Rahasia Nona Anna

Makassar, 1939

Wangi menguar dari dapur yang letaknya terpisah dari bangunan rumah utama. Para koki dan asistennya mendorong kereta dengan rupa-rupa hidangan rijsttafel[1]. Kereta yang kaki-kaki dan rodanya bising, tetapi selalu ditunggu oleh para tamu. Sementara dari arah ruang kerja sang tuan rumah, sayup-sayup terdengar suara merdu penyanyi Hoo Eng Jie melantunkan “Ati Radja”, membuat syahdu suasana siang itu.

Seorang perempuan bergaun putih berenda terburu-buru masuk ke sebuah kamar, menutup pintu, kemudian menuju jendela yang menghadap ke jalan.

“Baunya enak sekali, Nona Anna.” Seorang gadis remaja pribumi sedang duduk di depan meja rias dengan rambut panjang tergerai berantakan.

Kokkie[2] memasak soep brenebon[3] dan biefstuk[4],” kata perempuan yang dipanggil Nona Anna itu sambil melihat-lihat ke luar jendela. Setelah beberapa saat, dia menutup jendela. “Ayo, Soraya, saya akan mengepang rambutmu.”

“Kenapa menutup pintu dan jendela?” tanya Soraya sambil menahan kepalanya agar tak ikut arah tarikan sisir Nona Anna.

“Tamu-tamu Tuan Salim sudah datang.”

Ayah Soraya, Tuan Salim adalah salah seorang bangsawan berlatar pendidikan Belanda yang menjadi bagian dari elit birokrasi. Hari itu dia sedang mengadakan jamuan makan siang di rumahnya di kawasan Hooge Pad[5], tempat di mana rumah-rumah para petinggi berdiri kokoh dengan bangunan dan pagar bercat putih.

“Lalu?” Soraya masih tidak paham.

“Tamu-tamu itu kesemuanya lelaki. Tuan Salim akan marah kalau mereka mengintip ke sini dari pintu atau jendela.”

Kaeng[6] mengundang para pangreh praja[7]? Apakah mereka lajang?” Mata Soraya berbinar. Gadis belia usia lima belas itu senang mengamati pemuda indo asisten pegawai yang kerap datang mengurus persuratan ke rumahnya. Begitu pula pemuda-pemuda yang bersepeda melintasi Hooge Pad ke arah Koningsplein[8]. Apalagi sejak ada pembangunan kantor pemerintahan yang baru di ujung jalan, suasana di luar sana makin ramai. Pemandangan yang hanya bisa diintip Soraya lewat jendela kamar.

“Ada apa dengan pangreh praja?” Nona Anna melirik penuh selidik. Soraya memang sudah menampakkan ciri-ciri menuju kedewasaannya. Dada gadis belia itu tak lagi kempis rata, lemak di pinggul dan paha pun membuatnya lebih berisi.

Soraya tidak menjawab. Dia berjalan cepat menuju jendela, mengintip para pemuda yang datang satu demi satu dan memarkir sepeda di bawah pohon-pohon yang tinggi menjulang di luar pagar.

Soraya tersenyum kecut. “Apakah mereka suka kepada gadis-gadis berkulit putih sepertimu? Gadis yang disebutkan reklame Palmolive[9]itu.”

“Kau ini cantik dan manis, Nona Kepang Dua!” Perempuan dengan rambut digelung rapi itu memainkan liontin yang menghiasi kalungnya. “Memang, ada pria yang menyukai perempuan berkulit pucat, tetapi tidak semua. Kau akan tahu sendiri alasannya nanti, belum waktunya.”

“Belum waktunya? Seperti belum waktunya pergi berdansa atau nonton bioskop?” Soraya kembali ke meja rias. Dia memandang ke arah cermin, melihat kedua sisi kepalanya yang sudah dirias dengan kepangan rapi. “Sudah rapi, tetapi tidak ke mana-mana. Hanya ke sekolah untuk belajar menyulam dan belajar mengurus rumah tangga saja.”

Nona Anna menggeleng-gelengkan kepala. “Sudah saya bilang, nanti saat kau cukup umur.”

“Berjanjilah, kalau kelak saya cukup dewasa, kau akan membantu memilih gaun dan perhiasan terbaik, lalu pergi berdansa.”

“Saya bahkan akan memilih teman dansamu, Nona Soraya Salim.” Nona Anna meletakkan sisir di atas meja rias, mencubit pipi Soraya dengan gemas, kemudian meninggalkan gadis itu sendiri di kamar. Sangkar emas yang membosankan.

*

Makassar, 1941

Sangkar emas tak hanya milik Soraya. Sangkar emas itu pun menjadi pemisah bagi Anna dan dunia luar. Anna De Groot. Dia adalah mantan perawat sebuah rumah sakit di Batavia yang dipekerjakan Tuan Salim untuk menemani putrinya sepeninggal sang istri tujuh tahun yang lalu. Setidaknya, begitulah identitas yang disematkan kepadanya.

Malam itu, Nona Anna berbaring gelisah. Dia lalu membuka kembali liontin emas yang menempel di dadanya yang pucat kemerahan. Di dalamnya, tersimpan secarik surat lusuh. Hatinya merindu setiap kali surat cinta itu dia baca.

Tiba-tiba sebuah ketukan di pintu menyadarkan Nona Anna dari khayalannya. Bergegas dia bangkit, berharap cintanya datang menemui seperti ratusan malam yang telah lewat. Sayangnya, sosok yang berdiri di depan pintu adalah Soraya.

“Nona Anna, maukah kau menemani saya ke pesta dansa Verjaardag[10] esok malam?” Gadis muda itu bahkan tidak tampak mengantuk saat malam beranjak sangat larut.

Soraya sudah tidak sabar. Kali ini pertanyaannya lebih sulit dari pertanyaan-pertanyaan sebelumnya seperti “Mengapa tidak boleh naik becak bersama Nona Anna untuk membeli pakaian di toko Au Bon Marche[11] di Temple Straat[12]?”.

Nona Anna bergeming bimbang.

“Tujuh belas tahun itu sudah cukup umur.” Suaranya tegas.

Soraya kini bukan lagi gadis berkepang dua yang mengeluh tentang kelas handwerken[13]di sekolah. Kini dia bahkan berani bernegosiasi. Ah, dia seperti ayahnya, pikir Nona Anna.

“Besok pagi kita bicarakan dengan Tuan,” jawab Anna singkat, berupaya lebih tegas.

Soraya mengangguk lalu berjingkat-jingkat kembali ke kamarnya.

Pesta dansa. Sekonyong-konyong, hal itu menerbangkan kembali lamunan Nona Anna ke tahun-tahun yang lampau. Bahkan gadis muda itu menyukai dansa, seperti dirinya.  Namun, cita dan cinta membuat Nona Anna rela meninggalkan pentas tari penuh puja-puji dan sentuhan para lelaki untuk terbang jauh ke Makassar. Dia bersembunyi di balik dinding kokoh rumah Tuan Salim. Perempuan itu berganti identitas dan masa lalu.

Jika betul Soraya sudah cukup umur, seharusnya, dia tak hanya diperbolehkan pergi berdansa. Seharusnya, gadis itu pun sudah waktunya diajak berbicara tentang semuanya. Tentang rahasia-rahasia yang katanya akan tersimpan hingga dia cukup umur. Seharusnya, batin Nona Anna sebelum menutup matanya dan bermimpi indah.

*

Makassar, 1942

Tuan Salim mengisap cerutunya dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan kasar. Lelaki gagah itu resah. Buru-buru dia memutar nomor telepon dan menghubungi seseorang.

“Operasi Gurita Jepang mulai memasuki Makassar,” katanya, masih dengan cerutu terimpit di antara bibirnya yang gelap. “Mereka mengatakan sebagian sudah menduduki Bontomallangere.”

Nona Anna masuk ke ruang kerja Tuan Salim membawa sepiring panekuk buatannya. Namun, lelaki itu tidak menoleh barang sedikit. Nona Anna mencuri dengar, sesuatu yang buruk mungkin akan terjadi.  Sikap Tuan Salim tak seperti biasanya.

Sesaat kemudian Tuan Salim menutup telepon dan menoleh kepadanya. “Kemasi barang-barangmu. Kau dan Soraya ikut dengan saya.” Tuan Salim menyentuh lengan Nona Anna, mencoba meyakinkan bahwa dia akan melindungi perempuan itu.

Malam itu, sopir dan beberapa pekerja rumah tangga merapikan barang-barang berharga untuk dibawa Tuan Salim. Soraya ketakutan karena mereka tiba-tiba harus meninggalkan rumah di tengah malam yang mencekam.

“Bom berjatuhan di galangan kapal dan pelabuhan. Kita menepi ke Sungguminasa.” Tuan Salim berbicara kepada sopir. “Kita berangkat dengan dua mobil. Jangan bersama-sama.”

Tuan Salim lalu mengarahkan sang putri untuk ikut bersamanya ke sebuah mobil pick-up biru, mobil tua yang dahulu kala menjadi mobil pengangkut barang-barang hasil bumi dari kampung Tuan Salim di Sungguminasa.

“Kaeng, kenapa harus naik mobil ini? Saya mau naik mobil sedan saja,” keluh Soraya yang tidak suka aroma besi tua karatan di dalam kabin mobil bagian depan.

“Ikut saja, yang penting aman.” Tuan Salim berbalik badan menuju mobil Dodge hitam baru yang akan mengangkut sebagian barang berharga dan Nona Anna. Tuan Salim dan para sopir mengatur siasat. Jika Nona Anna menumpang mobil pick-up, tentara Jepang mungkin curiga mereka menyembunyikan sesuatu. Sementara Soraya hanya menatap dari kejauhan saat sang ayah berbisik kepada perempuan Belanda yang cemas itu.

Beberapa menit kemudian, Tuan Salim bergabung dengan Soraya dan meminta sopir berangkat terlebih dahulu. Tak ada lagi setelan gagah dan songkok Bugis di kepala Tuan Salim. Yang ada hanya kemeja biasa yang dia tutupi dengan sarung sembahyang untuk menghalau dingin. Sementara itu, Nona Anna harus bersiap bersembunyi di antara barang jika ada tanda-tanda tentara Jepang berjaga di perbatasan. Mobil yang ditumpangi Nona Anna pun baru akan menyusul nanti agar tidak menarik perhatian.

*

Langit malam itu kian pekat tak berbintang. Dingin menyusup masuk ke pori-pori menemani kecemasan yang tak juga mau pergi. Sopir Dodge hitam yang ditumpangi Nona Anna tiba-tiba menginjak rem membuat tubuh perempuan itu terempas dan kepalanya terbentur kaca di sisi kanan mobil.

“Nona Anna, perasaan saya tidak enak.” Malam yang dingin tak sanggup menahan peluh yang mulai bercucuran di pelipis sang sopir karena rasa cemas. Beberapa tentara Jepang terlihat berbincang-bincang dan menyadari kehadiran mereka.

“Jangan panik, nanti mereka tahu saya ada di sini,” ujar Nona Anna sebelum kemudian meringkuk di lantai kabin mobil, menutup tubuhnya dengan selimut dan beberapa barang seperti arahan Tuan Salim sebelum berangkat.

Baru saja sopir itu melanjutkan perjalanan, dua tentara yang terlihat mabuk berjalan sempoyongan ke arah mobil dan memukul kap mobil dengan senapannya. Selanjutnya, salah satu dari mereka mulai memukul-mukul kaca bagian belakang. Seraya menahan rasa takut, sopir mobil memberhentikan kendaraannya dan menurunkan kaca jendela. Lelaki kurus itu memberi isyarat bahwa dia hanya membawa barang milik atasannya. Enam tentara mengelilingi mobil dan mulai berbicara satu sama lain dengan bahasa yang tidak dipahami sopir dan Nona Anna.

Malang tak dapat ditampik. Dua dari tentara mulai memberondong jok belakang mobil dengan peluru, kemudian kembali memukul kap mobil dengan senapan, dan pergi dengan sempoyongan.

“Nona Anna ….” Lirih sopir itu memanggil, meski dia yakin, bahkan manusia begitu tangguh pun tak akan sanggup menahan peluru-peluru itu. Air mata bercampur keringat membasahi wajah sang sopir, sebasah darah yang mulai merembes ke seluruh selimut dan tumpukan barang di jok belakang.

*

Sopir pick-up memperlambat laju mobilnya, tetapi mobil Dodge hitam itu belum lagi tampak menyusul. Tuan Salim menyuruh sopir menepikan mobil setelah memastikan tak ada tentara Jepang yang berjaga.

“Seharusnya aman,” ucapnya seraya keluar dari mobil. Mereka memang tak bertemu siapa pun di jalan. Perjalanan itu seusai rencananya. Namun, mobil Nona Anna belum tampak.

Lelaki itu lalu mengeluarkan cerutu dari kantong celananya, tetapi melemparnya begitu saja kembali ke lantai kabin mobil. Dia bahkan kehilangan rasa ingin mengisap tembakau.

Tiba-tiba mobil yang dia kenali betul datang dari kejauhan dengan kecepatan tinggi.

“Karaeng, saya minta maaf. Tolong, Karaeng!” Sopir Dodge hitam turun dari mobil dan langsung berteriak dengan suara tersendat.

Tuan Salim dan sopir pick-up bergegas menuju mobil Nona Anna dan mendapati tubuh perempuan itu bersimbah darah dan sudah tak bernyawa. Tangis Tuan Salim pecah seketika, dia masuk ke mobil dan meminta sopir pick-up berhati-hati membawa Soraya terus menuju Sungguminasa.

“Minny kekasihku, saya di sini bersamamu. Maaf tak dapat melindungimu seperti yang saya janjikan.”

*

“Sayangku, saya tidak tahu sampai kapan akan memendam semuanya. Bukankah sebentar lagi Soraya sudah cukup umur? Semalam dia meminta saya menemaninya ke pesta dansa, dia mulai bertegas, persis dirimu. Semoga tak lama lagi, kau mengambil keputusan itu.

Saya rindu menjadi Minny-mu. Minny Bakker yang bebas mencintaimu. Saya lelah menjadi Anna De Groot yang penuh kepalsuan. Saya rindu berdansa denganmu. Saya mungkin bukan perempuan suci seperti lakon yang kau ciptakan. Bukankah cinta dan pengabdian akan menghapus dosa masa lalu?”

Minny-mu.

Makassar, 1941.

Soraya bergeming saat membaca sebuah surat. Hatinya hampa. Lembaran-lembaran surat berserakan di atas dipannya. Dibukanya liontin emas, satu-satunya kenangan yang ingin dia miliki untuk mengingat Nona Anna. Sayangnya, liontin itu memberinya kenyataan pahit. Secarik kertas berisi rayuan dari sang ayah kepada seorang perempuan yang dia sebut “Minny-ku”.

Hari itu, Soraya berulang tahun. Usia delapan belas yang sejak lama dia nanti-nantikan. Penantian panjang agar cukup umur untuk pesta dansa atau menonton bioskop. Sayangnya, kado ulang tahunnya adalah darah merah pekat dan rahasia Nona Anna.

Sinjai, 2024

***

Catatan:

1. Rijsttafel: Cara penyajian makanan untuk jamuan resmi

2. Kokkie: Juru masak

3. Soep brenebon: Sup kacang merah

4. Biefstuk: Bistik, steik daging

5. Hooge Pad: Saat ini Jl. Jend. Ahmad Yani. Dulunya merupakan tempat tinggal para petinggi pemerintahan Hindia Belanda

6. Kaeng: Karaeng/ Panggilan untuk ayah/kakek dari keluarga bangsawan

7. Pangreh praja: Pamong praja/ Pegawai pemerintahan

8. Koningsplein: Saat ini Lapangan Karebosi. Dulu dikenal sebagai alun-alun raja

9. Palmolive: Merek sabun

10. Verjaardag: Perayaan Ulang Tahun Ratu Wilhelmina

11. Au Bon Marche: Toko busana mewah di masa Hindia-Belanda

12. Temple Straat: Saat ini Jl. Sulawesi. Dulunya menjadi pusat pertokoan di Makassar

13. Kelas handwerken: Pelajaran menyulam/ bordir/ kerajinan tangan untuk anak-anak perempuan di sekolah Belanda

Bagikan:

Penulis →

Aprilia Nurmala Dewi

Seorang ASN dan ibu dua putra yang senang menulis. Novel “Kutunggu Kau di Bawah Hujan Bulan November yang Akan Datang” dan novelet “Make it to The Heaven’s Cloud” adalah dua bukunya yang telah terbit.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *