mati itulah yang dieksplorasi penyair.

Pilihannya memberi kata berlari mengejar menggambarkan hasrat dan ambisi manusia. Suatu kehendak sia-sia yang akhirnya berujung nihil berupa ketiadaan. Kalimat klaim hidup dan kehidupan berlari mengejar kematian merupakan kesimpulan yang menjadii penutup puisi berjudul Selamat Tinggal.

Gaya penulisan seperti puisi Selamat Tinggal –terutama pengulangan kata tidak lazim dan berpretensi memberi kejutan— menjadi bentuk  yang jamak dalam buku kumpulan puisi Catatan Penyair Sudra (2025) karya Syarifuddin Dea. Bentuk seperti itu membuat narasi puisi menjadi tidak terlalu runtut karena dipenuhi lompatan-lompatan kata atau frasa tak terduga.

Lihat misalnya kalimat: duh gusti siapapun engkau. Terasa paradoks ketika telah menyebut gusti  yang dalam konteks puisi ini bisa jelas dipahami sebagai Tuhan, malah dibelokkan menjadi kesangsian, siapapun engkau. Kalimat ini menjadi mengejutkan dikarenakan Tuhan yang gaib selalu diterima begitu saja, tiba-tiba dipertanyakan menggunakan kata siapa yang biasa digunakan merujuk ke manusia.

Susunan kata tak lazim juga digunakan ketika mengungkapkan keadaan dalam hubungan sebab-akibat yang diakhiri kesimpulan. Gaya ini memang banyak ditemukan dalam puisi-puisi modern. Lihat dalam puisi Berteduh di Pengungsianmu:

di sudut memar nasibmu
kuhirup kepingan senyum, maka
jadilah aku sang adam

Bentuk seperti itu juga dibuat lebih lengkap dengan membuatnya bersajak. Efeknya jadi berganda. Pilihan kata tidak lazim dibuat menjadi berirama atau berbunyi untuk membentuk makna lebih mujarab. Lihat misalnya dalam Sajak Burung-Burung:

bercakap dalam lugu bahasa
pada hening mengulur lara
tubuhmu ranum
kubelai harum!

Terlihat bahwa penggunaan urutan kata tidak lazim menjadi siasat penting penyair dalam menyampaikan gagasannya. Teknik itu menjadi dasar dalam mengembangkan gaya ke bentuk-bentuk kecil lain, semisal ragam bercerita maupun bunyi atau rima persajakan.

Semua strategi itu juga memperlihatkan pretensi penyair menempatkan pembaca di ujung kelokan frasa atau kalimatnya. Tujuannya, menunggu penyair tiba –bukan sekadar untuk menyampaikan gagasan— tetapi mengejutkannya. Menghentak dengan sebuah punchline berupa surprise ending.

*

Bagikan:

Penulis →

Aslan Abidin

Penyair dan dosen Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *